Share

7. Ada Cara Lain

Author: Nhaya_Khania
last update Last Updated: 2025-06-16 18:14:29

“Maaf, Pak… saya tidak bisa. Saya bukan wanita seperti itu.”

Kevin diam. Tak ada ekspresi. Hanya kelopak mata yang turun sedikit, dan jemarinya yang mengepal di sisi meja. Detik berikutnya, Ana membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi.

Langkah kakinya bergema di lorong panjang rumah itu. Dadanya sesak—bukan hanya karena takut, tapi karena tahu bahwa setelah ini, hubungan mereka tak akan pernah kembali seperti semula.

“Sial! Kamu menolakku, Ana? Lihat saja, aku akan membuatmu bertekuk lutut dan menyesal karena telah menolakku!”

**

Hari-hari berikutnya menjadi berbeda. Sangat berbeda.

Kevin tidak lagi menyapa. Tidak lagi memberi instruksi langsung. Semua permintaan ditulis singkat di kertas atau disampaikan melalui perantara manajer rumah tangga yang kadang datang tiap pekan. Ketika mereka berpapasan di lorong, Kevin hanya melirik dingin, tanpa satu kata pun.

Awalnya Ana lega. Tapi lama-kelamaan, keheningan itu justru menekan. Setiap hasil kerjanya, sekecil apa pun, mulai dikritik.

Meja makan dikatakan tidak cukup bersih. Tirai dianggap terlalu kusut. Suara vakum dianggap terlalu keras dan mengganggu konsentrasi.

“Apa kamu tidak bisa lebih teliti?” tulis Kevin suatu hari di secarik kertas yang diletakkan di meja dapur. Tulisan tangannya keras, tergesa.

Ana membaca catatan itu dengan rahang mengeras. Ia tahu—ini bukan soal pekerjaan. Ini balas dendam diam-diam. Bentuk penolakan yang berubah rupa menjadi penindasan.

Ia berusaha bertahan, tapi setiap hari seperti berjalan di atas pecahan kaca.

Suatu sore, Ana dikejutkan oleh kedatangan tamu tak terduga—Rani, mantan pembantu rumah tangga sebelum dirinya. Wanita itu datang membawa bingkisan kecil dan senyum yang hanya terlihat di permukaan.

“Assalamu’alaikum,” sapa Rani dari balik pagar.

Ana segera keluar menemui, membukakan pintu dan mempersilakan masuk ke dapur.

“Wah, kamu masih di sini juga rupanya,” kata Rani sambil memandangi ruangan dengan tatapan penuh kenangan. “Dulu tempat ini juga sempat seperti rumah buatku. Sampai semuanya berubah.”

Ana mengerutkan kening. “Berubah?”

Rani menatapnya, lalu perlahan menurunkan suara. Matanya menatap dalam, seperti menyimpan sesuatu yang berat.

“Jangan terlalu dekat dengan tuan rumah,” bisiknya. “Apalagi kalau kamu tinggal di sini sendiri. Dia punya cara halus membuatmu kehilangan arah.”

Ana diam. Jantungnya berdetak cepat.

“Maksud Mbak Rani…?”

Rani menghela napas panjang. “Aku nggak bilang dia jahat. Tapi dia kesepian, dan kesepian itu bisa mengubah siapa pun jadi pemangsa… tanpa sadar. Aku dulu juga pikir, aku kuat. Tapi hati manusia itu rumit, Nak. Kadang kita jatuh bukan karena tergoda… tapi karena iba.”

Ana menunduk. Kata-kata itu seperti pisau tumpul yang perlahan mengiris.

“Aku hanya mau bilang, hati-hati. Kalau bisa, jangan lama-lama di sini.”

Sebelum pergi, Rani menepuk tangan Ana pelan. Ada ketulusan dalam sentuhannya, dan kekhawatiran yang nyata di matanya.

Ana berdiri lama di ambang pintu, menatap ke arah Rani menghilang di ujung gang. Petang mulai turun, dan rumah itu kembali sunyi. Tapi kali ini, sunyi yang terasa seperti jerat.

Malam itu, Ana memberanikan diri menulis surat kecil. Isinya tidak banyak. Hanya sebaris kalimat: "Saya bersedia berhenti bulan depan, jika itu yang Anda inginkan."

Ia meletakkannya di meja kerja Kevin keesokan harinya, dengan harapan akan mendapat jawaban jelas—ya atau tidak.

Namun surat itu tak pernah dibalas. Hanya menghilang dari meja, seolah ditelan udara. Kevin pun tetap tak berkata apa-apa. Tapi sejak itu, kritik-kritiknya justru semakin sering. Bahkan hal-hal sepele seperti cara menyusun sendok pun dipermasalahkan.

Ana mulai sulit tidur. Bayangan tatapan Kevin, suara Rani, dan perasaan seperti dikurung dalam rumah besar yang perlahan berubah jadi perangkap… membuatnya cemas setiap waktu.

Dan malam itu—untuk pertama kalinya—Ana mengunci kamar tidurnya dua kali.

**

Beberapa hari kemudian, sesuatu yang tak biasa terjadi. Kevin menyapanya.

Pagi-pagi, saat Ana hendak membawa keranjang cucian ke halaman, Kevin berdiri di tangga lantai atas dan memanggil dengan nada datar:

“Ana.”

Ana berhenti. “Iya, Pak?”

“Sarapan saya… jam tujuh. Jangan telat.”

Ana mengangguk pelan. “Siap, Pak.”

Lalu Kevin masuk kembali ke kamarnya. Tapi ada sesuatu dalam suaranya tadi—dingin, tapi tenang. Seperti angin malam yang mendahului badai.

Ana menggigit bibir. Instingnya berkata bahwa ini belum berakhir. Bahwa Kevin belum benar-benar mundur. Hanya menunggu saat yang tepat.

Dan di dalam kamar atas itu, Kevin duduk menatap cermin. Rambutnya acak-acakan, mata cekung. Tapi mulutnya sedikit tersenyum.

“Ada cara lain,” gumamnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penghangat Ranjang Majikanku   15. Maafkan Aku ....

    “Ma-maaf, Pak. Saya hanya mau ambil camilan sama kopi aja. Kebetulan tadi lihat Ana lagi melamun. Makanya saya tegur, Pa,” ujar Rafi terbata-bata, suaranya diselimuti ketegangan.Ia tahu betul aura dingin dari Kevin bukanlah hal sepele—sekali salah langkah, bisa berujung pemecatan.Kevin menatap Rafi datar tanpa berkata apa pun. Matanya kemudian beralih menelusuri ke arah dapur, tepat pada Ana yang kini berdiri kaku di depan kompor.Jemari Ana bergerak gelisah, seperti mencari pelarian dari rasa tidak nyaman yang perlahan menyesakkan dadanya.Ia bisa merasakan tatapan pria itu, seperti pisau tajam yang mengupas lapisan demi lapisan ketenangan palsunya.“Kalau begitu, saya permisi.” Rafi buru-buru mengambil gelas kopi dari meja dan melangkah keluar, tak berani menoleh ke belakang.Begitu pintu tertutup, suasana di dapur mendadak sunyi. Hening. Hanya suara kipas dapur dan detak jantung Ana yang semakin menggila di telinganya sendiri.Ia merasa seperti seekor rusa yang terperangkap di ha

  • Penghangat Ranjang Majikanku   14. Seperti tidak Terjadi Sesuatu

    Keesokan paginya, udara masih terasa lembap oleh embun yang belum sepenuhnya menguap dari dedaunan.Sinar matahari mengintip malu-malu dari celah tirai dapur tempat Ana sedang berdiri. Matanya sembab, namun ada secercah harapan di dalamnya.Ia menekan tombol panggilan di layar ponselnya, menghubungi satu-satunya keluarga yang selama ini bisa ia andalkan—bibinya.Tak lama, suara di seberang terdengar. “Halo, Ana?”Ana menegakkan tubuhnya. Suaranya sedikit bergetar saat berkata, “Bi, aku udah dapat uang buat pengobatan Ibu.”Sejenak sunyi, lalu terdengar suara bibinya yang terdengar terkejut dan heran. “Cepat sekali kamu dapat uangnya. Dapat dari mana, Ana?”Ana sontak menelan ludah. Pertanyaan itu seperti menyentil hatinya. Ia tahu cepat atau lambat seseorang pasti akan bertanya. Dan ia sudah siapkan jawabannya.“Da-dari pinjam, Bi. Aku cari pinjaman dari teman-temanku sampai terkumpul sepuluh juta,” ucap Ana dengan nada setenang mungkin, berusaha terdengar meyakinkan meskipun suaranya

  • Penghangat Ranjang Majikanku   13. Harga yang Harus Dibayar

    Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   12. Tidak ada Pilihan Lain

    Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data

  • Penghangat Ranjang Majikanku   11. Sudah Mulai Buntu

    Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   10. Kabar yang Mengejutkan

    Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status