"Ceraikan aku." Kania berujar dengan tegas setelah mendengar penuturan Cakra bahwa ia sudah berpacaran dengan Della selama setahun. Ingatannya akan rasa sakit kala ia keguguran sementara suaminya bersenang senang dengan wanita lain membulatkan tekadnya untuk berpisah. Lagipula wanita mana yang rela dimadu. Perpisahan satu satunya jalan yang terbaik untuk dirinya.
Cakra menghampiri Kania yang duduk di sisi ranjang. "Nia, maafkan mas. Mas ga bisa menceraikanmu. Mas sayang sama kamu. Tapi kamu harus ngerti, gimanapun mas harus tanghung jawab sama Della." ucapan lembut Cakra tak membuat Kania tersentuh. "Harusnya mas berpikir seribu kali sebelum mas berselingkuh. Mas sudah menodai pernikahan kita. Mas tega mengkhianati aku. Ngga mas, aku ga bisa. Aku tetap ingin bercerai."Cakra mulai memutar otak mencari cara supaya Kania mau memaafkan dirinya. Dia tak bisa bercerai dengan Kania. Seluruh aset dan harta yang ada, semuanya atas nama Kania. Ya, wanita itu begitu pintar sehingga saat awal pernikahan mereka, ia tak diberi celah sedikit pun untuk menguasai harta peninggalan orangtua Kania. Apalagi perusahaan tempatnya bekerja, mayoritas saham adalah atas nama istrinya. Bisa bisa ia didepak dari perusahaan bahkan dari rumah mereka saat ini. Ia bakal menjadi gembel kalo seperti ini caranya."Nia, tolong pikirkan lagi. Setidaknya pikirkan lima tahun kebersamaan kita. Ini ujian pernikahan, kita pasti bisa melewati semua ini. Mas mohon, setidaknya pikirkan dengan matang selama seminggu. Setelah itu baru kita bicarakan lagi." Kania menimang apa yang Cakra katakan. Namun tekadnya terlampau kuat. Untuk apa lagi dipikirkan, semua sudah jelas. Apa yang Cakra lakukan benar-benar keterlaluan. Baginya pengkhianatan yang suaminya lakukan sudah menodai janji suci mereka."Tidak. Mau seminggu ataupun sehari, keputusanku sudah bulat. Aku ingin bercerai. Sebaiknya kau bawa wanita murahan itu pergi dari rumahku dan bawa pula semua barang-barang milikmu keluar dari rumah ini." Kania sudah tak sanggup lagi melihat wajah mereka. Tak peduli jika Cakra menganggapnya wanita jahat, namun rumah ini miliknya. Rumah yang diwariskan orangtuanya untuk dirinya. Kania tak sudi jika rumah yang berharga ini ditempati dua orang penzina.Rahang Cakra mengeras mendengar kata-kata Kania. Sorot matanya memancarkan amarah. Ia merasa ucapan Kania merupakan penghinaan baginya.Plak.Dengan penuh emosi Cakra menampar Kania. Hal yang belum pernah sekalipun ia lakukan. Karena memang selama ini Kania tak pernah sekalipun berlaku ataupun berkata yang menyakiti hatinya. Namun kali ini semua berubah. Kania terkejut bukan main. Tak hanya karena kuatnya tamparan suaminya, namun juga tindakan kasar yang dilakukan suaminya ini merupakan yang pertama."Mas..." Suaranya bergetar, airmatanya menetes membasahi pipi."Maafkan mas, tapi apa yang barusan kamu ucapkan benar-benar keterlaluan. Sepertinya lebih baik aku memberimu waktu agar kau berpikir ulang atas apa yang kau ucapkan barusan." Cakra beranjak keluar sambil mencabut kunci yang tergantung di sisi dalam kamar lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar. Kania berlari mengejar Cakra namun ia terlambat. Kania menggedor gedor pintu meminta Cakra membuka pintu kamarnya."Mas!! Buka pintunya!! Mas Cakra!!!"========Kania terduduk lemas dibalik pintu. Sejak tadi malam ia berusaha meminta Cakra membuka pintu namun suaminya itu tak menggubrisnya. Kania hanya bisa menangis tersedu tak menyangka suaminya akan berbuat seperti ini. Perut Kania bersuara minta diisi, sejak kemarin ia belum makan apa apa. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Kania berharap Cakra akan membuka pintu karena sebentar lagi ia harus berangkat kerja. Baju kerja milik Cakra masih di dalam kamar, berarti Cakra akan masuk ke kamar sebentar lagi.Benar saja, suara kunci terdengar dari balik pintu. Kania segera bangkit dan menunggu pintu dibuka. Tak lama wajah suaminya terlihat didepan pintu. Cakra yang melihat wajah istrinya begitu membuka pintu langsung memeluk Kania. "Maafkan mas, Nia. Maaf. Entah apa yang merasuki pikiran mas sampai berbuat sejauh ini." Ucapnyapenuh sesal. Mendengar hal itu, Kania yang baru saja akan memaki Cakra, luluh akan permintaan maaf suaminya itu. "Kamu pasti lapar. Ayo, kita sarapan dulu. Mas sudah menyiapkan makanan untukmu." Cakra membimbing Kania menuju meja makan. Diatas meja tersaji dua piring nasi goreng lengkap dengan segelas jus jeruk kesukaannya. Kania mengedarkan pandangannya mencari wajah wanita selingkuhan suaminya, namun tampaknya wanita itu sudah pergi karena ia tak melihat kehadirannya."Ayo makan, kau pasti lapar dari kemarin belum makan." Cakra menyantap nasi goreng yang berada dihadapannya. Nasi goreng buatan bi Imas, asisten rumah tangga mereka. Kania yang memang sejak tadi sudah kelaparan, ikut menyantap makanan yang sama dengan Cakra. Ia pikir setidaknya ia harus mengisi perut sebelum membahas masalah perceraian. Sambil sesekali meminum jus jeruk, Kania makan dengan lahap. Cakra yang melihat pemandangan didepannya tak berkata apa-apa. Ia tak ingin mengganggu acara sarapan paginya dengan pertengkaran.Selesai menghabiskan sarapan, Kania tiba-tiba saja merasakan pening di kepalanya. Kepalanya terasa berputar tujuh keliling. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Apa karena semalaman tak tidur dan hanya menangis? Apa karena perutnya kosong sejak kemarin. Kania berusaha bangun dari kursi sebelum akhirnya terjatuh dan tergeletak didepan meja makan.Della merasa bosan berada didalam kamar yang ukurannya tak lebih besar dari kamar kos miliknya. Ruangan yang hanya terdiri dari ranjang berukuran queen size dengan dua buah nakas disisinya serta sebuah lemari dua pintu itu memang sedianya hanyalah sebuah kamar tamu yang berada dilantai dua didalam rumah mewah ini. Sambil mengoyang-goyangkan kakinya, ia duduk di pinggir ranjang memainkan ponsel keluaran terbaru miliknya yang baru saja dibelikan oleh Cakra seminggu yang lalu. Meski matanya tertuju pada ponsel pintar itu namun dalam hatinya ia menggerutu kesal menunggu Cakra yang tak kunjung datang. Beruntung masa masa morning sickness yang biasa diderita ibu hamil sudah ia lewati. Setidaknya ia tak kesulitan melewati pagi ini seorang diri.Sepuluh menit berlalu, suara derit pintu membuatnya mengalihkan pandangan dari ponselnya."Maaf ya sayang, kamu lama nunggu ya?" Lelaki berbadan tegap dengan paras rupawan itu menghampirinya dan memeluknya sambil bergelut manja di bahunya. "Mas Cakra n
Kania berteriak sekuat tenaga sambil menggedor pintu meminta tolong. Ia berharap suaminya ataupun bi Imas, asisten rumah tangganya mendengar dan membukakan pintu. Namun sudah hampir sejam tak jua membuahkan hasil.Kania yang terbangun dengan sakit kepala yang hebat mendapati dirinya berada dikamar tamu yang berada terpisah dari rumah utama. Kamar tamu itu dipisahkan dari rumah utama dengan pemisah berupa sebuah taman kecil dengan kolam ikan dan air terjun kecil yang gemericik disisinya. Kamar tersebut berupa paviliun kecil yang dulu ia bangun untuk saudaranya jika ada yang ingin menginap dirumahnya. Paviliun kecil yang berupa kamar tidur dengan kamar mandi didalamnya dan sebuah teras kecil diluar. Kamar yang hampir tak pernah digunakan itu tiba tiba saja menjadi kurungan baginya. Entah sudah berapa lama ia tertidur atau mungkin lebih tepatnya pingsan. Jam di dinding menujukkan pukul dua dan dari cahaya jendela ia bisa memastika bahwa sekarang pukul dua siang. Namun ia tak yakin apakah
Kania merasakan ada pergerakan asing disamping tubuhnya. Ia membuka matanya secara perlahan dan mendapati suaminya berbaring disampingnya. Entah Cakra tertidur atau tidak namun suaminya itu menutul matanya. Menyadari adanya kesempatan untuk kabur, Kania perlahan mencoba bangun."Mau kemana?" Suara berat Cakra mengagetkannya, ternyata Cakra tidak tidur. "Percuma, pintunya dikunci dan diluar juga ada penjaga."Ucapnya lagi. Kania pun mengurungkan niatnya sambil terus memikirkan cara membujuk Cakra agar melepaskannya. Saat Kania terdiam, Cakra menarik tubuh Kania kedalam pelukannya. Kania tak memberontak pun tak berkata apa-apa. Entah sejak kapan Cakra berada dikamarnya, namun Cakra masih memakai pakaian kerjanya. Apa sejak semalam Cakra berada dikamarnya?Cakra menangkup kedua pipi Kania dan menatap mata Kania."Aku kangen. Kita udahan ya berantemnya. Kamu mau nurut kan sama aku." Ucap Cakra tanpa memgalihkan pandangan matanya dari Kania. Hampir saja Kania terlena akan ucapan Cakra, namun
"Saya terima nikah dan kawinnya Della Puspitasari binti Hariyadi dengan mas kawin seratus gram emas dibayar tunai." Cakra mengucap ijab kabul dengan lantang dan lancar diikuti ucapan sah dari sang penghulu. Della tersenyum lebar meski tak banyak tamu undangan yang hadir. Hanya kedua orangtuanya dan orangtua Cakra serta beberapa kerabat dan teman Della. Acara pernikahan dilangsungkan dirumah Cakra. Meski sederhana namun gaun yang dipakai Della harganya mencapai puluhan juta. Belum lagi makanan yang dihidangkan, berdasarkan keinginan Della yang serba mewah Cakra memesan katering dari restoran bintang lima. Della tersenyum bahagia melihat keinginannya dipenuhi oleh Cakra. Meski nikah siri dan tak banyak tamu undangan, namun acara pernikahan ini sudah selayaknya pernikahan impian Della. Orangtua Della pun sama seperti dirinya bahagia melihat kemewahan yang didapat anak perempuannya. Tak hanya Della, mereka pun kecipratan segala kemewahan yang diberikan oleh Cakra. Kemarin setelah Della me
Della sedang bersantai duduk di depan televisi sambil makan buah-buahan ketika suara ketukan pintu terdengar. Dengan enggan ia berteriak memanggil Imas yang nampaknya tak mendengar. 'Dasar pembantu bodoh, lagi ngapain sih. Lagian siapa sih yang datang siang siang gini, ganggu orang aja.' gerutunya dalam hati. Dengan langkah yang lesu bak orang yang sedang sakit, Della terpaksa membuka pintu karena Imas yang tak kunjung datang dan ketukan pintu yang tak jua berhenti."Lama amat sih bukain pintunya." Begitu pintu terbuka Della langsung dihujani ocehan oleh seorang wanita paruh baya yang memiliki paras yang mirip dengan Cakra. "Eh mama, maaf mah ga tau nih si Imas kemana udah dipanggilin dari tadi ga nyahut nyahut. Males banget dia sekarang." ujar Della seolah olah Imas tak becus bekerja meski sejak tadi ia sudah bolak balik meladeni Della. Padahal jelas jelas barusan Imas ia suruh pergi membeli jajanan di ujung jalan.Bu Harti, ibu Cakra, berjalan masuk tak mengindahkan segala ucapan De
Kania meratapi nasibnya yang terkurung di dalam kamar kini. Hari harinya hanyalah menangis, meratapi nasib dan memutar otak mencari cara agar bisa lolos dari sini. Apalagi setelah tiga hari yang lalu ketika sang mertua datang namun ia tak dihiraukan membuat tekadnya untuk pergi dari sini semakin besar. Ibu mertua yang sudah ia anggap bagai ibunya sendiri ternyata tak memperdulikannya. Ia malah mendukung tindakan anak lelakinya itu. Padahal ia sama sama perempuan. Ia harusnya membantu dirinya dan menasehati anaknya agar tak memilih jalan yang salah.Bukannya ia tak mencoba kabur. Sejak kemarin ia sudah berusaha mencari celah yang memungkinkan dirinya bisa keluar. Ia sudah coba mengutak-atik jendela namun teralis yang baru dipasang itu memang masih terpasang kokoh. Plafon di kamar dan kamar mandinya pun juga sama. Tak bisa digunakan untuk kabur. Satu satunya cara agar ia bisa keluar hanyalah dari pintu yang digembok dari luar.Cara seperti membujuk dan menawarkan kesepakatan pada penjag
"MAU KABUR KEMANA HAH?!"Kania dan bi Imas kaget setengah mati mendengar suara teriakan Cakra. Terlebih Kania yang rambutnya dijambak saat sedang ingin merangkak keluar. Sambil berteriak kesakitan, Kania mencoba melepaskan cengkeraman tangan Cakra pada rambut Kania. Bi Imas yang melihat itu pun refleks berusaha menolong Kania. Namun kekuatan laki laki berusia 38 tahun itu lebih kuat dibandingkan keduanya. "Mas, ampun mas. Mas, lepasin aku!!" Cakra tak menggubris jeritan Kania. Bahkan bi Imas pun didorong hingga jatuh oleh Cakra. Diseretnya Kania hingga ke kamar kurungan yang sebelumnya berhasil ia lalui. Penjaga yang tertidur masih tergeletak didepan kamarnya. Jerit tangis Kania menghiasi seluruh ruangan. Karena rumah mereka yang besar dan luas, ia yakin suaranya takkan terdengar oleh tetangga mereka."DIAM!!" Cakra membentak Kania sambil menampar kedua pipi Kania berulang kali. Entah setan mana yang merasuki tubuh Cakra yang membuat dirinya gelap mata. Sambil menahan sakit Kania ter
Suasana hati Cakra benar benar sedang buruk. Baru saja Kania berusaha kabur, ditambah Imas sang pembantu yang menolong Kania juga ikut kabur. Della yang melihat suaminya masih emosi mencoba meredakannya dengan memberikan segelas alkohol yang tersimpan mini bar yang baru. Dirumah Cakra sebelumnya tak ada mini bar maupun minuman beralkohol. Namun semenjak Cakra mengenal Della yang terbiasa hidup dengan dunia malam, Cakra jadi ketagihan mengkonsumsi minuman beralkohol. Mini bar ini pun keinginan Della. Ditambah lagi sekarang tak ada lagi kuasa Kania untuk melarang suaminya. Selain alkohol, Cakra juga jadi sering pergi ke klub malam. Meski saat ini ia sudah tak lagi pergi ke klub malam semenjak Della hamil."Minum dulu mas." Della membawa segelas wiski denga dua butir es batu untuk Cakra. Sembari memijit kepala Cakra dengan perlahan, Della berusah membuat Cakra nyaman."Udahlah mas ga usah dibawa pusing begitu. Santai aja." Ucapnya lagi. Sambil membuka kancing baju Cakra, Della mengusap p