Masuk****
Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Rhanora terasa lebih lengang dari biasanya. Sejak kabar keberangkatannya ke Kekaisaran Thagon diumumkan, para pelayan sibuk menyiapkan segala yang diperlukan: pakaian perjalanan, dokumen resmi, dan hadiah-hadiah sebagai tanda penghormatan pada keluarga kekaisaran.
Rhanora berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Jemarinya sibuk merapikan rambutnya, tapi sorot matanya terlihat ragu. Gaun perjalanan berwarna biru gelap terbuat dari bahan yang cukup tipis sudah terpasang di tubuhnya, dihiasi sulaman halus di bagian lengan. Meski sederhana, aura bangsawan tetap terpancar dari dirinya.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
“Nona, apa anda sudah sudah siap?” suara pelayan terdengar dari balik pintu. Rhanora tahu siapa itu tanpa harus menoleh, Rhanora pun membiarkan pelayan itu masuk.
Seorang pelayan wanita masuk, ia terlihat seusia Rhanora dengan rambut berwarna hitam dan manik mata yang sama kelamnya, orang ini tidak terlihat seperti warga Kekaisaran Valory yang kebanyakan memiliki warna rambut berwarna-warni.
Wanita ini adalah Linlin, seseorang yang berdarah Thagon namun berkebangsaan Valory karena kedua orang tuanya migrasi ke Kekaisaran Valory tak lama setelah ia lahir. Linlin sendiri baru menjadi pelayan yang melayaninya selama beberapa hari ini setelah menjadi pelayan sang ibu. Winona membiarkan Linlin untuk menjadi pelayan yang ikut serta ke Kekaisaran Thagon.
Selain cakap dalam urusan melayani majikan, Linlin juga mahir beladiri.
Jelas alasannya karena ingin pelayan Rhanora nanti bisa berbaur dengan cepat dan bisa menjadi orang kepercayaan Rhanora di tempat yang asing serta dapat melindungi Rhanora ketika diperlukan.
Winona benar-benar sangat mempersiapkan segalanya untuk putri tercinta.
“Nona, semuanya sudah siap, hanya menunggu anda saja.”
“Baik, terima kasih Linlin.”
Rhanora pun beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan keluar menuju halaman depan.
Halaman depan dipenuhi oleh kereta kuda berlapis baja ringan dengan lambang keluarga mereka di sisi pintu. Kuda-kuda hitam gagah meringkik, siap menempuh perjalanan jauh menuju Thagon.
Winona berdiri di tangga depan, wajahnya terlihat lebih tenang dibanding semalam namun Rhanora dapat melihat kesedihan yang mendaam di manik mata berwarna biru langit yang mirip dengannya itu. Winona menggenggam tangan Rhanora erat, “kau harus berjanji untuk menjaga dirimu baik-baik.”
“Aku berjanji.”
Sementara Caleb sang ayah mendekat kearah istri dan anak semata wayangnya, setelah mendekat, ia memeluk kedua perempuan yang paling berharga baginya di dunia ini. Caleb menghela napas panjang, “Rhanora.. sering-seringlah berkabar, aku dan ibumu akan menunggu.”
Rhanora tersenyum dan balas memeluk ayah dan ibunya dengan lebih erat. “Tentu, ayah.”
Ketiganya berpelukan untuk waktu yang lama, sampai akhirnya Caleb dengan enggan melepaskan pelukannya. Caleb meletakkan tangannya di pundak Rhanora, meremasnya pelan. “Jaga dirimu baik-baik.”
Rhanora mengangguk sambil melangkah mundur dengan mempertahankan senyumannya, seolah tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih. “Aku akan sering mengabari kalian.”
Caleb dan Winona dengan berat hati melepas kepergian putri semata wayang mereka, menatap Rhanora perlahan melangkah ke jalan yang tidak bisa mereka ikuti.
Caleb dan Winona hanya bisa berharap, ini bukan terakhir kali mereka bertemu Rhanora.
Rhanora pun masuk ke kereta kuda, ia tidak menoleh kebelakang karena takut jika ia menoleh, ia akan enggan pergi.
Tak lama, kereta kuda pun berjalan menuju tujuan mereka.
Menuju Kekaisaran Thagon.
Tempat dimana para naga tertidur.
****
Empat hari kemudian perjalanan menuju Kekaisaran Thagon, akhirnya Rhanora dan rombongan sampai di perbatasan tiga Kekaisaran, sebuah wilayah netral bernama Adendum yang dipimpin oleh Gubernur yang dipilih dari salah satu diantara tiga Kekaisaran secara bergantian.
Tahun ini, Gubernur yang menjabat berasal dari Kekaisaran Valory. Seorang pria paruh baya dengan manik mata berwarna rumput dan surai rambut berwarna sama. Orang kepercayaan pamannya. William Abernathy.
Dalam rencana yang telah diatur, Rhanora akan tinggal disini selama sehari lalu melanjutkan perjalanan bersama pasukan yang dikirim oleh Kekaisaran Thagon.
“Selamat datang Yang mulia Putri, saya sangat senang bertemu dengan anda. Anda pasti lelah, saya sudah menyiapkan ruangan untuk anda.”
Orang-orang diluar kediaman Putri Pertama Kekaisaran Valory —Winona, memang memanggil Rhanora dengan panggilan Tuan Putri karena meski bukan anak dari Kaisar yang sekarang, ia masih menyandang gelar itu berkat sang ibu.
Rhanora tentu ingin segera beristirahat namun ia ingin memastikan satu hal. “Apa utusan dari Kekaisaran Thagon sudah berada disini?”
William Abernathy langsung paham dengan maksud Rhanora, ia mengangguk dan tersenyum. “Sudah Yang mulia, yang menjadi utusan untuk menjaga anda hingga ibu kota adalah Jenderal Bai Heng. Apa anda ingin bertemu dengannya?”
“Aku akan bertemu dengannya besok pagi.”
“Baik, saya mengerti. Saya akan mengatur pertemuan anda setelah sarapan pagi.”
Rhanora mengangguk setuju kemudian ia mengikuti William menuju ruangan yang akan ia tempati walau hanya satu malam saja. Setelah sampai, William pun pamit undur diri membiarkan Rhanora dan Linlin berdua di ruangan itu.
Rhanora menghela napas dan berjalan menuju ranjang lalu duduk di tepian, merasa bersyukur setidaknya ia bisa menikmati kasur empuk setelah selama ini tidur di dalam kereta kuda yang tidak begitu nyaman.
“Apa anda ingin mandi atau makan malam terlebih dahulu?”
“Aku ingin mandi.”
Linlin mengangguk paham namun ketika ia baru berjalanan lima langkah, Rhanora memanggilnya.
“Apa yang kau ketahui tentang Jenderal Bai Heng?” tanya Rhanora pada Linlin, karena ia tahu selain menjadi pelayan dan penjaga pribadinya, Linlin juga merupakan salah satu informan yang ibunya latih.
“Saya tidak tahu banyak, yang saya tahu adalah Jenderal Bai Heng merupakan Jenderal yang menjaga perbatasan Wilayah Netral dan Kekaisaran Thagon. Selain itu—” Linlin berhenti melanjutkan nampak ragu apakah ini merupakan informasi yang ingin Rhanora dengar sekarang.
“Selain itu?” beo Rhanora menaikkan kedua alisnya, tertarik karena Linlin yang ragu-ragu.
“Selain itu putrinya —Bai Shuning adalah Selir dari Kaisar Thagon yang sekarang, yang saya tahu.. putrinya ini adalah istri Kaisar Thagon dari sang Kaisar masih menjadi putra mahkota.”
Ah, bagaimana bisa Rhanora lupa fakta bahwa di Kekaisaran Thagon merupakan hal lumrah untuk punya istri lebih dari satu, mereka bahkan punya status. Sementara di Kekaisaran Valory, mereka disebut sebagai wanita simpanan dan tidak memiliki status.
Rhanora makin merasa tidak menginginkan pernikahan ini. “Apa hanya itu yang kau ketahui Linlin?”
“Untuk hubungan keduanya, saya tidak berani menebak lebih jauh tapi yang saya dengar.. keduanya memiliki hubungan yang harmonis.”
“Jadi aku harus berhati-hati untuk tidak membuatnya tidak senang ya..” bisik Rhanora sambil menghela napas, merasa agak kecewa karena harus berbagi suami dengan wanita lain. Raib sudah keinginannya untuk punya hubungan harmonis penuh cinta dengan suaminya.
Rhanora hanya takut jika Kaisar Thagon tidak menghargainya sebagai istri sah, karena sejarah Thagon pun ada beberapa Kaisar yang lebih mencintai Selirnya sampai ia gelap mata dan membuat anak dari sang Selir putra mahkota. Sehingga membuat pertumpahan darah yang berlangsung hampir dua generasi.
“Anda tidak perlu terlalu khawatir Nona, bagaimanapun kedudukan anda lebih tinggi dari para Selir.” Linlin berusaha menenangkan Rhanora melihat kekecewaan diwajah perempuan berambut warna emas itu. “Mereka hanyalah Selir sementara anda adalah Permaisuri.”
Rhanora tersenyum miris, ia mengangguk dan berterima kasih, membiarkan Linlin pergi untuk menyiapkan air untuknya mandi. Apa yang dikatakan Linlin memang benar kalau kedudukannya dalam harem Kaisar Thagon adalah yang paling tinggi, hanya dibawah Kaisar dan diatas ribuan orang. Tapi di tempat asing yang memiliki budaya dan kebiasaan yang berbeda, Rhanora ingin setidaknya suaminya itu bisa menjadi pilar kekuatan untuknya.
Sayang sekali, harapannya itu harus sirna sebelum mengakar lebih lanjut.
****
Beberapa jam setelah pertemuan dengan pria bertopeng rubah itu, suasana kediaman Rhanora berubah hening. Udara sore terasa berat ketika pintu geser terbuka perlahan dan beberapa dayang melangkah masuk dengan langkah serempak. Mereka mengenakan jubah sutra warna pucat dengan sabuk biru langit. Di antara mereka, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun berjalan paling depan. Langkahnya tenang, penuh wibawa, namun gerakannya menunjukkan penghormatan yang sangat ketat terhadap tata krama. Begitu ia sampai di hadapan Rhanora, sang dayang segera berkowtow menyentuhkan dahinya ke lantai sebelum bersuara dengan lembut namun tegas.“Hamba Dayang Chu, diperintahkan untuk melatih Yang Mulia dalam tata krama dan perilaku keluarga kekaisaran sesuai aturan bangsa Thagon.”Rhanora yang semula duduk santai di kursi kayu berukir sederhana itu spontan menegakkan punggungnya. Ia sempat menatap dayang-dayang di belakang Chu, semuanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung.“Melatihku
“Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang palin
Empat hari perjalanan terasa panjang dan melelahkan meski rombongan iring-iringan Rhanora sering berhenti untuk istirahat demi kenyamanan perjalanan Rhanora. Iring-iringan mereka bergerak melewati lembah berselimut kabut dan jembatan batu yang membelah sungai-sungai besar. Langit mulai gelap ketika iring-iringan kereta Rhanora melewati lembah terakhir sebelum gerbang utama ibu kota Thagon. Senja sudah padam, hanya nyala obor dan suara langkah kuda yang memecah keheningan. Di kejauhan, siluet tembok kota mulai tampak samar.Di dalam kereta, Rhanora membuka tirai jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit kelabu.Jenderal Bai yang menunggang kudanya di samping kereta kuda tempat menoleh. “Kita akan tiba sebelum malam, Yang Mulia. Kaisar telah men—”Ledakan keras mengguncang tanah. Kereta berguncang hebat hingga hampir terbalik. Teriakan para pengawal terdengar di luar, disusul suara logam beradu dan deru panah melesat.“Lindungi Yang Mulia!” teriak salah satu pengawal.“Yang
Keesokan paginya ketika Rhanora sedang sarapan pagi, ia jadi teringat akan suatu hal sehingga ia memanggil Linlin dan membuat Linlin memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka.“Beritahu aku tentang hubungan para wanita harem yang kau ketahui, aku yakin kau sudah mencari tahu sebelum kita pergi kesini kan?” Tanya Rhanora sambil mengangkat cangkir teh untuk meminumnya.Linlin terkejut Rhanora akan menanyakan hal ini. “Apa anda ingin mengetahuinya sekarang juga Nona?” Rhanora tersenyum lalu menaruh cangkir teh diatas piring kecil, ia pun menatap Linlin dengan wajah serius walaupun senyuman masih menghias wajah rupawan miliknya. “Tentu, tahu lebih banyak tidak akan melukaiku, malah.. akan sangat membantuku.”Di tempat asing yang memiliki aturan dan kebiasaan yang berbeda, informasi adalah hal yang akan sangat menguntungkan Rhanora yang pendatang baru.“Baik..” Linlin pada akhirnya mengangguk melihat keseriusan Rhanora, yang membuat Linlin jadi teringat dengan Winona. “S
****Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Rhanora terasa lebih lengang dari biasanya. Sejak kabar keberangkatannya ke Kekaisaran Thagon diumumkan, para pelayan sibuk menyiapkan segala yang diperlukan: pakaian perjalanan, dokumen resmi, dan hadiah-hadiah sebagai tanda penghormatan pada keluarga kekaisaran.Rhanora berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Jemarinya sibuk merapikan rambutnya, tapi sorot matanya terlihat ragu. Gaun perjalanan berwarna biru gelap terbuat dari bahan yang cukup tipis sudah terpasang di tubuhnya, dihiasi sulaman halus di bagian lengan. Meski sederhana, aura bangsawan tetap terpancar dari dirinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. “Nona, apa anda sudah sudah siap?” suara pelayan terdengar dari balik pintu. Rhanora tahu siapa itu tanpa harus menoleh, Rhanora pun membiarkan pelayan itu masuk.Seorang pelayan wanita masuk, ia terlihat seusia Rhanora dengan rambut berwarna hitam dan manik mata yang sama kelamnya, orang ini tidak terlihat seperti warga Keka
“Kak Rhanora!” Suara riang dan penuh semangat itu terdengar dari arah belakang ketika Rhanora berjalan pergi untuk meninggalkan istana Kekaisaran. Tanpa menoleh pun Rhanora tahu siapa yang memanggilnya.“Kak!” Orang yang memanggilnya ini adalah Alicia Enna Valor, adik dari Eurion dan putri bungsu dari Kaisar Aurelian.Orang yang seharusnya menikah ke Kekaisaran Thagon namun karena usianya yang bahkan belum genap delapan belas tahun membuatnya tidak akan dikirim kesana. Meski enggan, Rhanora tahu kalau dirinya adalah pilihan terbaik, mulai dari umur Rhanora yang sudah dua puluh tiga tahun hingga sifat Rhanora yang lebih tenang dari Alicia.Selain itu, Alicia terlalu baik dan naif untuk masuk ke sarang naga.“Kak Rhanora! Kakak darimana saja?” Alicia berlari kecil menghampiri, gaun tipis berwarna gadingnya terayun mengikuti gerakan langkah. Wajahnya berseri-seri, mata birunya memantulkan cahaya pagi. “Sudah lama tidak bertemu kakak.”Rhanora berbalik, menyambut senyum itu dengan lembut







