Share

3

"Ceraikan aku." Kania berujar dengan tegas setelah mendengar penuturan Cakra bahwa ia sudah berpacaran dengan Della selama setahun. Ingatannya akan rasa sakit kala ia keguguran sementara suaminya bersenang senang dengan wanita lain membulatkan tekadnya untuk berpisah. Lagipula wanita mana yang rela dimadu. Perpisahan satu satunya jalan yang terbaik untuk dirinya.

Cakra menghampiri Kania yang duduk di sisi ranjang. "Nia, maafkan mas. Mas ga bisa menceraikanmu. Mas sayang sama kamu. Tapi kamu harus ngerti, gimanapun mas harus tanghung jawab sama Della." ucapan lembut Cakra tak membuat Kania tersentuh. "Harusnya mas berpikir seribu kali sebelum mas berselingkuh. Mas sudah menodai pernikahan kita. Mas tega mengkhianati aku. Ngga mas, aku ga bisa. Aku tetap ingin bercerai."

Cakra mulai memutar otak mencari cara supaya Kania mau memaafkan dirinya. Dia tak bisa bercerai dengan Kania. Seluruh aset dan harta yang ada, semuanya atas nama Kania. Ya, wanita itu begitu pintar sehingga saat awal pernikahan mereka, ia tak diberi celah sedikit pun untuk menguasai harta peninggalan orangtua Kania. Apalagi perusahaan tempatnya bekerja, mayoritas saham adalah atas nama istrinya. Bisa bisa ia didepak dari perusahaan bahkan dari rumah mereka saat ini. Ia bakal menjadi gembel kalo seperti ini caranya.

"Nia, tolong pikirkan lagi. Setidaknya pikirkan lima tahun kebersamaan kita. Ini ujian pernikahan, kita pasti bisa melewati semua ini. Mas mohon, setidaknya pikirkan dengan matang selama seminggu. Setelah itu baru kita bicarakan lagi." Kania menimang apa yang Cakra katakan. Namun tekadnya terlampau kuat. Untuk apa lagi dipikirkan, semua sudah jelas. Apa yang Cakra lakukan benar-benar keterlaluan. Baginya pengkhianatan yang suaminya lakukan sudah menodai janji suci mereka.

"Tidak. Mau seminggu ataupun sehari, keputusanku sudah bulat. Aku ingin bercerai. Sebaiknya kau bawa wanita murahan itu pergi dari rumahku dan bawa pula semua barang-barang milikmu keluar dari rumah ini." Kania sudah tak sanggup lagi melihat wajah mereka. Tak peduli jika Cakra menganggapnya wanita jahat, namun rumah ini miliknya. Rumah yang diwariskan orangtuanya untuk dirinya. Kania tak sudi jika rumah yang berharga ini ditempati dua orang penzina.

Rahang Cakra mengeras mendengar kata-kata Kania. Sorot matanya memancarkan amarah. Ia merasa ucapan Kania merupakan penghinaan baginya.

Plak.

Dengan penuh emosi Cakra menampar Kania. Hal yang belum pernah sekalipun ia lakukan. Karena memang selama ini Kania tak pernah sekalipun berlaku ataupun berkata yang menyakiti hatinya. Namun kali ini semua berubah. Kania terkejut bukan main. Tak hanya karena kuatnya tamparan suaminya, namun juga tindakan kasar yang dilakukan suaminya ini merupakan yang pertama.

"Mas..." Suaranya bergetar, airmatanya menetes membasahi pipi.

"Maafkan mas, tapi apa yang barusan kamu ucapkan benar-benar keterlaluan. Sepertinya lebih baik aku memberimu waktu agar kau berpikir ulang atas apa yang kau ucapkan barusan." Cakra beranjak keluar sambil mencabut kunci yang tergantung di sisi dalam kamar lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar. Kania berlari mengejar Cakra namun ia terlambat. Kania menggedor gedor pintu meminta Cakra membuka pintu kamarnya.

"Mas!! Buka pintunya!! Mas Cakra!!!"

========

Kania terduduk lemas dibalik pintu. Sejak tadi malam ia berusaha meminta Cakra membuka pintu namun suaminya itu tak menggubrisnya. Kania hanya bisa menangis tersedu tak menyangka suaminya akan berbuat seperti ini. Perut Kania bersuara minta diisi, sejak kemarin ia belum makan apa apa. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Kania berharap Cakra akan membuka pintu karena sebentar lagi ia harus berangkat kerja. Baju kerja milik Cakra masih di dalam kamar, berarti Cakra akan masuk ke kamar sebentar lagi.

Benar saja, suara kunci terdengar dari balik pintu. Kania segera bangkit dan menunggu pintu dibuka. Tak lama wajah suaminya terlihat didepan pintu. Cakra yang melihat wajah istrinya begitu membuka pintu langsung memeluk Kania. "Maafkan mas, Nia. Maaf. Entah apa yang merasuki pikiran mas sampai berbuat sejauh ini." Ucapnyapenuh sesal. Mendengar hal itu, Kania yang baru saja akan memaki Cakra, luluh akan permintaan maaf suaminya itu. "Kamu pasti lapar. Ayo, kita sarapan dulu. Mas sudah menyiapkan makanan untukmu." Cakra membimbing Kania menuju meja makan. Diatas meja tersaji dua piring nasi goreng lengkap dengan segelas jus jeruk kesukaannya. Kania mengedarkan pandangannya mencari wajah wanita selingkuhan suaminya, namun tampaknya wanita itu sudah pergi karena ia tak melihat kehadirannya.

"Ayo makan, kau pasti lapar dari kemarin belum makan." Cakra menyantap nasi goreng yang berada dihadapannya. Nasi goreng buatan bi Imas, asisten rumah tangga mereka. Kania yang memang sejak tadi sudah kelaparan, ikut menyantap makanan yang sama dengan Cakra. Ia pikir setidaknya ia harus mengisi perut sebelum membahas masalah perceraian. Sambil sesekali meminum jus jeruk, Kania makan dengan lahap. Cakra yang melihat pemandangan didepannya tak berkata apa-apa. Ia tak ingin mengganggu acara sarapan paginya dengan pertengkaran.

Selesai menghabiskan sarapan, Kania tiba-tiba saja merasakan pening di kepalanya. Kepalanya terasa berputar tujuh keliling. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Apa karena semalaman tak tidur dan hanya menangis? Apa karena perutnya kosong sejak kemarin. Kania berusaha bangun dari kursi sebelum akhirnya terjatuh dan tergeletak didepan meja makan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status