Share

bab 4

Sementara Zaki, remaja berusia delapan belas tahun itu seperti biasa mampir ke rumah uwanya, kakak dari almarhum Ratna yang rumahnya terhalang satu rumah lain sebelum berangkat sekolah untuk menitipkan Yahya.

"Uwa Yati!" panggil Zaki dari depan pintu pagar dari bambu, terlihat Yati sedang menyapu halaman.

Yati menoleh saat mendengar namanya dipanggil.

"Zak! Belum berangkat kamu?" balas Yati berjalan mendekat, "tumben masih di rumah? Kesiangan kamu nanti," tambah Yati menatap keponakannya.

"Iya, Uwa. Titip bapak, ya?" kata Zaki seperti biasa setiap dia akan pergi meninggalkan Yahya.

"Kamu ini, Zak, Zak! Tiap hari nitipin bapakmu terus. Udah jangan khawatir, setelah beres nyapu juga nanti uwa tengokin bapakmu, jangan khawatir!" kata Yati menatap wajah Zaki yang terlihat murung.

"Wajah kamu ditekuk gini kenapa?" tanya Yati mengusap tangan Zaki.

"Teh Tari bertingkah lagi, Uwa." Zaki menghembuskan napas kasar, pada siapa lagi dia mengadu kalau bukan pada uwanya.

"Bertingkah gimana? Abaikan saja. Emang keterlaluan sekali sikap si Tari sekarang, sama uwa saja dia berani membentak," tanggap Yati ikut kesal dengan perubahan sikap Tari. Dari anak yang begitu sopan dan berbakti, kini menjadi sosok yang tidak mereka kenali.

"Bukan itu saja, Uwa, bahkan tadi teteh sampai tega ngusir bapak juga," ujar Zaki dengan sedih.

"Apa?! Yang bener kamu, Zaki?" pekik Yati tak percaya atas pengaduan anak dari mendiang adiknya itu. Sapu lidi yang dipegangnya diremas kesal.

"Iya, Uwa. Zaki jadi sedih juga sangat marah mendengarnya tadi. Bahkan teteh bilang, nanti siang pas dia nelpon, bapak harus sudah ada keputusan mau tinggal di mana," keluh Zaki menahan kegeraman juga rasa sedih dalam hati.

"Astagfirullah hal azdim! kerasukan setan mana itu si Tari? Kok, jadi tega begitu sama bapaknya sendiri? Memang ini benar-benar pengaruh dari si Badar ini. Pasti dia yang ngomporin kakak kamu untuk melakukan ini!" geram Yati, "Sudah, kamu berangkat sekolah saja sana, nanti uwa datang ke rumah buat ngomong sama bapakmu," pungkas Yati.

Yati merogoh saku rok yang dipakainya, mengeluarkan uang dan diberikan pada Zaki.

"Nih, buat tambahan beli bensin dua liter," ujarnya.

"Nggak perlu, Uwa, tadi sudah dikasih uang sama teteh," tolak Zaki merasa tak enak hati. Uwanya juga sama seperti orang tuanya, bukan orang kaya. Tapi selalu ringan tangan memberi dia uang.

Dua anak laki-laki Yati bekerja di pabrik kertas dengan gaji yang lumayan jadi bisa memberi uang pada Yati setiap bulan. itulah kenapa Zaki ingin cepat lulus sekolah, dan mencoba melamar kerja di pabrik yang sama. Setelah bekerja, dia dan ayahnya tidak akan terlalu bergantung pada Tari, yang tak lagi sama sifatnya.

"Ambil! simpan kalau memang kamu belum membutuhkannya," paksa Yati memasukan uang itu ke saku seragam Zaki.

"Ya sudah kalau begitu, Uwa. Makasih, Zaki pergi sekolah dulu," pamit Zaki sambil menyalami Yati dari balik pagar yang hanya satu meter tingginya.

"Hati-hati, Zak! Jangan ngebut!" pesan Yati, dari atas motornya Zaki mengangguk, perlahan motor Zaki bergerak meninggalkan rumah Yati yang mematung menatap kepergiannya.

Yati langsung menyelesaikan pekerjaanya, dia harus menemui Yahya untuk menanyakan kebenaran atas pengaduan dari Zaki tadi.

"Tega bener kalau si Tari memang mengusir si Yahya. Dasar anak durhaka!" geram Yati dengan menahan kemarahan pada keponakannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status