Mobil yang dinaiki Bianca dan tuan Abrahamkini sudah berada di depan rumah mendiang orang tua Bianca. Rumahnya nampak kotor. Sebab lebih dari sebulan rumah itu tidak ada yang menempati.
"Apa kamu yakin akan tinggal disini?" tanya Abraham kepada sang menantu. Dia masih tidak rela jika Bianca harus kembali ke rumahnya. "Yakin Pa." "Bagaimana kalau rumahnya dibersihkan dulu saja. Setelah bersih barulah kamu kembali kesini, " bujuk tuan Abraham dengan lembut. "Terimakasih. Tapi biar Bia yang membersihkan sendiri, " tolak Bianca tak kalah lembut. Abraham pun tidak lagi memaksa. Dia membiarkan Bianca keluar dari dalam mobil. Sedangkan tuan Abraham masih tetap di dalam mobil. "Maafkan Papa tidak bisa ikut turun. Papa harus segera berangkat ke kantorkantor, " ucap tuan Abraham setelah Bianca sudah keluar dari mobil. "Tidak masalah Pa. Terima kasih sudah mengantar Bia sampai rumah dengan selamat. " "Sama-sama. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi Papa." Bianca menganggukkan kepalanya. Setelah itu tuan Abraham pun pergi dari sana. Bianca menatap kepergian mobil itu hingga hilang dari pandangannya. "Nak Bia baru pulang. Dari mana saja, Nak?" tanya ibu-ibu yang rumahnya disamping rumah Bianca. Wanita itu memang belum tahu jika Bianca sudah menikah. Setelah kedua orang tuanya meninggal Bianca langsung tinggal di kediaman Abraham. Acara pernikahannya pun hanya dihadiri oleh keluarga besar Abraham dan rekan bisnisnya. Tidak ada dari teman maupun tetangga Bianca yang undang di acara itu. "Dari rumah saudara, Bu. Kebetulan rumahnya jauh dari sini. " Bianca menjawab dengan ramah. Meskipun dia dulu seorang permaisuri namun tidak pernah membedakan orang. Dia ramah kepada siapapun. "Saya harap nak Bianca tidak lagi bersedih. Kalau butuh bantuan, tinggal panggil ibu dirumah. " "Terimakasih, Bu. Kalau begitu saya masuk kedalam dulu. " "Silahkan." Bianca memperhatikan pintu gerbang dihadapannya. Pintu gerbang itu dalam kondisi tergembok. Dari ingatan Bianca asli, dia menyimpan kunci rumah dibawah salah satu pot bunga. Sedangkan kunci gerbangnya ia bawa ke kediaman Abraham. Bianca cukup bingung bagaimana membuka pintu gerbangnya. Dia memang tidak membawa barang apapun selain pakaian yang ia pakai. Sepulangnya dari rumah sakit, dia langsung kesini. Semua barangnya masih berada di rumah mertuanya. Karena tidak mempunyai cara lain, maka Bianca merusak gembok itu menggunakan tenaga dalam. Untung kekuatannya ikut berpindah tubuh juga. Setelah gemboknya rusak akhirnya Bianca bisa masuk ke dalam. Rumah Bianca tidak begitu luas. Namun memiliki dua lantai. Di sekeliling rumah tumbuh beberapa tanaman seperti, bunga, buah dan sayur. Sayangnya semua tidak terawat. Bukan hanya diluar saja yang tidak terawat. Didalam rumah pun sama. Apalagi dia meninggalkan rumah ini sebulan lebih setelah orang tuanya meninggal. Bianca langsung menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Begitu sampai disana dia langsung berbaring diatas ranjang. Dia tidak memperdulikan ranjangnya yang kotor. Sebab kepalanya terasa pusing. Di tempat lain Rangga sibuk mencari keberadaan Adrian. Sebab semua panggilannya tidak terjawab. Dia pun masih belum mengetahui jika Bianca sudah keluar dari rumah sakit. Begitu mengetahui Bianca sudah keluar dari rumah sakit, Rangga bergegas pergi ke perusahaan. Dia tidak memperdulikan lagi keberadaan Adrian yang entah ada dimana. "Terserah deh, yang penting aku sudah mencoba untuk memberitahu, " gumam Rangga setibanya di perusahaan. Sebenarnya Rangga sudah menebak jika Adrian sedang bersama Alisha. Hanya saja ia, tidak yakin dimana tempatnya . "Kamu tidak pulang?" tanya Alisha lembut. Saat ini keduanya sedang nonton film bersama di apartemen Alisha. "Memangnya kamu tidak suka aku temani?" "Bukan begitu sayang. Namun bagaimana kalau Paman Abraham mencari?" Deg! Rangga sepertinya melupakan hal itu. Pasti papanya sudah mengetahui kondisi Bianca. Dia harus bersiap untuk menerima kemarahannya. "Ucapanmu benar sayang. Sepertinya aku harus pulang. Kalau tidak... mungkin papa akan menyuruh anak buahnya untuk mencari ku." "Begitu dong. Bukanya aku tidak suka kamu berada di sini. Namun aku tidak ingin kedua orang tuamu marah." "Kamu memang terbaik. Tenang saja sampai kapanpun aku akan memilihmu." Alisha tentu saja senang mendengar ucapan sang kekasih. Tidak tahu saja jika dia menyuruh Adrian pulang, sebab Alisha sudah ada janji denganada janji dengan kekasih gelapnya. Sebenarnya dibelakang Adrian, Alisha menjalani hubungan dengan Leon yang tak lain sahabat Adrian. Leon memang mencintai Alisha , jauh sebelum Alisha menjalin hubungan dengan Adrian. Jadi saat Alisha mendekatinya tidak ada alasan untuk menolak. Leon juga sudah siap jika seandainya Adrian mengetahui hubungannya Alisha. Setelah berpamitan Adrian meninggalkan apartemen Alisha dengan langkah besar. Dia berharap semoga sang papa memaafkannya. Ternyata keinginannya benar-benar terwujud. Saat ia bertemu dengan sang papa , tidak ada tanda-tanda jika Abraham marah dengannya. Bahkan sang papa tidak melirik sedikitpun kearahnya. Tentu saja hal itu membuat Adrian curiga. Namun Adrian mencoba untuk bersikap positif. "Bagaimana kondisi istri kamu Rian?" tanya sang Mama. Deg! Baru saja ia bernafas lega karena sang Papa tidak menyinggung soal Bianca. Sekarang Mamanya yang bertanya. Dia melirik Abraham yang sedang sibuk dengan ponselnya. Adrian bingung dengan respon yang diberikan oleh Abraham. Bukankah seharusnya Abraham yang lebih perhatian. "Kok malah bengong? " Sentak Nyonya Laura. Adrian yang masih asyik melirik Abraham langsung kaget. Maaf Ma, Adrian lagi banyak pikiran, "ucap Adrian beralasan. " Pasti kamu mikirin istrimu. Ini gara-gara Papa. Kalau saja Papa tidak menjodohkan Adrian dengan Bianca Kejadiannya tidak akan seperti ini." Nyonya Laura menyalahkan semuanya pada Abraham. "Maaf. Sekarang terserah kalian. Setelah ini Bianca akan tinggal di rumahnya. Jadi kalau Adrian mau menikah dengan Alisha juga terserah. Setelah mengucapkan itu, Abraham langsung beranjak dari sana. Dia tidak memperdulikan respon istri dan anaknya. Adrian dan Nyonya Laura terbengong di tempat. Kata-kata Abraham itu tidak pernah mereka duga sama sekali. "Papamu tadi bilang apa? " ".... " "Ish...dari tadi bengong mulu. " "Maaf Ma. Adrian ke kamar dulu, " pamit Adrian. Kemudian Adrian meninggalkan mamanya sendiri di ruang tamu. Adrian buru-buru ke kamarnya untuk melakukan panggilan pada Rangga. Ponselnya mati sejak semalam. Itulah yang membuat Rangga tidak bisa menghubunginya. Bianca perlahan membuka matanya. Perutnya sudah meronta ingin diisi. Tapi tidak ada makanan apapun yang bisa ia makan. Bianca membuka jendela kamarnya. Matanya langsung berbinar melihat buah di depannya. Di samping rumah Bianca memang tumbuh berbagai macam tanaman buah. Ada mangga, jambu biji, jambu air dan rambuta. Saat ini sedang musim buah Mangga. Jadi pohonnya berbuah lebat. Bianca masih bisa menggunakan kekuatannya. Tanpa harus repot-repot , dia langsung terbang ke barang pohon. Untungnya tidak ada yang melihatnya. "Ehm, enak sekali. " Bianca langsung memakan buah itu di atas pohon. Dia tidak perlu repot-repot untuk mengupas kulitnya. Yang penting, perutnya segera terisi. Dia tidak memperdulikan bibirnya yang cemot. Setelah habis lima buah, Bianca kembali terbang ke kamarnya. Dia ingin membersihkan rumahnya yang masih kotor. Untungnya Bianca yang asli pandai bersih-bersih. Jadi Bianca tinggal mempraktekkan hasil ingatannya. Saat sedang sibuk bersih-bersih bel rumah berbunyi. Bianca yang memang baru kali ini mendengar suaranya langsung terbengong di tempat. Dia masih belum tahu jika bel itu tandanya sedang ada tamu yang sedang berkunjung. "Nak Bia ! " teriak seseorang dari luar rumah. Bianca langsung beranjak ke arah pintu dan membukanya. "Akhirnya kamu keluar juga. Kamu sedang apa?" tanya sang tamu yang ternyata tetangganya. Ada dua orang yang berdiri di hadapannya. Yang satu perempuan dan satu lagi lelaki. "Saya lagi bersih-bersih Bu. Kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa ya? " "Saya ingin membeli buah mangganya Dek. Mumpung sekarang Adek ada dirumah, " ucap lelaki yang berdiri di samping ibu-ibu itu "Boleh. Silahkan masuk dulu," ucap Bianca dengan ramah. "Kita langsung ke pohonnya saja Dek. Bagaimana?" "Baik... mari," ajak Bianca. "Maaf kalau rumahnya masih kotor. Maklum saya baru pulang dari rumah saudara. " "Tidak masalah. " Ketiga orang itu langsung berjalan ke samping rumah. Rumputnya sudah panjang-panjang. Sudah waktunya untuk dibersihkan. "Nak Bianca mau jual berapa? " "Terserah Tuan. Yang penting saling menguntungkan." "Panggil Bapak saja. Tuan kesannya gimana gitu." "Baiklah. Terus bagaimana Pak? " "Saya berani bayar satu juta lima ratus ribu. Bagaimana? " Bianca masih bingung menjawabnya. Dia masih belum pernah menjual buah dikehidupan sebelumnya. Bianca yang asli pun sama. Bianca juga belum memegang uang rupiah. Yang ia kenal cuma koin emas dan perak. Jadi ia minta saran sama ibu yang berdiri di sampingnya. "Bagaimana Bu? " "Kalau menurut ibu sih jual saja. Harga yang ditawarkan juga bagus." "Baiklah kalau begitu. Pembayarannya kapan Pak? " "Sekarang. Ini uangnya. Sebentar lagi mangganya saya panen. " Bapak-bapak itu mengulurkan uang kepada Bianca sebanyak satu juta lima ratus ribu rupiah. Bianca senang karena akhirnya ia tidak akan kelaparan."Akhirnya Tuan sadar juga, " ucap Jimmy dengan lega. Ia terpaksa membawa Adrian ke rumah sakit karena tidak kunjung sadar. Sedangkan Rangga mengurus kekacauan yang ditimbulkan oleh Chiara. "Dimana Aku? " tanya Adrian dengan bingung. "Di rumah sakit. Saya terpaksa membawa Tuan kesini karena Tuan tak kunjung sadar. Untunglah tidak ada yang serius. Sebenarnya apa yang terjadi Tuan? " tanya Jimmy penasaran. Adrian kemudian mengingat kejadian yang membuat dirinya sampai pingsan. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. "Dimana Bianca? " "Masih ada dikantor. Apakah Bianca yang sudah membuat Anda pingsan? " "Bukan. Sepertinya kantor kita sudah tidak aman. Coba kamu cari orang pintar untuk mengamankannya." "Bukankah sudah ada satpam ngapain malah cari orang pintar. Tapi orang pintar seperti apa yang Anda cari? " tanya Jimmy dengan bingung. Sepertinya anak itu belum faham apa yang Adrian maksud. "Ada hantu di kantor." "What!!! jadi gosip itu memang benar? " "Gosip yang mana?
Bianca mempelajari dokumen yang diberikan oleh Adrian padanya. Dokumen itu berisi contoh surat kerja sama dengan perusahaan lain yang perlu ia pelajari. Bianca diminta Adrian untuk mempelajari semua ia dokumen itu hingga faham. Ia dengan patuh melakukan apa yang disuruh oleh Adrian. Sebenarnya Adrian hanya ingin menguji Bianca. Sudah lama Bianca tidak menghubunginya. Ia merasa Bianca tidak lagi sama seperti biasanya. Bahkan tatapan penuh damba yang biasa ia tunjukkan tidak lagi ia dapatkan. Jika Bianca sedang fokus dengan dokumen yang ada dihadapannya, tidak dengan Adrian. Adrian sesekali menatap Bianca dari kursi yang ia duduki. Sedangkan Chiara duduk dihadapan Adrian menatap Adrian tanpa kedip. Adrian menempatkan Bianca di dekat pintu . Dengan begitu, setiap ada tamu Bianca harus membukanya. "Buatkan Aku kopi, " ucap Adrian dengan suara yang agak keras. Bianca menghentikan kegiatannya dan menatap Adrian yang juga sedang menatapnya. "Tuan berbicara pada Saya? " tany
Di iringi tatapan bingung teman-temannya, Bianca meninggalkan ruangan yang sudah baru dia hari ia tempati. Nadia yang terima dengan keberuntungan Bianca, menatapnya dengan tajam. Kenapa seorang anak magang bisa menarik perhatian Adrian? Apa jangan-jangan wanita yang dibicarakan oleh keluarga Adrian semalam adalah Bianca? "Tidak bisa dibiarkan. Aku harus memberi anak magang itu pelajaran, " gumam Nadia dengan lirih. Sandra yang kala itu sedang menatapnya, begidik sendiri. Dia yakin jika Nadia akan melakukan sesuatu yang membuat Bianca tidak lagi menjadi sekretaris Adrian. Dia tidak sabar menunggu pertunjukan apa yang akan Nadia mainkan. "Sudah-sudah, lanjutkan pekerjaan kalian. Orangnya juga sudah tidak ada kok, " ucap Bu Rena. "Terus Aku berangkat sama siapa? " tanya Tomi. "Sama Sandra saja." "Kok jadi Aku sih. Nggak mau lah, " tolak Sandra dengan terang-terangan. "Mau tidak mau ya harus mau. Hanya kamu yang tidak mempunyai tugas. " Bianca tidak mengetahui j
Bianca tiba di perusahaan lebih pagi dari hari kemarin. Ia langsung menuju ruangan tempatnya bekerja. Sudah ada Rena, Siska dan Tomi yang lebih dulu tiba. "Selamat pagi semuanya, " sapa Bianca dengan ramah. "Selamat pagi, " sapa Rena dan Tomi. "Selamat pagi. Begitu dong, jangan sampai berangkat seperti kemarin, " puji Sandra yang mengandung sindiran. Bianca hanya tersenyum sambil duduk di kursinya. Sandra yang merasa diabaikan merasa geram. Entah kenapa pagi ini moodnya berantakan. Maunya marah-marah terus. Mungkin karena sedang ada tamu bulanan. "Pagi every body! " teriak Bella dengan senyum ceria. Sandra yang hendak mengeluarkan lahar jadi mengurungkan niatnya. "Ini kantor bukan hutan! " ucap Sandra dengan ketus. "Biasa aja kali Mbak." "Ada kabar apa nih, sumringah banget, " ucap Tomi yang melihat keduanya kan berdebat. Bianca menunjukkan cincin yang ada dijari manisnya dengan tersenyum lebar. Semalam kekasihnya datang melamar bersama kedua orang tuanya.
Seperti yang sudah direncanakan oleh Nadia sebelumnya. Setibanya di rumah Nadia merengek pada kedua orang tuanya untuk segera mendatangi kediaman Abraham. "Ayo lah Pa... Ma, mumpung saat ini Adrian tidak punya kekasih. Nadia minta Papa sama Mama membujuk Tuan Abraham agar mau menerimaku menjadi menantunya, " bujuk Nadia pada kedua orang tuanya. Padahal dia baru saja pulang dari kantor. "Setidaknya kamu mandi dulu deh. Nanti kita bicarakan lagi setelah kamu segar, " ucap sang Mama dengan lembut. "Tidak mau. Aku mau Papa sama Mama berjanji dulu," rengek Nadia dengan manja. "Akan Papa usahakan, " ucap tuan Broto yang tak lain Papa Nadia. Kelemahannya adalah tak tega menolak keinginan sang putri. "Pokoknya nanti malam kita harus ke rumah mereka. Titik tidak pakai koma! "tekan Nadia dengan cemberut. "Tidak bisa begitu dong Sayang. Masak mendadak. Setidaknya kita harus buat janji dulu dengan mereka. Bagaimana kalau saat tiba di rumah mereka, mereka sedang tidak ada di rumah
Rio mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan Bianca. Rio tidak menyangka tamparan Bianca sangat terasa. Bahkan sampai giginya ikutan ngilu. Rio merasa hari ini sangat sial. Bukan hanya rasa sakit yang ia rasakan. Namun ia juga merasa malu dan harga dirinya terasa diinjak-injak oleh gadis didepannya. "Kamu berani menamparku! " pekik Rio tidak percaya. "Kenapa tidak berani. Buktinya kedua pipimu sudah aku tampar, " jawab Bianca dengan santai. "Kamu!!!!! " Rio bingung mau mengucapkan apa sangking kesalnya. Mau membalas juga tidak etis. Apalagi lawanya seorang perempuan. Keduanya menjadi pusat perhatian pengunjung supermarket. Wajah Rio semakin merah menahan amarah. Pemilik supermarket sekaligus ayah dari Rio buru-buru datang setelah mendapat laporan dari karyawannya. "Ada apa ini,Rio?" tanya Ayah Rio dengan suara yang agak keras. Baru juga datang sudah mendapatkan laporan tidak baik. "Gadis gila ini menamparku, " jawab Rio dengan agak takut. Rio tidak men