Share

bab 3

"Te--"

"Zaki! Sudah!" tahan Yahya saat Zaki akan menumpahkan kekesalan pada kakaknya, tak berselang lama suara deru motor terdengar meninggalkan rumah mereka, pertanda Tari sudah pergi.

"Keterlaluan dia, Pak! Bahkan motor yang dia pakai sekarang pun adalah motor yang dibeli menggunakannya uang Bapak, rumah ini juga dibangun oleh Bapak, tapi kenapa si brengsek itu malah bersikap seperti itu pada Bapak?!" raung Zaki melepaskan kekesalan dalam dadanya, air matanya berjatuhan, lalu diusapnya kasar dengan lengan bajunya.

"Zaki! Zaki sadar, Nak. Istighfar! Sudah."

Tangan Yahya melambai meminta Zaki yang tengah berdiri penuh kemarahan, mendekat padanya.

Zaki menurut dia kembali bersimpuh di depan Yahya. Menangis menyembunyikan wajahnya di pangkuan sang ayah.

"Maafkan Zaki, Pak. Sebagai anak laki-laki, Zaki tidak bisa melindungi Bapak, maaf," sesal Zaki sambil menangis.

"Tidak, Nak. Kamu hanya belum bisa, bukan tidak bisa. Pergilah sekolah, jemput masa depan kamu, Nak." Yahya mengusap kepala Zaki dengan tangannya yang bergetar.

"Lalu Bapak?" Zaki menatap wajah Yahya, wajah yang terlihat semakin tua, meski umur Yahya belum sampai enam puluh tahun. Tapi sakit yang menggerogotinya, membuat bapaknya lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.

"Bapak kenapa? Kan Bapak ada di rumah, memangnya apa yang bisa orang tua tak berguna ini lakukan?" kekeh Yahya menutupi kepedihan hati.

"Jangan bicara seperti itu, Pak. Zaki sangat membutuhkan Bapak, doa Bapak sangat Zaki butuhkan. Bapak satu-satunya milik Zaki setelah mama tidak ada." Zaki memeluk erat tubuh Yahya sambil menangis.

"Sudah jangan melow, pergi sekolah sana! Nanti terlambat. Ingat, jangan ikut-ikutan yang tidak benar. Kalau sudah beres sekolahnya langsung pulang," ingat Yahya yang diangguki Zaki.

"Bapak makan dulu, baru Zaki pergi," kata Zaki mengusap mata dan pipinya, lalu mendekatkan piring pada Yahya.

Hati Zaki kembali sakit, bapaknya makan menggunakan piring plastik hanya karena dua kali piring beling yang digunakan makan Yahya jatuh, sejak saat itu Tari memberi makan Yahya menggunakan piring plastik, yang bahkan masih licin karena tak bersih dicucinya.

"Bapak akan makan, sudah kamu pergi sana. Tuh, ambil uangnya. Dihemat, ya? Biar tetehmu tidak marah kalau kamu minta uang lagi," kekeh Yahya menunjuk pada uang dua puluh ribu yang tergeletak di meja.

"Kalau saja Zaki sudah bisa nyari uang sendiri, Pak. Tidak akan sudi Zaki terima uang dari teh Tari lagi," ketus Zaki sambil meraih uang pemberian Tari.

"Makanya, selama kamu masih membutuhkan tetehmu, kamu harus bisa menahan diri, jangan melawan dia," pesan Yahya.

"Iya, tapi dia sudah bersikap kurang aja sama Bapak, masa Zaki diam saja." Zaki mendengus kesal.

"Tenang saja. Tetehmu tidak akan berani macam-macam pada Bapak. Bagaimanapun Bapak ini bapaknya, dia pasti masih punya adab juga sopan santun, tadi itu karena sedang cape saja." Yahya masih saja membela Tari, meski jelas sikap Tari sangat menyakiti hatinya.

"Ya sudah, Zaki berangkat sekolah dulu, Pak. Bapak baik-baik di rumah, ya? Nanti Zaki titipkan Bapak sama wa Yati seperti biasa. Jangan lupa obatnya diminum." Zaki meraih tangan Yahya kemudian diciumnya.

"Jangan ngebut, Zak!" pesan Yahya.

"Iya, Pak. Assalamua'laikum!" salam Zaki dengan berat meninggalkan Yahya yang mengantarnya dengan tatap.

"Wa'alaikumussalam," balas Yahya yang tanpa dikomando air matanya langsung jatuh, saat sosok Zaki sudah tak terlihat.

"Ma, anakmu mengusir aku, Ma!" lirih Yahya mengadu pada istrinya yang sudah tenang di sana.

"Aku harus pergi kemana, Ma? Aku tahu Tari serius menginginkan aku pergi dari sini. Ini bukan baru sekali dia mengusirku untuk pergi dari rumah ini. Tadinya aku pikir, aku akan menghabiskan sisa umur di rumah ini, banyak kenangan denganmu, Ma."

Yahya menatap photo keluarga yang tergantung di tembok. Senyum Ratna begitu manis di sana. Berdiri berdampingan dengan Tari yang saat itu masih kelas tiga SMP.

Teringat harus minum obat, dengan memaksakan diri, Yahya menyuapkan nasi dan tempe goreng yang terasa sangat susah ditelan. Dia harus sembuh, setidaknya jangan sampai merepotkan, dan bisa melakukan pekerjaan agar dirinya masih berguna. Ada Zaki yang masih membutuhkan dia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status