Hari telah berganti malam. Hujan akhirnya turun deras membasahi halaman depan Klinik Madam, seperti membasuh sisa ketegangan yang masih menggantung di udara. Selina duduk di sisi tempat tidur dalam ruang perawatan pribadi, menatap wajah Madam Natasya yang masih terbaring lemah. Tangannya tak lepas menggenggam tangan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Sesekali, ia menyeka dahi Madam yang mulai sedikit berkeringat dengan handuk kecil yang dibasahi air hangat. Lampu meja menyala lembut, menyinari ruangan yang didominasi warna putih. Jam di dinding sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam, namun Selina belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Hatinya masih digelayuti kegelisahan, terlebih sejak pria asing itu menyebut dirinya sebagai ‘putri mereka’. Memang banyak yang mengatakan dirinya dan Madam terlihat mirip. Cara bicara, pilihan busana, bahkan gestur tubuh mereka. Wajar saja, karena Madam adalah panutannya. Tapi… "Madam sepertinya sangat sensitif saat meny
Hari menjelang sore, langit tampak redup dihiasi gumpalan awan hitam. Cuaca seolah tahu sebuah kasus kejahatan akhirnya terpecahkan. Selina tersenyum melihat hujan yang bersiap-siap meluncur ke bumi dari balik jendela kaca ruangan Madam. Dia memeriksa jam di ponselnya. Seharusnya sedikit lagi Zander akan datang menjemputnya. Namun belum ada pesan yang dia terima. Hatinya semakin gelisah, masih menerka maksud Zander meninggalkan dirinya di klinik Madam. Tak lama kemudian terdengar deru beberapa mobil berhenti di depan klinik Madam. Selina memeriksa lebih dekat dengan jendela. Dahinya berkerut mendapati mobil sejenis dengan milik Zander. Merasa ada yang aneh, Selina keluar untuk memeriksa keadaan. Beberapa staf klinik yang semula sibuk bekerja, saling berpandangan khawatir saat melihat iring-iringan kendaraan mewah. Mereka khawatir efek dari persidangan tadi siang membuat Klinik Madam mendapatkan masalah baru. "Siapa mereka?" bisik seorang perawat yang berdiri dekat meja resepsi
Gedung Pengadilan Tinggi dipenuhi sorotan media. Para wartawan dari berbagai stasiun berita berkerumun di luar, membawa mikrofon dan kamera besar. Beberapa bahkan menyiarkan langsung suasana sidang yang sebentar lagi dimulai. Isu mengenai skandal rumah sakit ternama milik Castellvain telah mengguncang opini publik selama berhari-hari. Di dalam ruang sidang, suasana tegang menyelimuti. Para terdakwa yakni beberapa dokter dan direktur operasional Rumah Sakit Cendana, duduk gelisah di kursi terdakwa. Wajah mereka pucat pasi, sebagian besar menunduk atau saling melirik, menunggu nasib yang akan dijatuhkan. Zander duduk tenang di sisi penggugat. Di sampingnya, Selina menggenggam jemarinya erat. Sementara itu, Madam Natasya duduk di kursi saksi dengan sikap tenang namun tangannya mengepal di atas paha. Menatap satu persatu orang-orang yang merusak nama baik medis demi keuntungan pribadi. Persidangan berlangsung panas. Pengacara yang disewa Zander, seorang pria muda tajam dengan reputasi
Mobil yang seharusnya membawa penumpangnya ke perusahaan Castellvain malah berbalik arah menuju klinik kecantikan milik Madam Natasya. Zander dan Aswin melangkah keluar dari mobil, Selina mengikuti. Namun kakinya terasa berat untuk menyusul langkah lebar dua pria yang sudah mencapai pintu Klinik. Saat pintu terbuka sorot mata para staf yang semula sibuk langsung berubah. Gerak mereka melambat. Obrolan pelan yang tadi terdengar segera lenyap. Beberapa perawat bahkan tampak saling pandang dengan ekspresi khawatir. Ketegangan langsung terasa menghantam udara saat mereka sadar sosok tamu yang membuka pintu. Bagaimana tidak? Kejadian beberapa hari lalu, saat terjadi keributan yang melibatkan mantan staff. Masih sangat segar dalam ingatan mereka, wanita anggun dan tenang seperti Madam naik pitam ketika mendengar kejadian itu. Banyak orang melangkah mundur, semakin menjauh dari pintu agar tak bersitegang dengan dua pria itu. Apalagi Zander berdiri di sana, menjulang tinggi dalam sete
Ruangan itu sunyi. Semua orang menoleh ke arah Selina yang membuat wanita itu semakin tertekan. Zander beralih menatap Felicia dengan tatapan gelap. Rahangnya mengeras, menahan amarahnya agar tak meledak di meja makan.. “Felicia,” desis Zander terdengar menakutkan. “Jagalah mulutmu.” Felicia menatap Zander dengan mata bergetar. “A-aku hanya penasaran… aku baru pulang dari luar negeri. Wajar kan, kalau ingin tahu tentang pernikahan sepupuku sendiri…” Matanya mulai berkaca-kaca, ingin menangis. Namun Zander menatapnya tanpa sedikit pun belas kasihan. “Penasaran bukan berarti kau bisa seenaknya menyinggung orang lain. Apalagi istri ku,” tegasnya. Napasnya terdengar berat, menahan emosi yang mendidih. Felicia menunduk, mulai menitikkan air mata. “Maaf… aku tidak bermaksud…” Zander menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Dia menoleh ke arah pintu pada Herry yang sejak tadi berdiri di sana. “Herry!” panggilnya. Herry melangkah masuk ke ruang makan dengan menunduk hormat. “Ya,
Selina bangun dengan lenguhan pelan. Tubuhnya terasa lemas, mata berat tak mampu terbuka lebar. Namun pikirannya malah melayang lagi ke permasalahan kemarin. Ancaman Alenka terus terngiang-ngiang di kepala. Dia ingin segera bertanya pada Zander, tapi pria itu selalu sibuk. Pulang dari Rumah Sakit, dia pergi lagi bersama Aswin. Sementara Selina, ditinggal sendirian dan baru dijemput saat jam pulang kantor. ‘Aku harus bertanya pada Mas Zander tentang masalah itu. Tapi… sekarang dia kemana?’ batin Selina. Dia menoleh ke sisi ranjang di sebelahnya. Zander sudah tak ada. Sayup-sayup terdengar suara air di kamar mandi. Selina langsung turun dari ranjang. Biasanya jika Zander mulai mandi pukul 7 pagi. Dia memeriksa jam digital di atas nakas, ternyata benar sudah jam 7 lewat. Selina menepuk dahinya sendiri. Sepertinya dia terlalu terpaku pada ancaman Alenka sampai bangun kesiangan. Dia bergegas mencari baju Zander di ruang ganti. Dia harus menyiapkannya agar Zander keluar, bajunya