LOGIN“Kak Rhanora!”
Suara riang dan penuh semangat itu terdengar dari arah belakang ketika Rhanora berjalan pergi untuk meninggalkan istana Kekaisaran. Tanpa menoleh pun Rhanora tahu siapa yang memanggilnya.
“Kak!” Orang yang memanggilnya ini adalah Alicia Enna Valor, adik dari Eurion dan putri bungsu dari Kaisar Aurelian.
Orang yang seharusnya menikah ke Kekaisaran Thagon namun karena usianya yang bahkan belum genap delapan belas tahun membuatnya tidak akan dikirim kesana. Meski enggan, Rhanora tahu kalau dirinya adalah pilihan terbaik, mulai dari umur Rhanora yang sudah dua puluh tiga tahun hingga sifat Rhanora yang lebih tenang dari Alicia.
Selain itu, Alicia terlalu baik dan naif untuk masuk ke sarang naga.
“Kak Rhanora! Kakak darimana saja?” Alicia berlari kecil menghampiri, gaun tipis berwarna gadingnya terayun mengikuti gerakan langkah. Wajahnya berseri-seri, mata birunya memantulkan cahaya pagi. “Sudah lama tidak bertemu kakak.”
Rhanora berbalik, menyambut senyum itu dengan lembut meski hatinya masih berat oleh percakapan sebelumnya. “Aku baru saja berbicara dengan Ayahmu.”
“Oh!” Alicia langsung menyambar tangan Rhanora, menggenggamnya erat seperti anak kecil yang takut kehilangan mainannya. “Kalau begitu Kakak pasti bisa tinggal lebih lama, ya? Kita bisa berjalan-jalan di taman, atau kalau Kakak mau, aku bisa menunjukkan gaun baru yang dijahitkan khusus untuk festival mendatang. Aku ingin dengar pendapat Kakak.”
“Kau tak pernah kehabisan semangat, Alicia.”
“Tentu saja,” jawab Alicia dengan bangga, lalu ia mencondongkan wajahnya lebih dekat, berbisik seolah tengah membicarakan rahasia besar. “Karena aku tahu, kalau aku murung, tidak akan ada orang yang bisa membuatmu tersenyum lagi.”
Rhanora terdiam sejenak, lalu tertawa kecil—bukan karena lucu, melainkan karena hatinya tersentuh. Ia mengusap lembut rambut pirang adik sepupunya itu. “Kau benar-benar adik yang manis.”
Alicia mendongak, matanya berbinar. “Kalau begitu jangan terlalu cepat pulang, ya, Kak? Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama. Terlalu sering rasanya Kakak sibuk dengan urusan keluarga sendiri.”
Rhanora terdiam. Kata-kata itu menohok lebih dalam daripada yang Alicia sadari. Gadis itu tak tahu beban macam apa yang sebenarnya tengah dipikul Rhanora, beban yang membuat kebersamaan kecil seperti ini terasa semakin berharga—dan semakin menyakitkan.
“Kalau aku bisa, aku ingin sering datang ke sini,” jawab Rhanora lembut. “Tapi terkadang keadaan tidak sebaik yang kita harapkan.”
Alicia menggembungkan pipinya, setengah kesal, setengah manja. “Aku benci keadaan. Selalu merebut orang yang kusayangi.”
Senyum Rhanora meredup. Ia ingin mengatakan sesuatu, membujuk adik sepupunya agar tidak mengucapkan kalimat seperti itu, tapi tenggorokannya tercekat. Bagaimana bisa ia memberi janji, kalau sebentar lagi dirinya benar-benar akan direbut jauh dari sini?
Alicia, dengan polosnya, menggenggam tangan Rhanora lebih erat. “Kalau suatu hari Kakak harus pergi jauh aku akan tetap menunggu. Tidak peduli seberapa lama.”
Rhanora menunduk, menyembunyikan tatapan matanya. Suara itu, janji sederhana yang diucapkan dengan polos justru menghantam dadanya seperti belati. “Jangan khawatir,” ujarnya pelan, hampir berbisik. “Selama aku bisa, aku pasti akan kembali.”
Alicia tersenyum lega, percaya penuh pada kata-kata itu. Rhanora hanya bisa membalas dengan senyum —senyum yang menyembunyikan kebenaran getir yang belum bisa ia bagikan.
****
Sehari sebelum keberangkatan Rhanora ke Kekaisaran Thagon, sang ibu yang biasanya sudah beristirahat di peraduan bersama sang ayah tiba-tiba masuk ke kamar Rhanora setelah mengetuk pintu, membuat Rhanora yang sedang asik memandangi bulan malam itu dengan buku dipangkuan pun menoleh.
Entah bagaimana, Rhanora merasa bahwa ibunya tidak seperti biasanya.
Ia terlihat lelah dengan kantung mata yang terlihat jelas, bahkan wajahnya yang selalu berseri itu terlihat pucat. Benar-benar berbeda dari biasanya.
“Apa ada yang ingin ibu bicarakan?” Kini Rhanora membalikkan badannya untuk menghadap sang ibu sepenuhnya.
Winona nampak ragu namun pada akhirnya ia berjalan mendekat dan duduk disamping Rhanora yang sedang duduk di kursi jendela yang berhias bantal-bantal empuk nan nyaman. Winona tidak langsung bicara namun memilih untuk menelisik putri semata wayangnya ini, tak lama perhatiannya teralih ke buku yang berada di pangkuan Rhanora.
Buku itu berjudul ‘Hal yang Perlu Diketahui Mengenai Kekaisaran Thagon’ dan terlihat seperti sebuah catatan perjalanan yang dikemas seperti sebuah buku sejarah dengan bahasa mendayu novel fiksi. Winona pernah membaca ini tak lama setelah Aurelian membicarakan pernikahan Rhanora.
“Bu?” Panggil Rhanora lagi dengan wajah bingung ketika ibunya tidak mengucapkan satu patah kata pun.
Winona pun kembali menatap Rhanora, ia menghela naas dan tersenyum kecil. “Bukan apa-apa, aku hanya ingin berbicara denganmu sebelum hari esok tiba..”
Winona menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya yang dingin meraih jemari Rhanora dan menggenggamnya lembut.
“Rhanora..” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan, “maafkan ibu.”
Rhanora mengerutkan kening sambil menatap ibunya dengan bingung. “Maaf? Untuk apa Bu?”
Winona menundukkan wajahnya, bahunya sedikit bergetar. “Karena aku tidak bisa melindungimu. Karena aku harus melepasmu pergi ke negeri yang asing dimana budaya dan kebiasaan sangat jauh berbeda, jauh dari rumahmu, jauh dari ayahmu, jauh dariku.” Ia menelan ludahnya yang terasa getir. “Seharusnya seorang ibu menjaga putrinya tetap dekat.. bukan mengirimnya ke tangan orang yang bahkan belum ia kenal.”
Rhanora terdiam, dadanya terasa sesak. Ia jarang melihat ibunya seperti ini, biasanya Winona adalah sosok yang tegar dan dingin di hadapan orang lain serta selalu tegas dalam mengambil keputusan.
“Bu..” Rhanora menggenggam balik tangan ibunya, berusaha menyalurkan ketenangan walau dirinya sendiri masih dipenuhi kegelisahan. “Ini bukan salah ibu. Bahkan ibu menentangnya sejak awal. Aku tahu itu.”
Mata Winona berkaca-kaca, tapi ia tersenyum tipis berusaha tetap terlihat kuat. “Tapi tetap saja pada akhirnya aku membiarkanmu terikat dalam janji yang bukan milikmu.”
Rhanora menggeleng pelan lalu meletakkan kepala di bahu ibunya, sesuatu yang jarang ia lakukan sejak beranjak dewasa. “Kalau begitu izinkan aku yang menenangkan hati ibu kali ini. Aku akan baik-baik saja. Aku akan belajar bertahan dan menemukan jalanku di sana.”
Winona mengecup puncak kepala putrinya, lalu berbisik lirih, “Kau lebih kuat dari yang kau sadari, Rhanora. Dan semoga Shang Liwei pun mampu menyadarinya.”
Winona terdiam sejenak, lalu ia merogoh saku jubah tidurnya, mengeluarkan sebuah kalung sederhana dengan liontin kecil berbentuk tetesan air berwarna kebiruan. Liontin itu memantulkan cahaya bulan dengan lembut, seolah mengalirkan ketenangan hanya dengan melihatnya.
“Aku ingin kau membawa ini bersamamu,” ujar Winona pelan sambil meraih tangan putrinya dan meletakkan kalung itu di atas telapaknya. “Kalung ini terbuat dari kristal yang sudah lama menjadi milik keluarga kita. Ada sedikit kekuatanku yang kuselipkan di dalamnya.”
Rhanora menatap kalung itu, lalu ibunya. “Ibu..” suaranya tercekat, seolah hatinya ditarik-tarik antara senang dan sedih.
Winona tersenyum lembut, meski matanya basah. “Kalau kau merasa rindu atau merasa sendirian di negeri asing, genggam kalung ini. Bayangkan ini adalah aku, bagian dariku, yang akan selalu mengiringi langkahmu. Meski jarak memisahkan, ikatan kita tidak akan pernah pudar. Anggap saja, setiap tetesan air yang mengalir adalah tatapanku yang tak pernah lepas darimu.”
Rhanora tak mampu menahan air matanya lagi. Ia langsung memeluk ibunya erat, seolah takut melepaskan. “Bu.. aku tidak ingin pergi jauh darimu.”
Winona mengusap rambut putrinya dengan penuh kasih, menahan getaran di suaranya. “Aku tahu, sayang.. aku pun tak ingin melepasmu. Tapi dunia ini menuntut kita untuk menjadi lebih kuat, terlebih untuk kita para wanita. Dan kalung itu, semoga bisa sedikit meringankan rindumu padaku.”
Entah berapa lama keduanya berpelukan, seolah pelukan ini adalah terakhir kalinya.
“Yang mulia.”Suara Linlin membuat Rhanora yang melamun menatap ramainya ibukota Kekaisaran Thagon pun menoleh. Setelah pelajaran tata krama yang melelahkan itu, akhirnya Rhanora pun diizinkan untuk menapaki kaki ke Istana Dalam dan bersiap untuk pernikahannya yang hanya tinggal menghitung hari saja.Pernikahan yang tidak didasari cinta.Sungguh mahal sekali kata cinta itu di kehidupan Rhanora. “Sebentar lagi kita akan memasuki Istana.” Linlin mengingatkan dengan lembut meski wajahnya masih sedatar biasanya, ada kekhawatiran yang terpampang jelas di manik mata segelap tinta itu. Rhanora tersenyum kecil. Senyum yang lebih seperti pengakuan pahit daripada ketenangan, ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Ia mengangguk. “Aku tahu Linlin.”Rhanora mengerti dengan jelas begitu melewati gerbang utama itu, kebebasannya akan berakhir. Ia tidak akan bisa keluar lagi tanpa izin dari sang Kaisar—lelaki yang bahkan belum benar-benar ia kenal.Kekaisaran Thagon jauh berbeda dari Valory. Di
Pada malam hari ketika semua orang tidur terlelap, beberapa hari setelah pelatihan tata krama yang dilakukan Rhanora. Di istana dalam Kekaisaran Thagon. Seorang pria duduk di kursi dengan pakaian berwarna hitam bersulam naga emas, sementara itu dihadapan meja kerjanya seorang wanita paruh baya menunduk dalam memberi laporan.“Hamba sudah melatih Yang Mulia kekasih jiwa Kaisar Naga mengenai tata krama, namun hamba belum yakin beliau sudah bisa masuk ke istana atau belum.”“Dayang Chu, kau adalah dayang senior istana dan juga dayang yang telah mengikuti mendiang ibunda semasa ia masih hidup, tapi bahkan kau tidak bisa melatih seseorang yang merupakan Putri Kekaisaran Valory dalam satu minggu?” Dayang Chu segera berkowtow, tubuhnya gemetar hebat. “Hamba memohon maaf Paduka Kaisar. Bukan karena hamba tidak berusaha, tetapi Yang Mulia Rhanora memiliki kebiasaan yang berbeda. Beliau tidak terbiasa dengan cara membungkuk sedalam yang dilakukan di Thagon, dan terkadang ia terlalu berani men
Beberapa jam setelah pertemuan dengan pria bertopeng rubah itu, suasana kediaman Rhanora berubah hening. Udara sore terasa berat ketika pintu geser terbuka perlahan dan beberapa dayang melangkah masuk dengan langkah serempak. Mereka mengenakan jubah sutra warna pucat dengan sabuk biru langit. Di antara mereka, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun berjalan paling depan. Langkahnya tenang, penuh wibawa, namun gerakannya menunjukkan penghormatan yang sangat ketat terhadap tata krama. Begitu ia sampai di hadapan Rhanora, sang dayang segera berkowtow menyentuhkan dahinya ke lantai sebelum bersuara dengan lembut namun tegas.“Hamba Dayang Chu, diperintahkan untuk melatih Yang Mulia dalam tata krama dan perilaku keluarga kekaisaran sesuai aturan bangsa Thagon.”Rhanora yang semula duduk santai di kursi kayu berukir sederhana itu spontan menegakkan punggungnya. Ia sempat menatap dayang-dayang di belakang Chu, semuanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung.“Melatihku
“Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang palin
Empat hari perjalanan terasa panjang dan melelahkan meski rombongan iring-iringan Rhanora sering berhenti untuk istirahat demi kenyamanan perjalanan Rhanora. Iring-iringan mereka bergerak melewati lembah berselimut kabut dan jembatan batu yang membelah sungai-sungai besar. Langit mulai gelap ketika iring-iringan kereta Rhanora melewati lembah terakhir sebelum gerbang utama ibu kota Thagon. Senja sudah padam, hanya nyala obor dan suara langkah kuda yang memecah keheningan. Di kejauhan, siluet tembok kota mulai tampak samar.Di dalam kereta, Rhanora membuka tirai jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit kelabu.Jenderal Bai yang menunggang kudanya di samping kereta kuda tempat menoleh. “Kita akan tiba sebelum malam, Yang Mulia. Kaisar telah men—”Ledakan keras mengguncang tanah. Kereta berguncang hebat hingga hampir terbalik. Teriakan para pengawal terdengar di luar, disusul suara logam beradu dan deru panah melesat.“Lindungi Yang Mulia!” teriak salah satu pengawal.“Yang
Keesokan paginya ketika Rhanora sedang sarapan pagi, ia jadi teringat akan suatu hal sehingga ia memanggil Linlin dan membuat Linlin memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka.“Beritahu aku tentang hubungan para wanita harem yang kau ketahui, aku yakin kau sudah mencari tahu sebelum kita pergi kesini kan?” Tanya Rhanora sambil mengangkat cangkir teh untuk meminumnya.Linlin terkejut Rhanora akan menanyakan hal ini. “Apa anda ingin mengetahuinya sekarang juga Nona?” Rhanora tersenyum lalu menaruh cangkir teh diatas piring kecil, ia pun menatap Linlin dengan wajah serius walaupun senyuman masih menghias wajah rupawan miliknya. “Tentu, tahu lebih banyak tidak akan melukaiku, malah.. akan sangat membantuku.”Di tempat asing yang memiliki aturan dan kebiasaan yang berbeda, informasi adalah hal yang akan sangat menguntungkan Rhanora yang pendatang baru.“Baik..” Linlin pada akhirnya mengangguk melihat keseriusan Rhanora, yang membuat Linlin jadi teringat dengan Winona. “S