Share

BAB 6

“Kami belum berani melakukan prosedur HSG untuk melihat kondisi rahim Ibu Dzurriya, karena beliau lupa kapan terakhir menstruasi. Bulan depan, dua atau sampai tujuh hari pasca beliau menstruasi, kembalilah kesini untuk melakukan pemeriksaan.”

Itu adalah yang diucapkan dokter kandungan setelah sesi konsultasi berakhir. Untuk melihat kondisi rahim Dzurriya, Alexa meminta pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen atau HSG. Namun, karena Dzurriya amnesia, ia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dokter dengan baik.

Suasana ruangan itu pun mendadak jadi dingin. Dzurriya juga melihat alis Alexa yang menyatu karena marah, berbeda dengan Eshan yang hanya diam dengan tatapan tajam.

Tatapan Alexa yang tadinya tertuju kepada sang dokter, langsung mendelik ke arah Dzurriya “Kamu sengaja, kan?!” 

Napas wanita itu terdengar terengah-engah. Matanya memerah, dan otot-otot mukanya tertarik. Dzurriya hanya menunduk, menghindari tatapan menusuk Alexa itu. Tak ada kata yang berani ia ucapkan, atau ia akan jadi sasaran kemarahan seperti sebelumnya.

“HEH! JAWAB AKU!” bentak Alexa lagi, kali ini sampai mengguncang tubuh Dzurriya.

“S-saya benar-benar tidak ingat, Nyonya….” jawab Dzurriya, mulai terisak. 

Ia sudah berkata jujur, tidak ada satu pun kejadian yang diingatnya. Bahkan namanya saja baru ia ketahui ketika kontrak pernikahan itu ditandatangani.

“Jalang sialan!” Alexa mulai mencengkram kerudung Dzurriya. “Tidak berguna!”

“Alexa! Sayang!” Eshan akhirnya menengahi ketika Alexa di luar kendali. “Tenangkan dirimu. Kita akan cari solusi lain, ya.”

Namun, Alexa tidak juga tenang. Suasana di ruang dokter kandungan itu menjadi sangat kacau. Alexa berteriak, memaki Dzurriya, dan ingin menyakitinya. Bahkan ia mulai meraih apa saja untuk dibanting.

Sementara itu, Dzurriya hanya merapat ke tembok dengan perasaan takut. Ujung pistol Eshan kembali muncul di bayangannya. Bagaimana kalau setelah ini Eshan benar-benar membunuhnya?

“Hei, kau!” suara bas Eshan yang masih memeluk Alexa terdengar kasar di telinga Dzurriya. “Enyahlah!”

Hati Dzurriya merasa tertohok. Padahal bukan dirinya yang menyebabkan kekacauan ini, tapi kenapa tatapan Eshan seperti menuduhnya. Belum lagi, ucapannya terdengar sangat kasar.

Kemudian, lima detik kemudian, dua orang pengawal langsung masuk dan menyeret Dzurriya keluar dari sana. Dzurriya berjalan dengan penuh was-was. Kalau saja tak ada pengawal di belakangnya, ia akan berusaha sekuat tenaga melarikan diri. 

Bagaimanapun ia akan kembali tertangkap, kan?

Dzurriya digiring ke parkiran, tapi kali ini ia dipaksa memasuki mobil yang berbeda. Ia pun dipaksa duduk di kursi depan, di sebelah pengemudi.

“K-kenapa aku di sini?” tanya Dzurriya kepada salah satu pengawal yang membawanya.

“Pak Eshan yang menyuruh. Sudah, Anda turuti saja, Nyonya,” jawab pengawal itu. 

Semua pengawal dan pelayan yang bekerja untuk Eshan selalu menunjukkan sikap yang sama. Mereka memang berkata dengan sopan, tapi ucapannya terdengar ketus dan sinis. Tatapan mereka pun seolah ikut menghujat Dzurriya.

Akhirnya, Dzurriya hanya bisa menghela napas.

Lima belas menit kemudian, pintu belakang mobil itu terbuka. Eshan masuk sambil menggendong Alexa yang tampak tertidur. Entah apa wanita itu diberi obat penenang atau memang kelelahan setelah meluapkan emosinya.

“Jalan,” perintah Eshan singkat kepada sang sopir.

“Baik, Tuan.”

Entah apa maksud Eshan menyuruhnya menaiki mobil yang sama dengannya, tapi aura dingin lelaki itu membuatnya tak bisa nyaman berada bersamanya di mobil. Apalagi tak ada kata-kata keluar dari seorang pun di mobil itu. 

Dzurriya melirik dari spion tengah. Wajah Alexa yang tertidur di bahu Eshan, tampak sangat pucat. Padahal tadi wajahnya sangat mengerikan, seperti monster yang siap melahapnya.

Perjalanan jauh itu terasa begitu cepat seolah jalanan ikut bergerak mengantarnya pulang. Begitu sampai di halaman rumah, Eshan menggendong istri pertamanya yang tertidur pulas keluar dari mobil menuju kamarnya. 

Untuk beberapa saat, Dzurriya hanya terdiam di mobil, melihat Eshan menggendong Alexa memasuki rumah. Barulah setelah dua sosok itu tidak terlihat, ia berani keluar dari mobil.

Ia berjalan sambil menunduk. Tatapan-tatapan menuding itu terus mengarah kepadanya di setiap langkah. Kabar kalau dirinya membuat kekacauan di rumah sakit pasti sudah didengar pelayan-pelayan dan pengawal di sini.

Dzurriya sudah pasrah. Ia lelah melawan.

Klek!

Suara yang tidak asing itu membuat Dzurriya menghentikan langkah. Lantas, semilir angin yang menerbangkan aroma musk juga melintas. Tubuhnya langsung menegang, seiring dengan keringat dingin yang mengalir dari pelipisnya. Seketika, bayangan malam mengerikan itu kembali terlintas.

Itu bunyi kokang pistol milik Eshan.

Dzurriya terbelalak, dan tubuhnya terhuyung jatuh. Suasana dalam sekejap menjadi sepi, karena Dzurriya melihat pelayan-pelayan yang tadi ada di sana tiba-tiba berhamburan menjauh dari tempat itu.

Ketakutan mereka sepertinya sama besarnya dengan ketakutan Dzurriya.

Eshan menatapnya nanar. Tangannya mencengkeram kuat pistol yang tertodong lurus ke arah Dzurriya, dan siap menarik pelatuknya. 

“Aku telah memberimu kesempatan beberapa kali, bahkan aku membawamu kemari. Kalau bukan karena Alexa, sudah lama kamu habis di tanganku,” ujar Eshan dingin.

Bola mata Dzurriya bergetar. Apa lagi kesalahannya kali ini?

“K-kenapa… a-apa salahku….”

Eshan maju satu langkah, tapi ujung pistol itu masih mengarah ke kepala Dzurriya. “Hentikan omong kosongmu!”

Klek.

“Argh!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status