共有

8. Bertanggungjawablah

作者: Nhaya_Khania
last update 最終更新日: 2025-07-08 10:19:24

Ana sedang menyapu beranda depan ketika seorang kurir berseragam datang membawa paket kecil. Lelaki itu berhenti di depan pagar rumah dengan senyum sopan, lalu menyebutkan namanya.

“Untuk Ibu Ana. Dari Bapak Kevin,” katanya singkat dan menyerahkan kotak kecil bersegel rapi.

Ana sempat membeku. Nama itu—Kevin. Masih asing di mulutnya, tapi akhir-akhir ini begitu sering mengusik pikirannya. Ia menerima bingkisan itu dengan ragu, dan menatap kotaknya lama sebelum membukanya perlahan.

Di dalamnya—obat-obatan yang telah ia cari berminggu-minggu untuk ibunya. Merek-merek asing, kualitas terbaik, lengkap, mahal—terlalu mahal.

Tak mungkin ia beli sendiri dengan gajinya sekarang. Tangannya gemetar saat memegang nota pengiriman yang menyertai paket itu. Tertulis harga yang membuat napasnya tercekat. Bahkan untuk satu jenis saja, ia harus bekerja berbulan-bulan.

Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi tak ia biarkan jatuh.

Saat ia kembali masuk ke dalam, langkahnya terasa berat. Baru saja menaruh sapu di sudut dapur, matanya menangkap sesuatu di ruang makan. Sebuah amplop putih tergeletak di atas meja, nyaris tersamar di antara tumpukan majalah.

Ia melangkah mendekat, meraih amplop itu dengan hati-hati.

Tertulis namanya—Ana—dengan huruf tangan Kevin yang tegas, sedikit miring ke kiri, khas gaya tulis orang yang terbiasa memerintah. Ia membukanya dengan jantung berdebar.

Di dalamnya: sejumlah uang. Diselipkan rapi, dilipat halus, dan bersama itu ada secarik kertas kecil bertuliskan:

“Bonus untuk kerja kerasmu. Kamu pantas mendapat lebih dari ini.”

Ana berdiri terpaku. Seketika, udara di sekelilingnya terasa padat, seolah dinding rumah mendekat pelan-pelan menghimpit tubuhnya.

Ia menggenggam kertas itu erat, napasnya tercekat. Dadanya penuh beban. Bukan karena nilai uangnya—tapi karena makna tersembunyi di balik itu semua.

Ia bukan perempuan yang mudah tergoda, bukan pula yang mudah percaya. Tapi semua yang Kevin lakukan hari ini... menyentuh bagian terdalam, paling rapuh, yang selama ini ia lindungi mati-matian.

“Apakah Pak Kevin memang tidak main-main dengan ucapannya?” gumamnya kemudian menggigit bibir bawahnya, semakin takut menghadapi lelaki itu.

**

Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Ana tengah mencuci buah di wastafel, sementara Kevin menyeduh kopi di sisi lain. Tak ada suara selama beberapa menit, hingga Kevin memecah keheningan.

“Dulu kamu pernah bilang, kamu kerja demi ibumu, ya?” tanya Kevin memecah keheningan.

Ana sedikit terkejut. Ia menoleh lalu mengangguk pelan. “Iya, Pak. Beliau sudah lama sakit. Butuh perawatan terus.”

Kevin menatap ke arah jendela. Matanya tidak fokus, seakan sedang melihat masa lalu yang jauh. “Ayahmu?”

Ana tersenyum miris. “Sudah lama pergi. Entah ke mana. Waktu saya masih kecil.”

Kevin diam sejenak. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, dia berkata, “Aku kehilangan adikku waktu kecil. Kecelakaan. Sejak itu rumah selalu terasa kosong. Mungkin itu sebabnya aku mudah kesepian.”

Mata mereka bertemu dalam diam.

Untuk pertama kalinya, mereka duduk di meja dapur seperti dua orang yang setara. Bukan majikan dan pekerja.

Bukan pria kaya dan gadis sederhana. Tapi dua manusia yang sama-sama kehilangan sesuatu dalam hidupnya.

Kevin mulai menceritakan hal-hal yang tak pernah Ana duga keluar dari mulutnya—tentang masa kecilnya, rumah lamanya yang sepi, dan bagaimana ia pernah mencoba kabur dari sekolah hanya karena ingin ditemani.

Ana tertawa. Tulus. Kevin ikut tersenyum, merasa aneh melihat wajah Ana yang hangat dan tidak canggung.

Suasana mencair. Tapi justru di sanalah masalahnya dimulai lagi.

Tak lama kemudian, pesan masuk di ponsel Kevin. Dari Clara.

“Kevin, maaf. Klien Jepang ngajak makan malam. Aku baru bisa pulang minggu depan. Tolong sampaikan ke Ana juga ya. Terima kasih.”

Kevin membaca pesan itu tanpa ekspresi, tapi matanya bergerak cepat ke arah Ana.

“Clara nggak jadi pulang,” ujar Kevin datar.

Ana menoleh pelan menatap Kevin. “Oh,” jawab Ana pelan. Tak ada yang bisa ia katakan selain itu.

Kevin menatap meja makan yang telah tertata rapi, uap dari sop ayam mengepul tipis, menghangatkan ruangan yang sedikit terlalu sunyi.

“Kamu sudah masak?” tanyanya sambil melangkah mendekat.

“Iya, Pak. Sop ayam dan sambal terasi,” jawab Ana lembut. Ia menunduk sedikit, tengah menyembunyikan kegugupan yang muncul tiba-tiba.

“Hm.” Kevin mengangguk, lalu menarik kursi dan duduk. “Kita makan bareng aja, ya.”

Ana sempat terdiam. Ada jeda beberapa detik di mana ia hampir menolak, tapi urung. Ia tahu tak ada alasan kuat untuk berkata tidak.

Ia hanya pembantu di rumah ini, bukan istri, bukan kekasih, dan tak punya hak untuk menentukan aturan makan siapa dengan siapa. Jadi, ia hanya mengangguk perlahan dan ikut duduk di seberang Kevin.

Makan malam itu berlangsung tenang. Terlalu tenang. Seperti sebuah kencan diam-diam—tidak diucapkan, tapi terasa nyata di setiap tatapan yang tak sengaja bertemu, di setiap jeda percakapan, di setiap sendok yang beradu pelan dengan piring.

Kevin sesekali memandang Ana, matanya tidak menunjukkan dominasi seperti biasanya. Kali ini ada sesuatu yang lebih lembut, lebih... manusiawi.

Ia mengisi piring Ana, menambahkan sendok sop, lalu menyodorkan sambal. “Kamu suka pedas, ya?” tanyanya ringan, seperti sedang mengajak bicara seseorang yang sudah ia kenal lama.

Ana mengangguk, menahan senyum kecil yang ingin pecah. “Iya, Pak.”

Hatinya berdesir. Bukan karena sambal itu, tapi karena cara Kevin memperhatikan hal-hal kecil tentang dirinya terasa manis. Dan menakutkan di saat bersamaan.

Mereka berbicara sedikit. Tentang film lama yang pernah Kevin tonton sewaktu remaja—film yang, secara kebetulan, juga dikenal Ana karena sering diputar di televisi lokal. Mereka tertawa kecil saat sama-sama mengingat adegan lucu dari film itu.

Lalu, obrolan berpindah ke makanan masa kecil—nasi goreng sisa semalam, telur dadar gosong buatan ibu, dan jajan sekolah yang kini sudah tak dijual lagi.

Entah mengapa, malam itu terasa lebih ringan. Karena saat dua orang yang seharusnya tidak terlalu dekat mulai merasa nyaman, batas-batas bisa dengan mudah terhapus.

Setelah makan, Ana berdiri bersiap membereskan meja. Tapi baru beberapa langkah, suara Kevin menghentikannya.

“Biar nanti saja. Duduk dulu. Temani aku sebentar.”

Ana menoleh. Ada nada tak terbantahkan di balik kalimat itu. Ia ragu sejenak, lalu kembali duduk perlahan.

Beberapa detik hanya keheningan yang mengisi ruang makan. Jam dinding berdetak lembut. Jendela terbuka sedikit, membiarkan angin malam masuk, membawa aroma pohon kamboja dari halaman depan.

Lalu, tanpa peringatan, Kevin mengangkat tangannya. Ia menyentuh pipi Ana dengan lembut. Sentuhannya membuat tubuh Ana menegang seketika. Jari-jarinya dingin—tapi bukan dingin yang menusuk. Dingin yang menyimpan kehangatan mencurigakan di baliknya.

“Aku tak pernah merasa hidup seperti ini sebelumnya,” ucap Kevin pelan.

Ana membeku. Tatapannya tak bisa berpaling dari mata Kevin yang kini menatapnya tanpa topeng, tanpa peran.

“Kamu sudah membuatku nyaman…” lanjut Kevin, suaranya nyaris seperti bisikan, “...dan seharusnya kamu bertanggung jawab atas keinginan gilaku ini, Ana.”

Ana menelan ludah. Napasnya tertahan di tenggorokan. “Ma-maksudnya?” tanyanya lirih, nada suaranya getir, campuran takut dan bingung.

Kevin menyunggingkan senyum. Senyum yang tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk membuat jantung Ana berdegup tak karuan.

“Ajakan beberapa hari yang lalu. Aku harap kamu akan segera mempertimbangkannya, Ana.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Penghangat Ranjang Majikanku   13. Harga yang Harus Dibayar

    Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Sore tadi, Kevin membawakan sebuah lingerie tipis yang harus dia gunakan untuk melayani Kevin malam ini.Ana berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya ia sisir pelan, meski dengan tangan gemetar. Seragam kerja sudah dia tanggalkan, diganti dengan lingerie berwarna putih tulang—bersih, polos, dan justru membuat tubuhnya terlihat lebih rapuh.Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Kevin:"Kamar tamu lantai dua. Sekarang."Ana menarik napas panjang. Ia tahu ini bukan hanya soal sepuluh juta saja. Ini tentang harga dirinya. Tentang seluruh garis batas yang selama ini ia jaga.“Maafkan aku, Ibu. Aku harus melakukan ini demi kesembuhanmu,” ucapnya dengan suara lirihnya.Dia kemudian menarik napasnya dalam-dalam dan menatap dirinya sekali lagi di cermin di hadapannya.“Pada akhirnya, ucapan Pak Kevin benar. Aku menyerah dan menyerahkan diriku padanya. Aku benar-benar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   12. Tidak ada Pilihan Lain

    Napas Ana berat ketika berdiri di depan pintu ruang kerja majikannya itu.Jujur saja, dia tidak ingin ke ruangan itu. Tidak ingin menatap wajah pria itu lagi setelah malam-malam penuh tekanan dan sindiran.Tapi, sudah tidak ada pilihan lain. Ia sudah mencoba segalanya. Semua kontak telah dia hubungi, tapi tidak ada yang mau meminjamkan padanya karena terlalu besar.Ana berhenti di depan pintu ruang kerja Kevin. Tangannya yang dingin terangkat dan mengetuk pelan dua kali.“Masuk,” terdengar suara pria dari dalam.Ana membuka pintu perlahan dan masuk. Kevin duduk di kursi kerja dengan kemeja santai dan celana panjang kain.Di meja kerjanya, sebuah laptop terbuka, namun perhatiannya langsung terarah pada Ana yang masuk dengan wajah pucat dan mata sembab.Ana berdiri beberapa langkah dari mejanya, menunduk. Tangannya meremas sisi rok seragamnya.Kevin memiringkan kepala sedikit. “Ada apa pagi-pagi begini kamu data

  • Penghangat Ranjang Majikanku   11. Sudah Mulai Buntu

    Setelah menenangkan diri sebisanya, Ana kembali ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang sempit itu dan menggenggam ponsel dengan tangan gemetar.Napasnya masih berat. Matanya sembab, tapi belum ada waktu untuk menangis lebih lama. Ia harus segera bertindak. Harus mencari bantuan. Ibunya butuh pertolongan—dan waktu berjalan dengan cepat.Dengan jari yang masih sedikit bergetar, Ana membuka kontak di ponselnya.Pertama, Dinda. Teman satu kos saat masih bekerja paruh waktu di kafe dulu. Mereka cukup dekat dan Ana berharap wanita itu mau meminjamkan uang padanya.Telepon tersambung, nada sambung terdengar... satu kali, dua kali, tiga kali...Lalu klik.“Halo, Din, ini Ana.”“Hah? Ana? Ana yang mana ya?”Ana menelan ludah. “Ana... teman sekosmu dulu. Yang bareng-bareng kerja di kafe.”“Oh! Iya iya, Ana. Ya ampun, udah lama banget ya... ada apa, Na?”Ana menar

  • Penghangat Ranjang Majikanku   10. Kabar yang Mengejutkan

    Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Matahari masih malu-malu menyelinap di antara tirai rumah mewah itu.Suasana rumah terasa lengang, hanya terdengar suara gemerisik halus dari dapur yang mulai hidup oleh aktivitas Ana.Ana sudah bangun sejak sebelum fajar, berusaha mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Meski hatinya masih terasa berat sejak percakapan panas malam sebelumnya, ia memilih untuk tetap melakukan tanggung jawabnya seperti biasa.Ia mencuci sayuran, menyiapkan bahan sarapan, dan menyalakan kompor gas dengan tangan yang sedikit gemetar—tapi tetap terkontrol.Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh tegap muncul di ambang pintu dapur. Kevin.Ia masih mengenakan baju tidur satin berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan tapi tetap terlihat rapi dalam kekacauan yang tampak dibuat-buat. Pandangannya langsung tertuju pada Ana—dan tidak berpaling.“Aku pikir kamu akan pergi dari rumah ini karena sudah tidak membutuhkan peke

  • Penghangat Ranjang Majikanku   9. Kemarahan Kevin

    “Maaf, Pak Kevin. Saya tidak bisa,” ucap Ana sembari menggelengkan kepalanya dengan pelan.Kevin sempat tak bereaksi. Tatapannya kosong selama beberapa detik seakan belum sepenuhnya memahami kata-kata itu.“Kamu ... tidak bisa?” ulangnya, nada suaranya berubah tajam. “Alasannya apa sampai kamu menolaknya, Ana?” tanyanya dengan suara dinginnya.“Saya tidak sedang menjual diri saya dengan menjadi pelayan nafsu Bapak.”Kevin menatap dingin wajah Ana. Rahangnya mengeras, kedua bola matanya menyala dengan emosi yang samar-samar tertahan.Ia cukup kecewa dengan jawaban Ana. Tapi, dia juga tidak mau memaksa Ana jika wanita itu tidak menyerahkan dirinya terlebih dahulu.Ana menelan ludah bahkan tak sanggup menatap wajah Kevin yang memperlihatkan wajah kesalnya.Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan getar ketakutan yang merayap perlahan di bawah kulitnya.“Saya bukan perempuan seperti itu, Pak Kevin. Kalau Bapak butuh wanita untuk melayani, silakan cari saja yang lain. Saya han

  • Penghangat Ranjang Majikanku   8. Bertanggungjawablah

    Ana sedang menyapu beranda depan ketika seorang kurir berseragam datang membawa paket kecil. Lelaki itu berhenti di depan pagar rumah dengan senyum sopan, lalu menyebutkan namanya.“Untuk Ibu Ana. Dari Bapak Kevin,” katanya singkat dan menyerahkan kotak kecil bersegel rapi.Ana sempat membeku. Nama itu—Kevin. Masih asing di mulutnya, tapi akhir-akhir ini begitu sering mengusik pikirannya. Ia menerima bingkisan itu dengan ragu, dan menatap kotaknya lama sebelum membukanya perlahan.Di dalamnya—obat-obatan yang telah ia cari berminggu-minggu untuk ibunya. Merek-merek asing, kualitas terbaik, lengkap, mahal—terlalu mahal.Tak mungkin ia beli sendiri dengan gajinya sekarang. Tangannya gemetar saat memegang nota pengiriman yang menyertai paket itu. Tertulis harga yang membuat napasnya tercekat. Bahkan untuk satu jenis saja, ia harus bekerja berbulan-bulan.Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi tak ia biarkan jatuh.Saat ia kembali masuk ke dalam, langkahnya terasa berat. Baru saja men

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status