Home / Zaman Kuno / Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga / CHAPTER 3 : Pembicaraan Empat Mata

Share

CHAPTER 3 : Pembicaraan Empat Mata

Author: soareii
last update Last Updated: 2025-08-11 10:46:13

Keesokan paginya, udara di ibu kota Kekaisaran Valory terasa lebih segar dari biasanya.  Rhanora melangkah cepat, gaun biru pucatnya berkibar ringan di sekitar kaki. Langkahnya mantap ketika melangkah kedalam Istana Kekaisaran.

Hari ini, Rhanora datang untuk mendengar langsung dari mulut pamannya tentang perjanjian pernikahan itu. Ia ingin tahu janji pernikahan macam apa yang dibuat oleh sang paman, sehingga pamannya yang seorang Kaisar tidak bisa membatalkan atau menundanya. Bahkan terlihat tidak berdaya terhadap janji itu.

Rhanora melewati lorong panjang yang dipenuhi lukisan para kaisar terdahulu. Namun ketika ia berbelok melewati taman istana, langkahnya terhenti. Di sana di tengah hamparan bunga musim semi yang merekah, berdirilah seorang pria muda berambut pirang terang yang menunduk sedikit, memerhatikan sekuntum bunga mawar. Saat mendengar suara langkah Rhanora, pria itu menoleh dan berkata santai.

“Ah, ternyata kau..” ujar pria dengan rambut emas yang memantulkan cahaya pagi.kau tahu Rhanora belakangan ini aku mulai mengira kau hanya rumor yang tidak berwujud. Seperti rumor yang dibisikkan pelayan tapi tak jelas apa benar-benar ada atau tidak.”

Rhanora menatapnya datar sambil menghela napas. “Baru seminggu aku tak kemari.”

Pria ini adalah Eurion Emanon Valor. Sepupu sekaligus sahabat masa kecilnya yang selalu mendramatisir keadaan. Orang yang jenaka dan sayangnya sangat mirip dengan sang paman, sama-sama seseorang yang tersenyum sambil bersiasat. Orang yang terlihat ramah namun sebenarnya menyembunyikan sisi tajamnya.

Kalimat ‘diam-diam menghanyutkan’ sangat cocok untuk mendeskripsikan Eurion.

Eurion lebih muda dua tahun dari Rhanora tapi sejak dulu Eurion tidak pernah memanggil Rhanora dengan sebutan 'kak' karena menurut Eurion, Rhanora kurang cocok disebut 'kak' dengan sifatnya yang kadang sembrono.

Eurion mengangkat bahu acuh tak acuh lalu dengan berlebihan berkata. “Untuk beberapa orang, itu waktu yang singkat. Tapi untukku? Cukup lama sampai aku mengira kau tidak mau berbicara dengan diriku. Lagi."

Eurion melangkah mendekat, langkahnya ringan namun penuh perhitungan, seperti seseorang yang tahu persis seberapa dekat jarak nyaman bagi lawan bicaranya. “Aku masih ingat saat kita kecil, kau menolak bicara padaku selama seminggu penuh hanya karena aku menukar gula dengan garam untuk tehmu.”

"Hanya?" Beo Rhanora menghela napas namun sudut bibirnya terangkat tipis, walau terdengar jengkel sebenarnya Rhanora merasa terhibur dengan perkataan Eurion. “Karena kau, aku sampai muntah. Kurasa aku yang tidak berbicara denganmu selama seminggu merupakan hal lumrah.”

“Itu murni eksperimen ilmiah,” ucap Eurion acuh tak acuh sambil menyeringai lalu mencondongkan kepala sedikit. “Dan eksperimen itu tidak seburuk yang kau katakan, karena lihat saja, kau masih mengingatnya dan kau masih hidup sampai sekarang!”

“Sayang sekali,” balas Rhanora tak acuh sambil kembali melangkah. 

"Kau mau kemana?" Eurion mengiringi langkah Rhanora tanpa diminta. “Yah kemana pun itu.. izinkan aku jadi pemandu, meski kau tidak membutuhkannya. Kau harus berterima kasih padaku karena perjalananmu menuju tujuan akan ramai dan tidak membosankan."

"Menemui Paman."  Jawab Rhanora singkat tanpa menanggapi perkataan Eurion yang lain.

"Untuk urusan resmi atau—"

"Bukan urusanmu," potong Rhanora sedikit tak sabaran karena sepupunya ini terus-terusan mengikutinya. "Apa kau tidak ada pekerjaan?"

Eurion tersenyum lebar. "Ada, tapi bisa aku kerjakan nanti. Sementara mendampingi mu tidak bisa nanti-nanti."

"Bilang saja kau memang pemalas dan hanya mencari alasan supaya tidak mengerjakan tugasmu secepatnya."

Eurion bertepuk tangan sambil tertawa riang, tanpa beban. Kadang Rhanora khawatir dengan masa depan Kekaisaran Valory jika penerus takhta berikutnya seperti Eurion. "Hahaha, kau memang yang paling mengenalku!"

Untungnya tak lama kemudian mereka sampai juga di pintu menuju ruang kerja Kaisar. Eurion dan Rhanora berhenti tepat di depan pintu. Eurion menoleh kearah penjaga pintu dan mengatakan bahwa Rhanora ingin bertemu, penjaga pintu pun membungkuk hormat pada sang Putra Mahkota Kekaisaran Valory dan kemudian masuk untuk melapor.

"Apapun yang akan kau bicarakan dengan Ayahku, kuharap dapat berjalan lancar."

Rhanora tersenyum kecil kearah Eurion. Ia pun mengharap hal yang sama dengan adik sepupunya ini. "Terima kasih atas ucapan baiknya."

Eurion terkekeh namun kemudian wajahnya berubah serius membuat udara disekitar tertahan. Rhanora kadang lupa kalau Eurion sama seperti angin yang ia kendalikan, bebas dan dapat berubah sesuai situasi, bahkan dapat memberi tekanan bila perlu.

Ah, kenapa Rhanora bisa khawatir soal masa depan Kekaisaran Valory ya, padahal masa depan kekaisaran sudah berada ditangan yang tepat.

"Kalau kau butuh bantuan.. apapun itu, kau bisa mengandalkanku."

Senyuman diwajah Rhanora kini semakin melebar. "Tentu, terima kasih Eurion."

***

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Rhanora membungkuk hormat. Aurelian Valor duduk dari balik meja kerjanya, senyum tipis mengisi wajah yang masih terlihat awet muda itu. Mungkin karena Aurelian dan Winona adalah kembar jadi setiap kali Rhanora melihat Aurelian, ia akan teringat dengan ibunya.

"Salam kepada matahari Kekaisaran Valory." Rhanora membungkuk sopan memberi salam kepada sang Kaisar, lalu berdiri dengan tegak kembali ketika Aurelian memperbolehkan.

“Keponakanku yang jarang datang ini, ada urusan apa yang membawamu kemari pagi-pagi?” tanya Aurelian terdengar bingung namun Rhanora dapat melihat bahwa pamannya jelas tahu kenapa ia kemari.

Rhanora berjalan mendekat. "Tentunya  memastikan Paman baik-baik saja dan menanyakan sesuatu.”

“Oh?” Aurelian memberi isyarat supaya Rhanora duduk lalu menuangkan teh ke dua cangkir. 

Kemudian mereka bertukar percakapan sebentar—tentang perjalanan Rhanora dari kediaman hingga istana, apakah ada hal menarik atau tidak, hingga kabar festival di ibu kota. Tapi begitu percakapan itu mereda, Rhanora tak lagi menunda.

“Aku ingin tahu kebenaran soal perjanjian pernikahan itu.”

"Ah, rupanya begitu." Aurelian terkekeh pelan. “Tentu.. jadi apa yang kau ingin ketahui, Rhanora?”

Begitu ditanya seperti itu, Rhanora sempat terdiam sejenak. Jemarinya meremas ringan tepi gaun, mencoba menata kata-kata. “Kenapa perjanjian itu dibuat dan kenapa itu tidak bisa dibatalkan?” suaranya tenang, tapi matanya menuntut kejelasan.

Aurelian menaruh cangkir teh di meja, lalu bersandar di kursi. "Ayah dari Kaisar Thagon yang sekarang adalah sahabatku, lebih dari sekadar sekutu di dunia politik. Kami berperang di sisi yang sama, membagi kemenangan, dan—" bibirnya menekuk tipis, "menyelamatkan nyawa satu sama lain. Setelah perang usai, kami sadar perdamaian yang seperti ini sangatlah rapuh. Ada terlalu banyak hal yang dapat dengan mudah menghancurkan hubungan damai ini."

Di daratan Zaragan yang luas ini berdiri tiga tiang kekuasaan. Valory di barat, dengan istana batu putih dan padang hijau tanpa akhir, di mana rambut emas para pewarisnya memantulkan cahaya mentari dan menandai anugerah alam yang mereka warisi—kuasa atas air, api, bumi, atau langit itu sendiri.

Jauh di selatan, di tengah samudra pasir dan kota berkubah emas, berdiri Emrys; negeri yang dibangun di atas janji dan darah, di mana setiap anggota kekaisaran sebagai penyembuh yang mampu mengusir maut dan dapat mengendalikan benda-benda mati.

Sementara di timur, Thagon bersemayam di pegunungan berkabut dan pantai berombak perak; keluarga kekaisarannya dikenal dapat menjelma menjadi binatang dan di antara mereka hanya sang Kaisar dan putra mahkota yang ditakdirkan mengemban wujud naga, yang merupakan lambang kekuasaan tertinggi, serta kemampuan berbicara dengan alam dan sekali dalam dua puluh tahun, lahirlah seorang dengan mata yang dapat menembus waktu—melihat masa lalu, kini, dan yang akan datang.

"Temanku mengusulkan sesuatu cara untuk membuat keluarga kita terikat selamanya, yaitu perjanjian pernikahan yang akan mengikat darah Keluarga Kekaisaran Valory dan darah Keluarga Kekaisaran Thagon selamanya. Aku setuju karena aku percaya padanya dan menurutku tidak ada ruginya.”

"Kalau itu cuma perjanjian politik, kenapa tak bisa dibatalkan atau setidaknya ditunda?”

“Apa kau tahu apa itu Perjanjian Darah, Rhanora?” Alih-alih menjawab pertanyaan Rhanora, Aurelian malah memberikan pertanyaan yang membuat perempuan berambut emas itu terkejut.

Rhanora menjawab namun dalam hati ia bisa menebak apa yang dimaksud oleh sang paman. “Sebuah upacara kuno bangsa Emrys dan Thagon. Upacara kuno yang awalnya berasal dari Emrys namun dianut Thagon juga, perjanjian yang sangat mengikat kedua belah pihak.”

“Bagus kalau kau tahu. Sayangnya janji politik ini bukan sekadar dokumen. Ini adalah Janji Darah.” Aurelian mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun. 

 “Kami meneteskan darah ke dalam satu cawan, mencampurnya, lalu mengucapkan janji dihadapan Bulan dan Alam. Sumpah seperti itu.. bahkan dengan kematian kami berdua, harus tetap terlaksana. Yang tidak diketahui banyak orang, Janji Darah bukan hanya mengikat diri masing-masing namun juga mengikat diri kepada Bulan dan Alam. Jadi apabila salah satu pihak berkhianat—menolak menepati janji yang telah terucap maka bukan hanya aib yang akan menimpa, melainkan murka yang tak bisa ditawar. Bulan akan menurunkan kutukannya, menandai pengkhianat dengan tanda yang tak dapat dihapus, kemalangan pun akan terus menimpa. Alam akan menutup dirinya, menolak memberi berkah. Itulah mengapa Janji Darah ditakuti sekaligus dihormati. Ia lebih dari sekadar ikatan antara dua manusia—ia adalah kontrak dengan dunia itu sendiri.“

Keheningan panjang jatuh di antara mereka. 

Rhanora menunduk, membiarkan kata-kata itu meresap. Hening menggantung, hanya terdengar denting halus cangkir beradu dengan piring kecil saat Aurelian kembali menyesap tehnya.

Rhanora ingin sekali berteriak marah kepada pamannya yang seenaknya membuat janji yang begitu mengikat hingga tidak bisa dibatalkan, terlebih karena hal ini menyeretnya ke permasalahan yang sangat rumit.

“Aku tahu ini beban yang bukan milikmu sejak awal,” ujar sang Kaisar akhirnya, nada suaranya lembut namun tak bisa menyembunyikan ketegasan di baliknya. “Namun anggota Kekaisaran Valory selalu menepati janji. Apa pun harganya.”

Rhanora mengangkat wajahnya. Ada getir di matanya, juga sesuatu yang tak bisa ia beri nama —antara marah, kecewa, dan pasrah. Ia berdiri, membungkuk dalam-dalam.

“Aku mengerti, Yang Mulia.” 

Aurelian menatapnya lama, senyumnya samar, seperti ada simpati tapi juga kelegaan terselubung. “Kau gadis yang lebih kuat daripada yang kau kira, Rhanora. Jangan pernah lupakan itu.”

Dengan langkah yang terukur, Rhanora pun keluar dari ruang kerja Kaisar. Namun begitu pintu tertutup di belakangnya, napas yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah. 

Rasanya udara di lorong istana lebih berat daripada sebelumnya, seolah setiap langkah yang ia ambil kini membawanya semakin dekat pada takdir yang tak bisa ia pilih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 11 : Pertemuan pt. 2

    “Yang mulia.”Suara Linlin membuat Rhanora yang melamun menatap ramainya ibukota Kekaisaran Thagon pun menoleh. Setelah pelajaran tata krama yang melelahkan itu, akhirnya Rhanora pun diizinkan untuk menapaki kaki ke Istana Dalam dan bersiap untuk pernikahannya yang hanya tinggal menghitung hari saja.Pernikahan yang tidak didasari cinta.Sungguh mahal sekali kata cinta itu di kehidupan Rhanora. “Sebentar lagi kita akan memasuki Istana.” Linlin mengingatkan dengan lembut meski wajahnya masih sedatar biasanya, ada kekhawatiran yang terpampang jelas di manik mata segelap tinta itu. Rhanora tersenyum kecil. Senyum yang lebih seperti pengakuan pahit daripada ketenangan, ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Ia mengangguk. “Aku tahu Linlin.”Rhanora mengerti dengan jelas begitu melewati gerbang utama itu, kebebasannya akan berakhir. Ia tidak akan bisa keluar lagi tanpa izin dari sang Kaisar—lelaki yang bahkan belum benar-benar ia kenal.Kekaisaran Thagon jauh berbeda dari Valory. Di

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 10 : Pertemuan

    Pada malam hari ketika semua orang tidur terlelap, beberapa hari setelah pelatihan tata krama yang dilakukan Rhanora. Di istana dalam Kekaisaran Thagon. Seorang pria duduk di kursi dengan pakaian berwarna hitam bersulam naga emas, sementara itu dihadapan meja kerjanya seorang wanita paruh baya menunduk dalam memberi laporan.“Hamba sudah melatih Yang Mulia kekasih jiwa Kaisar Naga mengenai tata krama, namun hamba belum yakin beliau sudah bisa masuk ke istana atau belum.”“Dayang Chu, kau adalah dayang senior istana dan juga dayang yang telah mengikuti mendiang ibunda semasa ia masih hidup, tapi bahkan kau tidak bisa melatih seseorang yang merupakan Putri Kekaisaran Valory dalam satu minggu?” Dayang Chu segera berkowtow, tubuhnya gemetar hebat. “Hamba memohon maaf Paduka Kaisar. Bukan karena hamba tidak berusaha, tetapi Yang Mulia Rhanora memiliki kebiasaan yang berbeda. Beliau tidak terbiasa dengan cara membungkuk sedalam yang dilakukan di Thagon, dan terkadang ia terlalu berani men

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 9 : Pelajaran Tata Krama

    Beberapa jam setelah pertemuan dengan pria bertopeng rubah itu, suasana kediaman Rhanora berubah hening. Udara sore terasa berat ketika pintu geser terbuka perlahan dan beberapa dayang melangkah masuk dengan langkah serempak. Mereka mengenakan jubah sutra warna pucat dengan sabuk biru langit. Di antara mereka, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun berjalan paling depan. Langkahnya tenang, penuh wibawa, namun gerakannya menunjukkan penghormatan yang sangat ketat terhadap tata krama. Begitu ia sampai di hadapan Rhanora, sang dayang segera berkowtow menyentuhkan dahinya ke lantai sebelum bersuara dengan lembut namun tegas.“Hamba Dayang Chu, diperintahkan untuk melatih Yang Mulia dalam tata krama dan perilaku keluarga kekaisaran sesuai aturan bangsa Thagon.”Rhanora yang semula duduk santai di kursi kayu berukir sederhana itu spontan menegakkan punggungnya. Ia sempat menatap dayang-dayang di belakang Chu, semuanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung.“Melatihku

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 8 : Prajurit Bayangan

    “Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang palin

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 7 : Orang Misterius

    Empat hari perjalanan terasa panjang dan melelahkan meski rombongan iring-iringan Rhanora sering berhenti untuk istirahat demi kenyamanan perjalanan Rhanora. Iring-iringan mereka bergerak melewati lembah berselimut kabut dan jembatan batu yang membelah sungai-sungai besar. Langit mulai gelap ketika iring-iringan kereta Rhanora melewati lembah terakhir sebelum gerbang utama ibu kota Thagon. Senja sudah padam, hanya nyala obor dan suara langkah kuda yang memecah keheningan. Di kejauhan, siluet tembok kota mulai tampak samar.Di dalam kereta, Rhanora membuka tirai jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit kelabu.Jenderal Bai yang menunggang kudanya di samping kereta kuda tempat menoleh. “Kita akan tiba sebelum malam, Yang Mulia. Kaisar telah men—”Ledakan keras mengguncang tanah. Kereta berguncang hebat hingga hampir terbalik. Teriakan para pengawal terdengar di luar, disusul suara logam beradu dan deru panah melesat.“Lindungi Yang Mulia!” teriak salah satu pengawal.“Yang

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 6 : Wilayah Netral Adendum pt. 1

    Keesokan paginya ketika Rhanora sedang sarapan pagi, ia jadi teringat akan suatu hal sehingga ia memanggil Linlin dan membuat Linlin memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka.“Beritahu aku tentang hubungan para wanita harem yang kau ketahui, aku yakin kau sudah mencari tahu sebelum kita pergi kesini kan?” Tanya Rhanora sambil mengangkat cangkir teh untuk meminumnya.Linlin terkejut Rhanora akan menanyakan hal ini. “Apa anda ingin mengetahuinya sekarang juga Nona?” Rhanora tersenyum lalu menaruh cangkir teh diatas piring kecil, ia pun menatap Linlin dengan wajah serius walaupun senyuman masih menghias wajah rupawan miliknya. “Tentu, tahu lebih banyak tidak akan melukaiku, malah.. akan sangat membantuku.”Di tempat asing yang memiliki aturan dan kebiasaan yang berbeda, informasi adalah hal yang akan sangat menguntungkan Rhanora yang pendatang baru.“Baik..” Linlin pada akhirnya mengangguk melihat keseriusan Rhanora, yang membuat Linlin jadi teringat dengan Winona. “S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status