Share

Part 2

Beberapa menit lamanya, Nana mematut wajahnya di depan cermin kecil yang Atik belikan untuknya.

Setelah membersihkan diri, Nana segera memakai dress polos pemberian Atik beberapa bulan yang lalu. Dress sederhana sebagai hadiah ulang tahun Nana yang ke 19.

Nana mengoleskan tipis bedak tabur bayi ke seluruh wajahnya, tak lupa memulas sedikit pelembab bibir  dan mengikat rambut panjangnya. Sekilas Nana tampak cantik meskipun hanya memakai pakaian dan dandanan sederhana.

Gadis naif itu tak henti-hentinya mengembangkan senyum manisnya ketika otaknya mengulang ajakan Adila sore tadi. Sikapnya yang terlalu polos sama seperti Sang ibu yang sudah meninggalkannya sejak ia berumur 4 tahun.

“Nana cantik,” celetuk Atik memasuki kamar Nana.

“Terima kasih Mbak Atik,” ucap Nana malu-malu. Selalu seperti ini jika ada yang memujinya. Bahkan jika Lisa  sekalipun yang mengatakannya.

“Ingat pesan Mbak Atik ya, Nana nggak boleh ceroboh kalau ke luar sama Nyonya. Harus nurut apa kata Nyonya,” pesan Atik.

“Iya Mbak Atik. Nana akan selalu ingat, Nana enggak akan malu-maluin,” ucap Nana antusias.

“Ayo Mbak antar ke depan! Jangan sampai Nana telat! Nanti Nyonya bisa marah-marah sama Nana.”

“Ayo,” jawab Nana girang.

Gadis 19 tahun itu menggandeng Atik dengan bersemangat. Kedua kakinya yang terbalut sandal sederhana melangkah dengan langkah teratur menuju halaman depan.

“Eh, Neng Nana sama Neng Atik mau ke mana?” tanya Mang Usman.

“Nana mau pergi sama bibi, Mang,” jawab Nana girang yang membuat Atik geleng-geleng.

Mang Usman mengernyitkan dahinya, sedikit heran dengan pernyataan Nana yang tentu mengejutkannya. Pria itu sebaya dengan Mang Adi, dan kurang lebih lama bekerja juga sama. Dan kedua pria itu juga sangat menyayangi Nana.

“Pergi?” beo Mang Usman.

“Iya Mang, tadi bibi  yang ngajak Nana keluar.”

“Ke mana?” tanya Mang Usman lagi.

Nana menggeleng karena benar-benar tak tahu.

Belum sampai Mang Usman mengajukan pertanyaan lain, Adila berseru kencang.

“Usman!” seru Adila kencang dari teras.

Mang Usman tergopoh-gopoh mendekat ke arah Sang majikan. “Saya Nyonya,”

“Berikan kunci mobil! Aku akan menyetir sendiri!” ucap Adila.

“B-baik Nyonya,” Mang Usman berlari menuju di mana ia meletakkan kunci mobil,  dan segera kembali sebelum Adila kembali berseru.

“Ini Nyonya,”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Adila menerima kunci itu dan segera memanggil Nana untuk masuk ke mobilnya. Nana yang masih bergelayut di lengan Atik, segera masuk ke mobil Adila setelah berpamitan kilat kepada wanita itu. Sedangkan Atik dan Usman menatap heran kepada Sang majikan yang tak seperti biasanya.

Mobil yang dikendarai Adila berhenti di salah satu salon langganannya. Ia menyuruh Nana untuk turun dan segera mengikutinya masuk ke dalam.

Nana hanya duduk terdiam di salah satu kursi di depan cermin, di dalam salon itu. Ada satu pegawai yang mendekat untuk merias wajahnya menggunakan make up warna-warni yang belum pernah Nana ketahui.

Setelah selesai di make up, begitu juga dengan rambut panjang Nana yang sudah di tata dengan rapi, pegawai itu berseru senang.

Adila dengan senyum misterius menatap ke arah Nana.

‘Ternyata wajahmu benar-benar seperti dia. Andai saja ia dulu memilihku, maka dia masih bisa menghirup udara di dunia ini.’

“Pakai ini!” Adila menyodorkan paper bag ke arah Nana. “Ganti di sana dan jangan lama-lama!” ucap Adila sambil menunjuk ruang ganti tak jauh dari tempat Nana.

Nana menerima paper bag itu dan segera ganti sesuai instruksi Adila. Namun saat ia selesai memakai dress mini berwarna merah itu, rasa malu tiba-tiba menyeruak. Ia pun melepasnya kembali dan keluar dengan dressnya sendiri.

“Kenapa belum berganti?” tanya Adila dengan menekan emosinya.

“B-baju ini terlalu pendek, Bi. Nana malu,” ucap Nana sambil menunduk.

Adila geram. Ia pun menarik tangan Nana untuk kembali masuk ke dalam.

“Lepaskan baju kamu! Cepat!” seru Adila tak sabaran.

Dengan raut ketakutan Nana mengikuti instruksi Adila. Ia pun melepas dressnya. Tapi saat ia akan memakai dress mini itu, Adila memintanya melepas penutup dada Nana. Dan gadis itu pun menurut.

“Bagus, sesuai dengan angan-anganku!” ucap Adila puas. “Buruan pakai highellsnya dan masuk ke mobil!”

Nana hanya mengangguk dan segera memakainya. Ia pun tampak kesulitan berjalan karena ini baru pertama kali baginya. Namun dengan niat tidak ingin mengecewakan Sang bibi, Nana mencoba mengeluarkan kemampuannya.

Semua mata menatap terpesona ke arah Nana yang berjalan dengan anggun dan tampak luwes. Beberapa orang di sana menyatakan kekaguman dan pujian yang membuat kedua pipi Nana bersemu.

“Ayo,” ucap Adila tanpa suara yang langsung dipahami Nana.

Kini Nana berada di dalam mobil bersama Adila menuju ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi oleh Nana.

Nana menatap takjub ke arah pintu ‘Black Marion Bar’ yang merupakan salah satu bar terkenal di ibu kota. Tampak beberapa laki-laki yang menggandeng wanita dan melakukan hal-hal intim tanpa tahu malu. Nana membuang muka saat dengan terang-terangan beberapa pria menatapnya penuh minat.

“Ayo, kita masuk!”

“Bibi?” panggil Nana.

Adila menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Nana yang menunduk sambil  memilin kedua tangannya. Tangannya bersedekap. “Kenapa?”

“Kenapa kita ke sini?” tanya Nana gugup. Jelas saja, siapa juga yang tak akan gugup diajak ke bar dengan memakai pakaian minim seperti ini.

Adila melangkah mendekati Nana. Ia meraih dagu Nana hingga gadis itu mendongak.  “Kita akan bertemu teman paman. Kemarin paman meminjam uang kepadanya dan meminta kamu menemaninya minum  malam ini,” ucap Adila.

“T-tapi....”

“Kalau kamu ingin bibi dan paman bersikap lembut, maka ikutilah perkataan kami. Kamu mengerti!”

‘Kamu harus nurut ya sama Nyonya. Jangan membuat dia marah dan mengurungmu lagi di gudang.’

Pesan dari Atik berputar ulang-ulang seperti kaset rusak. Kemudian Nana mengangguk.

“Bagus!” Adila tersenyum miring. “Itu baru anak pintar. Kamu cukup menemani di sebelahnya. Aku akan duduk tak jauh dari kalian. Bagaimana?” Adila menaikkan satu alisnya.

Lagi-lagi Nana mengangguk.

“Ayo!”

Adila membalikkan tubuh dan kembali melangkah diikuti Nana. Ketika sampai di depan pintu bar, dada Nana berdebar kencang. Aroma alkohol dan rokok begitu kuat hingga beberapa kali membuat Nana terbatuk.

Apalagi tatapan penuh minat dari beberapa laki-laki yang berada di sana, membuat Nana semakin tak nyaman. Adila berjalan masuk, mengabaikan beberapa sapaan yang Nana perkirakan adalah teman-teman Sang bibi.

Sesampai di salah satu pintu ruangan VIP seorang pelayan membukakan pintu itu dan mempersilahkan Adila masuk diikuti Nana. Saat masuk, Nana mendapati pria paruh baya dengan kemeja terbuka, bersama dua orang wanita yang meraba-raba dada dan rahangnya. Nana membuang muka ke arah lain untuk tidak menyaksikan adegan tidak senonoh itu.

“Malam Fer, aku bawakan sesuai janjiku.”

Pria bernama Ferdian Adinata itu menatap ke arah Nana penuh minat. Apalagi menatap dada Nana yang tampak menggoda.

“Berapa?” tanya Ferdi tanpa basa-basi.

“1 M, sesuai janji. Dia masih perawan,” bisik Adila lirih.

Ferdi tersenyum miring. Ia segera mengeluarkan cek dan menuliskan nominal,  tanggal dan membubuhkan tanda tangannya. Lalu memberikan cek itu kepada Adila.

“Aku suka dengan caramu. Aku akan menunggu di luar setelah kamu selesai bersenang-senang,” ucap Adila bersemangat. Saat ia beranjak, tangan Ferdi mencegahnya. “Kenapa?”

“Pulanglah! Aku akan bersenang-senang sampai besok pagi,” ucap Ferdi tanpa mengalihkan tatapannya dari Nana yang masih berdiri tak jauh darinya.

“OK!”

Adila berlalu dari sana setelah membujuk Nana untuk mendekati pria paruh baya yang menatap lapar ke arahnya.

“Duduk, sini,” Ferdi menepuk sofa di sebelahnya setelah ia mengusir kedua wanita yang tadi merayunya.

Dengan gugup dan dada berdetak kencang, Nana duduk agak jauh dari Ferdi. Dan sikap itu membuat pria paruh baya itu semakin menyeringai.

“Kamu masih sekolah?” tanya Ferdi sembari menuang Bombay Sapphire ke dalam gelas kristal di depannya.

“I-iya Om,” jawab Nana pelan.

“Enggak usah takut sama Om,” Ferdi meletakkan tangannya di paha Nana dan langsung di tepis oleh Nana. Ferdi menarik sudut bibirnya, ia meneguk kembali cairan mahal di gelasnya. “Temenin Om malam ini. Apa pun yang kamu minta akan Om berikan,”

“B-baik Om,” jawab Nana polos. Gadis ini benar-benar tak tahu kalau ia sedang dalam bahaya.

Ferdi kembali menuang Bombay Sapphire lagi. Ia ingin menjadi setengah mabuk sebelum melayang ke tempat terindah bersama Nana. Namun saat ia mendapati pergerakan Nana yang tampak malu-malu dan polos,  membuatnya semakin yakin gadis itu masih bersih.

‘Sepertinya ini akan jadi santapan yang menarik’

Bersambung  ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status