Share

Perjalanan Cinta Nana
Perjalanan Cinta Nana
Author: AR_Merry

Part 1

“Na, kamu jadi mau lanjut kuliah?” tanya Lisa, sahabat Nana satu-satunya di SMA 26 Jakarta.

“Belum tahu Sa,” jawab Nana lesu.

Kini mereka berada di belakang kelas setelah menyelesaikan ujian akhirnya.

Lisa mengernyit, “Kamu belum bilang ke bibi kamu?”

Nana menggeleng. Ia mendesah pasrah.

“Kenapa? Kamu kan pintar? Sayang loh Na kalau kamu nggak nerusin kuliah,” tanya Lisa beruntun.

“Nana maunya gitu. Tapi, mau bagaimana lagi kalau keadaannya seperti ini.” Nana menghela nafas pelan. “Bisa sekolah di sini saja Nana sudah bahagia,”

Tanpa terasa kedua mata Nana berkaca-kaca. Bulir-bulir air mata siap tumpah dalam waktu dekat jika saja Lisa tak mengalihkan pembicaraan mereka.

“Ehm, bagaimana kalau kamu cari kerja dulu gitu. Nanti kumpulin uangnya buat kuliah tahun depan. Aku temenin deh. Gimana?” ucap Lisa antusias.

Nana tersenyum penuh harapan, “Emang kamu nggak dimarahi orang tua kamu kalau menunda kuliah?”

“Nanti aku ngomong dulu sama Ayah. Tenang aja, aku kan punya jurus seribu rayuan buat dapetin izin dari Ayah,” jawab Lisa sambil menyingsingkan kedua lengan seragamnya dan mengedipkan kedua matanya.

“Kamu itu memang paling bisa buat Nana tersenyum dan nggak sedih lagi,” lirih Nana gemas melihat tingkah konyol sahabatnya.

“Pokoknya di mana ada kamu, nanti ada aku juga. Biar aku bisa melindungi kamu dari orang-orang jahat seperti Inez,” ucap Lisa dengan bersungguh-sungguh.

“Terima kasih ya, Sa. Nana bahagia punya sahabat seperti kamu. Selama ini cuma kamu yang belain dan melindungi Nana,” ucap Nana dengan mata memerah.

Lisa segera memeluk Nana agar gadis itu menjadi lebih tenang dan tak sedih.

Gadis yang mempunyai nama lengkap Kirana Anjani adalah seorang yatim piatu sejak 15 tahun yang lalu. Nana, begitulah panggilan yang diberikan Sang Bibi, Adila Wijaya.

Adila bukanlah seorang bibi yang baik. Wanita itu selalu memperlakukan Nana dengan kasar, memerintah Nana seenaknya layaknya seorang pembantu.

Nana harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke sekolah dan harus kembali bekerja sepulang sekolah. Nana bahkan tidak pernah menghabiskan waktunya hanya untuk bermain atau bersantai.

Belum lagi perlakuan Sang paman, Bisma Wijaya yang juga sama dengan Adila. Bahkan Bisma pernah melecehkan Nana beberapa kali.

Setelah Nana tenang, Lisa mengajak Nana untuk makan es krim di salah satu taman dekat sekolah untuk melepas penat sejenak. Beruntung Adila tidak mengetahui jadwal Nana yang beberapa hari ini menjalani ujian. Jadi Nana punya waktu untuk istirahat sebelum kembali bekerja di rumah.

“Kamu mau rasa apa, Na?” tanya Lisa ketika mereka sudah sampai es krim di sekitar trotoar taman itu.

“Nana mau rasa stroberi boleh?” jawab Nana.

Lisa mengangguk cepat. “Tentu saja boleh,” sahut Lisa cepat. “Es krimnya 2, Bang, rasa stroberi. Yang cup besar ya,” lanjut Lisa ketika melihat Nana melangkah menuju bangku tak jauh darinya.

“Siap, Neng.”

Lisa membawa 2 cup es krim ke arah Nana yang duduk dengan menatap ke arah anak kecil yang digandeng kedua orang tuanya. Lisa yang paham akan perasaan Nana segera menyodorkan kedua cup es krim di tangannya kepada Nana agar sahabatnya tidak sedih lagi.

“Nih,” Lisa menyodorkan 2 cup es krim ke Nana sekaligus.

Nana yang sedang melamun, terkejut mendengar ucapan Lisa yang tiba-tiba sudah di hadapannya.

“Kok banyak banget, Sa?” tanya Nana kaget.

“Ini Abangnya lagi baik hati. Tadi aku bilang aja kalau kamu mendapat nilai bagus di kelas,” jawabnya berbohong.

“Beneran?” tanya Nana dengan mata mengerjap polos.

Lisa mengangguk cepat. “Iya, kamu mau tanya sama Abangnya?” dalam hati Lisa berdoa agar Nana percaya dengan ucapnya.

Nana menggeleng dan tersenyum.

“Kita makan yuk, habis ini kamu harus pulang kan?” ajak Lisa.

Nana mengangguk. “Iya. Bibi punya acara sore nanti. Nana harus membantu Mbak Atik nyiapin makanan,” jawabnya.

Lisa sesekali melirik ke arah Nana yang kini begitu lahap dengan es krim di tangannya. Ia sebenarnya kasihan melihat Nana yang harus bekerja tanpa waktu yang jelas. Bahkan sering kali sahabatnya mengantuk pada saat mata pelajaran berlangsung.

Setelah menghabiskan satu cup besar es krim rasa stroberi di tangannya, Nana dan Lisa berjalan bersama untuk pulang. Namun di persimpangan jalan mereka harus berpisah karena rumahnya tidak searah.

“Hati-hati ya, Na. Besok Lisa tungguin di sini lagi,” pesan Lisa setiap kali berpisah dengan Nana.

Nana mengangguk dengan senyum manisnya. “Kalau Nana telat tungguin ya, Sa,” tambahnya.

“Siap!” ucap Lisa sambil mengacungkan dua jempol tangannya.

Nana berjalan sambil sesekali menoleh ke arah belakang, di mana Lisa belok ke jalan menuju rumahnya.

Sesampai di rumah, Nana segera masuk lewat pintu samping di mana biasanya para ART dan sopir masuk ke rumah mewah itu.

Nana meletakkan tas usangnya ke dalam kamar berukuran 2 ×3 meter di dekat dapur. Kamar Nana bahkan tidak terlihat seperti kamar ART yang lain yang ada beberapa fasilitas kipas angin dan jendela. Ruangan itu lebih mirip seperti gudang penyimpanan barang tak terpakai.

Walaupun begitu, Nana tetap bisa ceria menjalani hari-harinya. Sebenarnya dulu Nana mempunyai kamar seperti ART di sana, tapi sejak Nana menginginkan ingin sekolah, Nana harus menerima kamar itu sebagai tempat tidurnya.

“Apa yang harus Nana bantu Mbak Atik?” tanya Nana yang sudah berganti kaos oblong usang miliknya.

Atik menoleh ke arah kanan kiri sebelum menyuruh Nana duduk. Wanita yang sepuluh tahun lebih tua dari Nana itu membuka tudung saji tak jauh dari hadapannya, dan meraih piring yang berisi nasi dan lauk pauk untuk diberikan kepada Nana.

“Makan dulu, Na. Biar Mbak Atik jaga pintunya, OK!” ucap Atik setelah menyerahkan piring itu kepada Nana dan mengedipkan kedua matanya.

“Terima kasih Mbak Atik,” ucap Nana dengan mata berkaca-kaca.

Selalu seperti ini, hanya Mbak Atik yang peduli dengan Nana selama sepuluh tahun ini. Semenjak wanita 29 tahun itu bekerja di sana.

Dulu, Atik pikir ia bekerja mengasuh Nana. Tapi ternyata ia harus mengajari Nana untuk ikut melakukan pekerjaan rumah, sejak Nana berumur 9 tahun hingga sekarang. Wanita itu pun bertahan sampai saat ini karena Nana. Tanpa sadar Atik telah menyayangi Nana seperti adiknya sendiri.

Setelah Nana selesai makan, Atik segera membawa gadis itu untuk duduk di lantai. Memberinya beberapa sayuran dan bumbu untuk dikupas. Sedangkan ia sendiri mengerjakan pekerjaannya sendiri yang tertunda.

“Sudah selesai semua Mbak Atik,” ucap Nana setelah pekerjaannya selesai.

“Nana pergi ke belakang aja ya, bantu-bantu Mamang di kolam,” bujuk Atik pada Nana.

Nana mengangguk patuh dan segera keluar dari dapur menuju kolam ikan di taman belakang.

“Mamang, ada yang bisa Nana bantu?” tanya Nana dengan riang.

“Sini Neng, bantuin Mamang nyabutin rumput ya?” jawab Mang Adi, tukang kebun yang sudah 5 tahun ini bekerja di sana. Pria 40 tahun itu sama seperti Atik, menyayangi Nana seperti keluarganya sendiri.

“Bibi beli bunga banyak banget, Mang?” tanya Nana takjub melihat banyaknya bunga yang masih berada di keranjang.

“Iya Neng. Tadi keluar sama Mang Usman dari pagi. Eh, pulangnya bawa bunga banyak. Ayo buruan duduk sini!” Mang Adi menoleh keadaan sekitar sebelum melanjutkan ucapannya, “Nanti keburu Nyonya ngelihat Eneng nggak kerja, bisa nyemburin api seperti yang di film-film itu,” tambahnya.

Nana tertawa mendengar gurauan yang diucapkan Mang Adi padanya. Nana tahu kalau pria itu sengaja menghibur dirinya.

“Mamang ada-ada saja,” ucap Nana sambil geleng-geleng kepala.

Setelah selesai membersihkan rumput serta menyusun bunga-bunga yang baru, Nana bersama Mang Adi beristirahat sejenak sebelum mengerjakan tugas yang lain. Mereka akan ke taman depan, memangkas beberapa tanaman yang sudah meninggi.

“Nana,” seru Mbak Atik yang tampak berlari ke arah Nana dan Mang Adi yang tampak beristirahat.

“Kenapa Mbak Atik lari-lari?” tanya Nana yang sudah berdiri semenjak Atik memanggilnya.

“Nyonya ...  Nyonya nyariin kamu. Ayo buruan ke depan! Jangan sampai beliau marah lagi!” ucap Atik dengan sedikit terbata. Wanita itu segera menggandeng Nana untuk buru- buru kembali ke dapur.

Sesampai di dapur, Adila dengan dua tangan bersedekap tampak di ambang pintu dapur menantinya.

“Ada apa bibi? Tadi Nana sedang di belakang membantu Mang Adi membersihkan ...” ucapan Nana terhenti ketika Adila mengibarkan tangannya.

“Kamu ikut saya malam nanti!” ucap Adila dengan nada perintah.

“I-ikut? Ke-Ke mana?” tanya Nana gugup. Pasalnya Sang bibi tidak pernah mengajaknya keluar bersamanya. Dan ini baru yang pertama kali seingat Nana.

“Tidak perlu banyak tanya! Ikut saja!” jawab Adila ketus sambil berlaku dari sana.

Nana yang terlalu naif bersorak bahagia mendengar ucapan Adila yang akan mengajaknya keluar rumah. Gadis itu berhambur memeluk Atik yang menatap curiga ke arah majikannya.

‘Tumben Nyonya mau membawa Nana keluar? Biasanya juga nggak pernah sama sekali. Bahkan ia tidak mau tahu keadaan Nana yang sedang sakit. Ada yang tidak beres!’

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
laut
kak lanjut ............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status