“Kami belum berani melakukan prosedur HSG untuk melihat kondisi rahim Ibu Dzurriya, karena beliau lupa kapan terakhir menstruasi. Bulan depan, dua atau sampai tujuh hari pasca beliau menstruasi, kembalilah kesini untuk melakukan pemeriksaan.”
Itu adalah yang diucapkan dokter kandungan setelah sesi konsultasi berakhir. Untuk melihat kondisi rahim Dzurriya, Alexa meminta pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen atau HSG. Namun, karena Dzurriya amnesia, ia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dokter dengan baik.
Suasana ruangan itu pun mendadak jadi dingin. Dzurriya juga melihat alis Alexa yang menyatu karena marah, berbeda dengan Eshan yang hanya diam dengan tatapan tajam.
Tatapan Alexa yang tadinya tertuju kepada sang dokter, langsung mendelik ke arah Dzurriya “Kamu sengaja, kan?!”
Napas wanita itu terdengar terengah-engah. Matanya memerah, dan otot-otot mukanya tertarik. Dzurriya hanya menunduk, menghindari tatapan menusuk Alexa itu. Tak ada kata yang berani ia ucapkan, atau ia akan jadi sasaran kemarahan seperti sebelumnya.
“HEH! JAWAB AKU!” bentak Alexa lagi, kali ini sampai mengguncang tubuh Dzurriya.
“S-saya benar-benar tidak ingat, Nyonya….” jawab Dzurriya, mulai terisak.
Ia sudah berkata jujur, tidak ada satu pun kejadian yang diingatnya. Bahkan namanya saja baru ia ketahui ketika kontrak pernikahan itu ditandatangani.
“Jalang sialan!” Alexa mulai mencengkram kerudung Dzurriya. “Tidak berguna!”
“Alexa! Sayang!” Eshan akhirnya menengahi ketika Alexa di luar kendali. “Tenangkan dirimu. Kita akan cari solusi lain, ya.”
Namun, Alexa tidak juga tenang. Suasana di ruang dokter kandungan itu menjadi sangat kacau. Alexa berteriak, memaki Dzurriya, dan ingin menyakitinya. Bahkan ia mulai meraih apa saja untuk dibanting.
Sementara itu, Dzurriya hanya merapat ke tembok dengan perasaan takut. Ujung pistol Eshan kembali muncul di bayangannya. Bagaimana kalau setelah ini Eshan benar-benar membunuhnya?
“Hei, kau!” suara bas Eshan yang masih memeluk Alexa terdengar kasar di telinga Dzurriya. “Enyahlah!”
Hati Dzurriya merasa tertohok. Padahal bukan dirinya yang menyebabkan kekacauan ini, tapi kenapa tatapan Eshan seperti menuduhnya. Belum lagi, ucapannya terdengar sangat kasar.
Kemudian, lima detik kemudian, dua orang pengawal langsung masuk dan menyeret Dzurriya keluar dari sana. Dzurriya berjalan dengan penuh was-was. Kalau saja tak ada pengawal di belakangnya, ia akan berusaha sekuat tenaga melarikan diri.
Bagaimanapun ia akan kembali tertangkap, kan?
Dzurriya digiring ke parkiran, tapi kali ini ia dipaksa memasuki mobil yang berbeda. Ia pun dipaksa duduk di kursi depan, di sebelah pengemudi.
“K-kenapa aku di sini?” tanya Dzurriya kepada salah satu pengawal yang membawanya.
“Pak Eshan yang menyuruh. Sudah, Anda turuti saja, Nyonya,” jawab pengawal itu.
Semua pengawal dan pelayan yang bekerja untuk Eshan selalu menunjukkan sikap yang sama. Mereka memang berkata dengan sopan, tapi ucapannya terdengar ketus dan sinis. Tatapan mereka pun seolah ikut menghujat Dzurriya.
Akhirnya, Dzurriya hanya bisa menghela napas.
Lima belas menit kemudian, pintu belakang mobil itu terbuka. Eshan masuk sambil menggendong Alexa yang tampak tertidur. Entah apa wanita itu diberi obat penenang atau memang kelelahan setelah meluapkan emosinya.
“Jalan,” perintah Eshan singkat kepada sang sopir.
“Baik, Tuan.”
Entah apa maksud Eshan menyuruhnya menaiki mobil yang sama dengannya, tapi aura dingin lelaki itu membuatnya tak bisa nyaman berada bersamanya di mobil. Apalagi tak ada kata-kata keluar dari seorang pun di mobil itu.
Dzurriya melirik dari spion tengah. Wajah Alexa yang tertidur di bahu Eshan, tampak sangat pucat. Padahal tadi wajahnya sangat mengerikan, seperti monster yang siap melahapnya.
Perjalanan jauh itu terasa begitu cepat seolah jalanan ikut bergerak mengantarnya pulang. Begitu sampai di halaman rumah, Eshan menggendong istri pertamanya yang tertidur pulas keluar dari mobil menuju kamarnya.
Untuk beberapa saat, Dzurriya hanya terdiam di mobil, melihat Eshan menggendong Alexa memasuki rumah. Barulah setelah dua sosok itu tidak terlihat, ia berani keluar dari mobil.
Ia berjalan sambil menunduk. Tatapan-tatapan menuding itu terus mengarah kepadanya di setiap langkah. Kabar kalau dirinya membuat kekacauan di rumah sakit pasti sudah didengar pelayan-pelayan dan pengawal di sini.
Dzurriya sudah pasrah. Ia lelah melawan.
Klek!
Suara yang tidak asing itu membuat Dzurriya menghentikan langkah. Lantas, semilir angin yang menerbangkan aroma musk juga melintas. Tubuhnya langsung menegang, seiring dengan keringat dingin yang mengalir dari pelipisnya. Seketika, bayangan malam mengerikan itu kembali terlintas.
Itu bunyi kokang pistol milik Eshan.
Dzurriya terbelalak, dan tubuhnya terhuyung jatuh. Suasana dalam sekejap menjadi sepi, karena Dzurriya melihat pelayan-pelayan yang tadi ada di sana tiba-tiba berhamburan menjauh dari tempat itu.
Ketakutan mereka sepertinya sama besarnya dengan ketakutan Dzurriya.
Eshan menatapnya nanar. Tangannya mencengkeram kuat pistol yang tertodong lurus ke arah Dzurriya, dan siap menarik pelatuknya.
“Aku telah memberimu kesempatan beberapa kali, bahkan aku membawamu kemari. Kalau bukan karena Alexa, sudah lama kamu habis di tanganku,” ujar Eshan dingin.
Bola mata Dzurriya bergetar. Apa lagi kesalahannya kali ini?
“K-kenapa… a-apa salahku….”
Eshan maju satu langkah, tapi ujung pistol itu masih mengarah ke kepala Dzurriya. “Hentikan omong kosongmu!”
Klek.
“Argh!”
“Argh!” Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya? Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru. “Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.” Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk. “A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas. Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat. Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya terse
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun menyemilir di atas permukaan kulit pipinya. Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut. Tak sampai disitu, ia merasakan tangan tersebut membelai kepalanya turun dan menyanggah punggungnya. Kemudian, pipi lelaki itu beberapa saat bergesekan dengan pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan degup jantungnya yang beradu dengan detak jantung sang suami. “Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.“A-apa?” cicit Dzurriya.“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.“Aku tidak mau melihat mayat di rumah ini,” lanjut lel
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya. Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya. Tatapan Dzurriya yang bergetar, bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual. Dzurriya memalingkan wajah. ‘Ya Allah… kenapa ujianmu semakin hari, semakin berat….’ Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas. Dzurriya hanya istri kedua dalam status kontrak. Ia tidak berhak atas cinta dan kebahagi
Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….” “Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya. Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung. Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi. Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi. ‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’ “Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya. Dzur
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
Selesai dari pemeriksaan itu, mereka pun kembali ke kediaman mewah Eshan. Dzurriya memperhatikan dua orang yang berjalan di depannya. Alexa tampak tak hentinya menggandeng tangan Eshan di depannya, dari mulai berangkat ke rumah sakit sampai pulang. Begitu juga Eshan, yang tak sedikit pun meliriknya.Ketika Alexa dan Eshan naik ke kamarnya, Dzurriya malah berbelok menuju taman belakang. Akhir-akhir ini, tempat itu seperti persinggahan saat hatinya gundah. Walaupun sedang tidak memakai jaket Eshan kemarin, hidung Dzurriya seolah masih bisa merasakan aromanya di kursi taman itu. Ia merasakan aroma bunga bercampur dengan aroma musk yang diterbangkan oleh angin sore ini. Seakan membawanya ke dalam kenangan di mana ia bisa duduk berdampingan dengan suaminya.Hah!Ia menghembus napas panjang, lalu mendongak, melihat ke arah jendela-jendela kaca jauh di depannya. Entah apakah suaminya ada di balik salah satu jendela tersebut dengan kesibukannya, atau ia sedang berada di lantai atas bersama
“Aku yang membiarkan pamanku masuk ke sini. Kenapa, Sayangku?”Deg!Eshan menoleh ke arah Alexa yang sedang berjalan ke arahnya dengan begitu tenang. Tatapan anggunnya benar-benar membuat dadanya remuk redam. Dia merasa tak dihargai sebagai kepala keluarga di situ. Bagaimana bisa Alexa melawan kata-katanya dengan begitu enteng dan tanpa merasa bersalah? Bukankah mereka sudah pernah membicarakan dan menyepakatinya.Eshan berusaha sebisa mungkin bersikap tenang di depan semua orang untuk menjaga wibawa sang istri. “Tikno!” Panggilnya datar sambil tetap menatap tajam ke arah Alexa.“Ya, Tuan?” sahut Tikno sopan.“Aku memberimu waktu lima belas menit untuk membawa lelaki itu keluar dari sini.” Setelah itu, dia beranjak melewati istrinya itu tanpa mengatakan apa pun lagi. Langkahnya yang begitu dingin membuat suasana menjadi senyap mencekam. Tak ada satu orang pun berani menyela lagi.Eshan yakin Tikno akan membereskan lelaki yang tadi terkapar di taman belakang itu. Kalaupun tidak, Esha