"Apa yang di maksud oleh Arga. Aku sungguh tidak mengerti, terkadang dia suka bermain teka teki." Kevan memilih kembali menuju kamarnya. Diluar hujan begitu deras, entah kenapa sepertinya langit malam ini tengah berduka. Sekilas ia masih memikirkan ucapan Arga. Sialnya lelaki itu enggan bercerita perihal yang terjadi. "Hah, malas sekali rasanya jika aku harus menyelidiki siapa perempuan itu. Aku harus membuatnya menderita karena pernikahan ini, Zahra di mana kau sebenarnya! Aku ingin sekali melenyapkanmu," desis Kevan. Di mata lelaki itu terlihat jika ia begitu membenci Zahra. Wanita yang begitu ia cintai semenjak beberapa tahun yang lalu. Angan Kevan melayang jauh, mengingat pertemuan pertama ia dengan Zahra. Kevan mengenal Zahra wanita yang baik serta lemah lembut, meskipun terkadang di beberapa waktu ia akan menunjukkan sifat dominannya. Kevan begitu memanjakan Zahra, apapun yang wanita itu inginkan selalu ia penuhi. Hanya sat
Arancia tampak menghela nafasnya, lelah iya namun ia sudah berjanji jika ia akan kuat. Dan juga dirinya akan ikhlas menerima pernikahan ini. Meskipun hanya kesakitan yang ia dapatkan. Dua bulan lebih ia menjalani pernikahan bersama Kevan. Tapi sikap lelaki itu sama sekali belum berubah. Yang ada tambah kejam. Arancia beranjak, ia lebih memilih untuk mengerjakan apa yang di perintah oleh suaminya itu. Namun langkahnya terhenti, kala Arga memanggilnya. "Hei, Nona. Sebaiknya kamu beristirahat. Tubuhmu masih belum fit, di tambah ini masih terlalu pagi. Jangan kamu dengarkan perintah Kevan, utamakan dulu kesehatanmu," tukas Arga. Arancia menatap Arga, mengapa ia harus perduli dengan keadaannya. Sedangkan suaminya sendiri pun sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Arancia tersenyum, "Saya tidak apa-apa. Tubuh saya juga sudah terbiasa bekerja di kala sakit. Jadi anda tidak perlu khawatir akan keadaan saya. Baiklah, saya permis
"Malang sekali nasibmu, Nak. Di saat orang lain bahagia di dalam pernikahan nya. Namun, nasibmu malah sebaliknya," monolog pria paruh baya itu. Arancia masih betah memainkan air kolam dengan kedua kaki mungilnya. Sudah dua bulan ini, ia tidak mengajar. Arancia merindukan anak didiknya, ia merindukan masa ketika dirinya masih bisa bekerja. Arancia juga merindukan sang ayah, meskipun terhadap ayahnya berlaku tidak adil. Arancia melirik lelaki paruh baya yang masih setia berdiri di sampingnya, "Paman, aku merindukan pekerjaanku! Apakah jika aku meminta izin pada tuan, ia akan memberikan aku izin? Aku rindu dengan anak didikku, sudah dua bulan tidak bertemu mereka. Aku terakhir bertemu dengan mereka ketika tuan tidak ada di mansion ini." Lelaki paruh baya itu tidak bisa menjawab pertanyaan nona mudanya. Ia pun sebenarnya kasihan, Arancia bak seekor burung yang terkurung di sangkarnya. "Kira-kira tuan bakalan marah nggak ya Paman, aku takut. Mes
Arancia tampak memakan makanan yang di bawakan lelaki paruh baya itu dengan sangat lahap. Perutnya yang tidak terisi sejak hari kemarin, membuatnya kalap. Kevan tampak masih menatap bagaimana wajah polos Arancia. "Alhamdulillah, kenyang, Paman. Terima kasih sekali," ucapnya ceria. Lelaki paruh baya itu tersenyum, ia memilih menemani nona mudanya. Duduk berselonjor di sampingnya. "Makanannya enak sekali, Paman. Baru kali ini aku merasakan makanan yang begitu lezat," seru Arancia. "Memangnya, selama ini nona selalu memakan apa?" tanyanya heran. Arancia menatap lelaki tersebut. Dan tersenyum kecil. "Dulu ... terkadang aku hanya memakan makanan sisa dari ayah, ibu dan juga adik tiriku. Aku tidak pernah di izinkan duduk makan bersama di meja makan. Karena ibu tidak suka, dan ayah ... dia hanya diam saja. Ayah pernah berkata, jika ia tidak bisa melihat ibu bersedih," lirih Arancia. "Tapi ... meskipun sikap ayah seper
"Tuhan, ambil saja nyawaku!" Brak Suara barang terjatuh begitu keras sekali. Membuat Kevan yang hendak melangkahkan kakinya seketika berhenti. Ia pun memutar badannya, menatap pintu perpustakaan yang sengaja ia kunci dari luar. Suara itu kembali terdengar, membuat lelaki tampan yang masih memakai topengnya pun penasaran. Kevan berjalan, mendekati pintu. Dan memutar knopnya. Ceklek Pintu pun terbuka, mata Kevan sontak terbelalak kaget, kala melihat keadaan perpustakaan yang sudah sangat berantakan. "Ya Tuhan, ada apa ini?" seru Kevan kaget. "Paman Ibrahim," teriak Kevan memanggil pria paruh baya yang menjadi kepala pelayan. Kevan masuk, mencoba mengedarkan pandangan, menatap seisi perpustakaan yang sudah kacau balau. Pria yang di ketahuilah bernama Ibrahim itu berlari tergopoh-gopoh kala mendengar teriakan tuannya. "Tuan, ada apa ...." Ibrahim begitu kaget, kala melihat keadaan perpustakaan. Lantas ia menatap tu
"Kau, bagaimana bisa?!" Arga shock menatap wajah Kevan yang ternyata sudah berubah. Arga tidak menyangka, jika wajah Kevan tidak hancur lagi. Entah kapan ia mengoperasi wajahnya. Kecewa, Kevan sama sekali tidak mengajarinya. Kevan bangun, ia meringis merasakan sakit di pipinya. Pukulan yang di lakukan oleh Arga, lumayan membuat rahangnya sakit. "Kenapa? Kaget hah!" sentak Kevan. Arga masih diam. "Kenapa kau sama sekali tidak mengabariku. Kau tega Kevan, bagaimana bisa?" "Jangan kau memberi tahu siapapun, tentang wajahku! Aku ingin melihat mereka hancur, orang-orang yang sudah membuatku seperti ini!" Baru saja, Arga ingin membuka suaranya. Suara ketukan pintu membuatnya mengurungkan niatnya. Tok tok tok "Masuk," ucap Arga. "Dok, maaf operasi akan segera di laksanakan. Semua sudah siap, hanya tinggal menunggu kedatangan anda." Arga mengangguk. Lalu ia memilih untuk keluar, mengikuti langkah kaki p
Arga menggeleng, ia tidak percaya. "Tidak mungkin." Kevan yang melihat kekhawatiran Arga, langsung menghampiri sahabatnya itu. Regel pun mengikuti Kevan. Arga masih mencoba memastikan dugaannya. Sudah seharusnya sedari tadi Arancia sadar, namun sampai saat ini ia belum juga siuman. "Ada apa, Ga? Mengapa kau begitu khawatir dan panik?" tanya Regel heran. Arga menatap kedua sahabatnya bergantian, raut khawatir dari wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Arancia, dia ... Koma!" Deg Kevan langsung mematung di tempatnya. Menatap wajah pucat yang masih senantiasa setia menutup kedua matanya. "Seharusnya ia sudah sadar sedari beberapa menit yang lalu, tetapi entah kenapa sepertinya ia tidak berniat untuk bangun. Sepertinya ia betah berada di alam sana, dia ... seolah-olah tidak mempunyai semangat untuk melanjutkan hidupnya," jelas Arga. Kevan menatap tidak percaya pada penjelas Arga. Arga pun menatap balik pada Kevan. "K
Tut tut tut Kevan sesekali memerhatikan detak jantung Arancia. Entah perasaannya atau memang detak jantung itu semakin lama semakin lemah. Hari sudah menunjukkan tengah malam, lelaki itu sama sekali tidak memejamkan matanya. Regel dan Arga, mereka sudah tertidur semenjak satu jam yang lalu. "Arancia, apakah kamu mendengarkan aku? Bangunlah, jangan seperti ini," lirih Kevan. Kevan memberanikan diri untuk menggenggam tangan Arancia. "Dingin," gumam Kevan. Lantas lelaki itu menatap wajah Arancia yang semakin memucat. Atensi lelaki tampan itu teralihkan ke arah detak jantung Arancia yang semakin melemah. Risau, akhirnya Kevan hendak membangunkan Arga. Namun, baru saja lelaki itu akan melangkah, bunyi detak jantung Arancia terdengar memekakan telinga. Tuuuuuttt Kevan mematung, detak jantung itu tidak lagi berbunyi. Arga yang tengah tertidur sontak langsung terbangun. "Ya Tuhan," pekik Arga. Dokte