공유

Bab 8

작가: Vannisa
Maggie meratap panik, mati-matian memperagakan bahasa isyarat untuk menyampaikan penolakannya.

Telepon segera ditutup. Air matanya telah membasahi layar ponsel. Maggie buru-buru mengetik dengan jari-jari gemetar.

[ Ayah nggak boleh keluar dari rumah sakit. Aku nggak setuju! Tolong terus rawat ayahku. Mengenai pihak rumah sakit, biar aku yang urus nanti. Kelak aku yang akan membayar gajimu, bahkan aku akan memberimu bonus. Kumohon jangan tinggalkan ayahku. Dia nggak bisa bertahan sendirian. ]

Setelah pesannya terkirim, si perawat pribadi hanya membalas dengan satu kata singkat.

[ Oke. ]

Maggie baru menghela napas lega usai membacanya. Untuk beberapa lama, dia hanya berjalan menyusuri pinggir jalan dalam keadaan linglung. Saat jari-jarinya lecet tergesek sepatu hak tinggi, dia baru berhenti.

Rasa sakit yang tajam di hati akhirnya membuat Maggie terisak. Air mata tumpah ruah di pipi mulusnya. Dia tidak mampu menenangkan diri untuk waktu yang lama.

Maggie harap dia tidak pernah memiliki keluarga seperti ini. Namun, dia tidak ingin diam saja dan menunggu Keluarga Leandra menghancurkan hidupnya. Sambil menggenggam erat alat tes kehamilannya, dia melambaikan tangan menyetop taksi.

Taksi berhenti di depan gerbang rumah lama Keluarga Devantara. Para tamu pesta ulang tahun sudah bubar. Beberapa pembantu sedang bersih-bersih di halaman.

Maggie menyeka air matanya, berjongkok diam di luar gerbang. Dia terus di posisi itu hingga malam tiba.

Tangan dan kaki Maggie sudah sedikit mati rasa. Dia tidak memiliki informasi kontak pria itu, jadi satu-satunya pilihan adalah menunggunya di sini.

Sepasang kaki jenjang muncul dalam garis pandang Maggie. Sepatu kulit mengilap, serta setelan jas mahal yang disetrika rapi. Orang itu sudah tiba.

Maggie mendongak, menatapnya dengan mata memerah dan mencengkeram celananya dengan tangan gemetar.

"Kamu berubah pikiran dan kembali untuk memerasku?" tanya Easton dengan sinis. Nada bicaranya yang dingin mengalahkan udara malam di musim gugur.

Hati Maggie bergetar, bibirnya menyunggingkan senyum getir. Bulir kristal dari pelupuk matanya jatuh ke sepatu kulit Easton yang mengilap.

Easton mengernyit. Apa wanita ini terbuat dari air? Mengapa air matanya tidak berhenti keluar?

Maggie mengulurkan tangan, menyerahkan alat tes kehamilan dalam genggamannya. Namun, Easton sama sekali tidak berniat mengambil.

Ketika Easton melihat dua garis biru di sana, ekspresinya berubah muram. Dia menyipitkan mata hitamnya yang tak terselami dan bertanya, "Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?"

Maggie menggeleng dengan panik. Dia buru-buru membuat isyarat dengan tangannya. Kesesakan, kesedihan, dan perasaan tidak berdaya di hatinya tercurah tanpa ditutup-tutupi.

[ Kumohon bantu aku. Anak dalam perutku ini milikmu. ]

Raut wajah Easton bertambah suram, auranya pun kian dingin. Dia berucap, "Aku nggak mengerti, berhentilah bicara dengan bahasa isyarat padaku. Mengenai anak itu, kamu gugurkan saja."

Tangan Maggie terkulai lemah. Dia menatap kosong pada pria elegan dan dingin di depannya. Semua harapan di hatinya dalam sekejap luluh lantak.

Maggie menggigit bibir, lalu mulai mengetik di ponsel. Air mata mengaburkan pandangannya. Benaknya memikirkan sang ayah yang terbaring di rumah sakit. Dia benar-benar tidak sanggup lagi menanggung sakit karena kehilangan keluarga terdekat.

[ Kumohon, hanya kamu yang pernah bersamaku. Anak ini milikmu, bukan anak haram. Aku dalam masalah. Keluargaku memaksaku menikah dengan pria tua, dia bahkan nggak keberatan aku lagi hamil. Aku nggak mau menikah dengannya. ]

[ Mereka menggunakan ayahku yang terbaring nggak sadarkan diri di rumah sakit untuk mengancamku. Aku nggak punya uang. Bisakah kamu pinjami aku sedikit uang supaya aku bisa menghubungi rumah sakit? Kumohon padamu. ]

Easton paling benci diancam atau dimanipulasi orang lain. Dia sama sekali tidak tahu latar belakang wanita di depannya. Bagaimana dia bisa percaya atau bahkan bersimpati hanya dengan beberapa patah kata darinya?

Easton menendang Maggie pergi. Raut wajahnya tampak jijik, seolah-olah dia baru menyentuh sesuatu yang kotor. Dia berkata, "Kamu salah orang, aku bukan filantropis. Aku nggak wajib beramal untukmu. Kamu bisa lahirkan anak itu kalau mau, tapi aku nggak akan mengakuinya. Dia juga nggak punya kaitan apa pun dengan Keluarga Devantara."

Kata-kata Easton begitu menyakiti hati. Maggie merasa seakan-akan tenaganya terkuras habis. Tubuhnya merosot lemah di tanah dan emosinya melonjak. Dia membungkuk menyedihkan di pinggir jalan, kembali muntah-muntah.

Pria dingin itu bahkan tidak meliriknya dengan tatapan iba. Dia langsung melangkah lurus menuju Bentley hitam yang terparkir di pinggir jalan. Tak lama kemudian, mobil itu melaju pergi ke ujung jalan.

Di ruang kerja lantai tiga rumah lama Keluarga Devantara, Edgar tengah melaporkan dengan hormat segala yang terjadi. Hana mendengarkan sambil memutar manik doa dengan raut tenang.

Di sisi lain, Julian dan Devina tampak sangat antusias. Mereka baru saja kembali dari luar negeri dan telah mendengar sebuah kabar gembira. Tadinya mereka berdua sudah berpikir tidak akan bisa menggendong cucu seumur hidup. Hanya karena ingin menjaga perasaan Easton, mereka tidak berani terlalu mendesaknya.

Edgar berdiri di samping, mengulangi apa yang dikatakan Easton pada Maggie di pinggir jalan.

"Bu, wanita itu bisu?" tanya Devina.

Beberapa saat sebelumnya, Devina masih larut dalam kegembiraan karena harapan akan memiliki cucu. Namun, detik berikutnya semangatnya hilang. Kini dia hanya menatap suaminya dengan raut cemas.

Tangan Hana yang memutar manik doa berhenti bergerak. Tatapannya kembali jatuh pada kertas di atas meja. Meski kertas itu telah berkerut-kerut, tulisan tangan tegas di sana tidak bisa disembunyikan.

Hana menoleh pada putranya yang sedari tadi hanya diam di samping, lalu bertanya, "Julian, bagaimana menurutmu?"

"Sejak awal Easton memang mengidap penyakit langka. Obat-obatan yang dikonsumsi sudah merusak tubuhnya. Selama bertahun-tahun, Ibu sudah mencarikan banyak dokter untuk mengobatinya. Kalau wanita ini benar-benar bisa mengandung anaknya, biarkan saja dia melahirkannya. Lagi pula, memiliki keturunan bukan hal mudah. Keluarga Devantara nggak mungkin bertahan tanpa pewaris," sahut Julian.

Hana mengangguk puas. Kemudian, dia menginstruksi Edgar di sampingnya, "Pergi atur semuanya. Aku akan bicara dengan Easton."

Sebagai menantu Keluarga Devantara, Devina tidak berani membantah kata-kata Hana. Namun, setelah melalui pergulatan batin, dia tetap tidak bisa menerima fakta bahwa calon menantunya adalah wanita bisu.

Devina ragu-ragu sejenak, lalu berkata, "Bu, bagaimana kalau kita atur agar wanita itu tinggal di vila selama masa kehamilan saja hingga bayinya lahir? Easton nggak bisa menikahi wanita bisu."

Hana melirik menantunya tanpa ekspresi. Dia membalas dengan nada tajam, "Kenapa? Kamu hanya menginginkan bayinya, tapi mau menyingkirkan ibunya? Keluarga Devantara nggak bisa berbuat serendah itu!"

"Tapi ... rasanya kasihan kalau Easton menikahi wanita sepertinya," ucap Devina lagi setelah mengumpulkan keberaniannya. Dia bahkan mengabaikan tatapan peringatan dari sang suami.

Keluarga Devantara memiliki latar belakang baik. Mereka berada di puncak piramida keluarga-keluarga ningrat di Kota Jostam.

Keluarga asal Devina sendiri memiliki kekayaan berlimpah yang mampu menyaingi negara, sementara keluarga suaminya memiliki latar belakang yang tidak kalah hebat. Devina sulit menerima jika putra kesayangannya harus menikahi wanita bisu.

Hana tahu betul apa yang dipikirkan Devina. Dia langsung menyerang titik lemahnya dengan berkata blak-blakan, "Apa selama ini kamu pernah melihat Easton main wanita? Teman-teman masa kecilnya bergonta-ganti pacar lebih sering dari berganti pakaian. Kamu kira Easton anak baik yang bisa mengendalikan diri? Huh! Dia hanya takut gara-gara penyakitnya."

"Jossie sudah bertahun-tahun bersama Easton, tapi perutnya masih saja rata. Beberapa orang memang diberkahi dengan takdir mudah punya anak. Wanita seperti itulah yang paling cocok untuk Easton. Lagi pula, kamu saja belum pernah bertemu dengannya, dari mana kamu tahu dia nggak punya keistimewaan?" lanjut Hana.

"Biarpun bisu, paras dan kepribadiannya luar biasa. Wanita sepertinya sangat langka di Kota Jostam. Yang terpenting, putramu tertarik padanya. Kalau nggak, mana mungkin dia mau menyentuhnya? Wanita itu bahkan langsung hamil dibuatnya," tambah Hana lagi.

Di usia senjanya, Hana tidak terlalu peduli apakah kata-katanya menyinggung hal tabu. Ucapannya yang lugas membuat putra dan menantunya tersipu tidak nyaman.

Devina adalah putri keluarga terhormat yang dibesarkan dengan aturan ketat. Topik percakapan seperti ini membuat telinganya memerah. Dia hanya bisa menyahut lirih dengan wajah merona, "Baiklah, aku ikuti apa kata Ibu."
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 108

    Owen sengaja mengarahkan balik sindirannya pada pria yang tadi mencoba memecah belah. "Aku bahkan hampir lupa memberi selamat pada Pak Ollie barusan."Kalau pria itu berani menyahut, bukankah sama saja dengan mengakui di depan umum bahwa promosi yang dia dapat adalah hasil "merebut"?Di dalam lift banyak karyawan dari berbagai departemen, tetapi semua memilih bungkam. Mereka hanya saling melempar kode lewat tatapan mata. Pria itu akhirnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya nyengir dengan canggung sebelum kembali terdiam.Maggie baru sadar, pria itu ternyata adalah Ollie, Manager Departemen Pemasaran. Secara teori, memang pesaing langsungnya dalam promosi.Lift turun ke lantai bawah tanah. Mayoritas karyawan sudah keluar di lantai dasar, tersisa hanya beberapa orang saja.Maggie berjalan langsung ke tempat parkirnya dan menekan tombol unlock. Namun, Ollie tiba-tiba mengadang di depan mobilnya dan berkata dengan sinis, "Wah, mobilnya bagus juga ya. Lihat dari fiturnya ini pasti k

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 107

    Keduanya menunggu di depan lift. Di samping mereka ada beberapa rekan kerja dari departemen lain. Setelah saling menyapa singkat, suasana kembali canggung.Ding ....Lift turun ke lantai 15.Jam pulang kantor, lift penuh sesak oleh pegawai bank berseragam. Meski dari departemen berbeda, semua saling menyapa dengan akrab. Maggie menganggukkan kepala satu per satu dengan ramah, hingga akhirnya pandangannya jatuh pada seorang pria yang sedang menatapnya.Karyawan di kantor pusat bank mencapai seribu orang. Maggie jarang sekali ikut kegiatan gathering atau makan malam departemen. Lima tahun ini, dia selalu pintar menghindari berbagai acara sosial.Ada untung ruginya. Untungnya, dia tidak perlu berpura-pura ramah dan tidak perlu menguras energi untuk menjaga hubungan yang tak penting. Dia memiliki banyak ruang pribadi, bisa memakai waktunya untuk mengembangkan diri, bersantai, atau sekadar hiburan.Namun sisi buruknya juga fatal. Masuk tahun kelima bekerja, dia nyaris tidak mengenal siapa p

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 106

    Easton terluka parah, kemungkinan besar acara itu akan ditunda atau bahkan dibatalkan. Bagaimanapun, pesta akhir tahun perusahaan hanyalah acara internal. Yang paling dipedulikan karyawan hanyalah bonus dan tunjangan, ada atau tidaknya seremoni tampaknya tidak sepenting itu.Ternyata Maggie berpikir terlalu jauh. Kamis sore, tepat sebelum jam pulang, Owen tiba-tiba mendorong pintu kantornya. "Kamu nggak lupa, 'kan?"Maggie menoleh padanya dengan wajah penuh tanda tanya. Dia membuka kedua telapak tangan, lalu membaliknya.[ Apa? ]"Gala tahunan Grup Devantara. Aku tahu kamu lagi sibuk menyiapkan sidang promosi, jadi sengaja mengingatkan. Besok pagi kamu nggak perlu ke kantor. Sorenya aku jemput kamu," ujar Owen dengan ramah.Ekspresi Maggie langsung berubah dan buru-buru menggeleng keras.[ Aku sudah pindah rumah, nggak usah repot. Lagi pula aku baru beli mobil kecil buat keperluan sehari-hari, aku bisa datang sendiri. ]Gerakan tangannya cepat. Ekspresinya agak gugup dan bahkan menolak

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 105

    Easton duduk di kursi roda dengan dahi berkerut. Dia menengadahkan kedua tangan dan berkata dengan penuh keluhan, "Apa ini nggak berlebihan? Aku cuma patah tangan, bukan nggak bisa jalan."Kaeso yang mendorong kursi roda itu pun berbisik, "Tadi Bu Intan malah sempat mau minta orang pakai tandu untuk bawa Bapak turun, untung Pak Julian mencegah."Easton menghela napas, "Itu memang gayanya Bu Intan." Dia menoleh ke sekitar untuk mencari sosok Maggie. Wanita itu berjalan sendirian di belakang rombongan. Melihat pemandangan ini membuat dadanya terasa sedikit sesak."Antarkan dia pulang," ucap Easton kemudian dengan nada tidak semangat.Kaeso mengangguk. Dalam hati, dia sangat paham bahwa di keluarga sebesar ini, Maggie tidak akan bisa hidup tenang jika tidak memiliki latar belakang yang sepadan.Sebuah mobil van putih sudah menunggu di depan gedung rawat inap. Easton bangkit dengan wajah menahan sakit. Maggie spontan melangkah maju untuk membantunya, tetapi Devina mengangkat tangan dan men

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 104

    Maggie mengetik di ponselnya.[ Beli makan dan beres-beres itu nggak berat. Sarapan harus dimakan selagi hangat. ]Maggie terlihat sangat terbiasa merawat orang sakit. Easton pun teringat, dia memang punya seorang ayah angkat yang sudah lama sakit. Dari hasil penyelidikan latar belakang, tercatat bahwa setelah umur 17 tahun, Maggie kembali ke orang tua kandungnya, lalu berganti nama menjadi Maggie seperti sekarang.Namun ... bagaimana dengan sebelum 17 tahun itu? Dengan orang tua angkatnya yang berjualan ikan di pasar, kehidupan macam apa yang mereka berikan padanya? Meski hidup penuh kekurangan, Maggie jelas tumbuh dalam kasih sayang.Easton terpaku dalam pikirannya. Sorot matanya saat memandang Maggie pun dipenuhi rasa iba. Tepat saat itu, Kaeso berlari masuk dengan terengah-engah."Gawat, Pak Easton! Berita kecelakaan Bapak nggak bisa ditutupi ... barusan saya lihat di lobi lantai satu ...." Sebelum Kaeso selesai bicara, Hana sudah bergegas masuk dengan bertumpu pada tongkatnya.Eas

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 103

    Sinar matahari yang menyilaukan menembus ke dalam kamar rawat. Easton refleks mengangkat lengan kiri untuk menutupi wajahnya agar tidak terlalu silau.Rasa nyeri dan pegal di bagian bawah tubuh memaksanya tersadar sepenuhnya. Dia menoleh ke samping, lalu mendapati bahwa ranjang pendamping itu terlihat kosong. Bahkan selimutnya pun sudah dilipat rapi.Dia mencoba bangun, tapi luka di perut membuatnya sama sekali tak bisa bergerak.Easton merasa tidak terima. Nama baiknya tidak boleh sampai tercoreng hanya gara-gara aib "mengompol di ranjang rumah sakit". Dengan tekad itu, dia menggertakkan gigi menahan sakit, lalu menggunakan lengan kirinya untuk menopang tubuh dan berusaha duduk perlahan-lahan.Rasa sakit yang hebat menyerangnya dan membuat keringat dingin bercucuran di dahinya. Urat-urat di lengannya menonjol dengan jelas, menandakan betapa berat perjuangannya.Tiba-tiba Maggie berlari masuk dengan panik. Bubur yang dibawanya tumpah berceceran, tetapi dia tidak sempat memedulikannya.

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status