Share

Bab 9

Author: Vannisa
Maggie mengambil cuti sakit selama seminggu dari bank. Hari itu, dia pergi sendirian ke rumah sakit.

Selama beberapa hari terakhir, orang-orang Keluarga Leandra tidak berhenti memaksanya untuk menikah. Alhasil, Maggie tidak bisa makan dan tidur dengan tenang. Berat badannya pun menurun, membuat tubuh langsing itu tampak kian kurus, seolah-olah bisa diterbangkan embusan angin.

Tangan Maggie menggenggam kartu berobat dan formulir janji temu. Dokter telah menjadwalkan pemeriksaan praoperasi untuknya.

Departemen obstetri sangat ramai. Sepanjang koridor dipenuhi para calon ibu berwajah malu-malu dan berseri. Semua datang untuk pemeriksaan pranatal ditemani suami mereka.

Maggie tak kuasa menahan diri untuk mengelus perutnya yang masih rata. Sambil menahan kegetiran di hati, dia meminta maaf pada bayi dalam kandungannya.

"Nona Maggie, silakan masuk ke ruang konsultasi No. 3 untuk pemeriksaan."

"Nona Maggie, silakan masuk ke ruang konsultasi No. 3 untuk pemeriksaan."

Atmosfer di koridor rumah sakit tiba-tiba kacau. Beberapa pria berseragam berjalan menghampiri Maggie. Orang yang berdiri paling depan mengeluarkan selembar foto, membandingkan sosok di foto itu dengan wajahnya.

"Halo, apa kamu Bu Maggie?" tanya pria itu.

Kilat terkejut melintas di mata Maggie. Meski ragu, dia tetap mengangguk.

"Mari ikut dengan kami. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," ujar pria itu lagi

"Nona Maggie, silakan masuk ke ruang konsultasi No. 3 untuk pemeriksaan."

Maggie menggeleng, tidak berkenan pergi bersama mereka.

Pria tadi lalu mengulurkan tangan, menyerahkan ponsel padanya. Maggie ragu-ragu sejenak, lalu menerima ponsel itu dan menempelkannya ke telinga. Suara magnetis dan dingin seorang pria terdengar dari ujung telepon.

"Nggak kusangka Bu Maggie sehebat itu hingga mampu menggerakkan keluargaku. Oke, kamu menang. Aku akan memberimu sejumlah uang. Aku juga sudah memindahkan ayahmu ke rumah sakit lain. Maka sebagai balasannya, Bu Maggie sudah seharusnya memenuhi satu syaratku, bukan?"

Alis indah Maggie sedikit berkerut. Sekujur tubuhnya telah membeku di tempat sejak telepon itu dijawab. Para pria berpakaian hitam di samping berjaga dengan siaga, tidak memberinya kesempatan untuk kabur.

Suara di telepon tumpang tindih dengan realita. Untuk sesaat, Maggie tidak tahu dari mana asalnya. Ketika bayangan seorang pria tinggi jatuh di depannya, Maggie baru mendongak, melihat Easton yang berwajah muram.

"Kesabaranku terbatas. Intinya, anak itu nggak bisa kamu gugurkan. Kamu akan menikah denganku," ujar pria itu.

Sinar matahari jatuh menyinari lobi gedung rumah sakit. Easton membawa Maggie pergi dari sana dan langsung menuju Kantor Catatan Sipil.

Bentley hitam Easton sangat luas dan hangat. Maggie baru selesai menelepon perawat pribadi yang merawat ayahnya. Peggy berkata bahwa seseorang yang mengaku sebagai teman Maggie telah memindahkan ayahnya ke sanatorium swasta yang mewah.

Setelah memastikan hal ini, ketegangan Maggie sedikit mereda. Pria yang duduk di sebelahnya melemparkan sebuah dokumen perjanjian sambil berkata, "Tanda tangan."

Maggie membuka dokumen itu dengan raut bingung. Usai membaca isinya dengan baik, ekspresinya berubah muram.

[ Selama masa pernikahan Pihak Pertama dan Pihak Kedua, harta pribadi Pihak Pertama tidak berkaitan dengan Pihak Kedua. ]

[ Hubungan pernikahan Pihak Pertama dan Pihak Kedua berakhir pada hari Pihak Kedua melahirkan. Pihak Pertama akan memberikan kompensasi sebesar 100 miliar pada Pihak Kedua. Pihak Kedua harus melepaskan hak asuh, kunjungan, dan perwalian secara sukarela, serta tidak berhak menghubungi sang anak tanpa izin dari Pihak Pertama. ]

Tanda tangan Pihak Pertama telah dibubuhi dengan tegas di bawah nama Easton. Ruang untuk tanda tangan pihak kedua masih kosong, disediakan untuk Maggie.

Maggie menatap dua rangkap perjanjian itu. Pena logam di tangannya terasa dingin menusuk kulit. Jari-jarinya gemetar, ragu untuk tanda tangan.

"Kalau kamu kurang puas dengan nominal kompensasinya, kita bisa bicarakan lagi. Lagi pula, sekarang kamu punya modal untuk negosiasi," cibir Easton.

Maggie membulatkan tekadnya, lalu mengangkat tangan dan membubuhkan tanda tangannya.

Mobil berhenti di depan Kantor Catatan Sipil Kota Jostam. Kebetulan, Maggie telah membawa semua dokumen yang diperlukan sebelum pergi ke rumah sakit hari ini.

Easton berjalan mendahului dengan langkah lebar, sama sekali tidak peduli pada Maggie yang berusaha menyusul.

Setengah jam kemudian.

Sebelum Maggie sempat mencerna apa yang telah terjadi, dia telah diturunkan di pinggir jalan, dengan akta nikah di dekapannya.

"Vila Swallow, Blok 1. Kemasi barang-barangmu dan pindah ke sana," ujar Easton.

Setelah Bentley hitam itu melaju pergi bersama ribuan kendaraan lain di jalan raya, Maggie yang masih linglung baru memberanikan diri membuka akta nikah berwarna merah itu.

Foto di dalamnya sangat mencolok. Helai rambut Easton sedikit menutupi alis tegasnya. Sepasang mata cemerlangnya memancarkan pesona dan daya pikat. Hidungnya mancung dan bibir tipisnya terkatup, tetapi sudut-sudutnya sedikit melengkung naik.

Maggie tidak pernah menyadari betapa tampan Easton sebelumnya. Apa dia sedang tersenyum di foto itu? Jari-jari Maggie mengusap foto Easton. Lengkungan tipis di bibir pria itu membuat lamunannya melayang.

Pikiran yang tidak-tidak itu segera Maggie tepis. Easton hanya menikahinya karena paksaan keluarga. Tempo hari dia bahkan mengusirnya pergi tanpa belas kasihan. Hari ini, dia datang dengan membawa perjanjian yang keterlaluan dan menyuruhnya untuk tanda tangan.

Maggie menggelengkan kepala, menegaskan pada diri sendiri tentang realita hubungan mereka yang tidak lebih dari sekadar transaksi. Dia berbalik, menyetop taksi untuk pulang ke rumah sewanya. Barang-barangnya perlu dikemas sebelum pindah.

Atmosfer di dalam Bentley sangat menyesakkan. Sopir tidak berani untuk mengemudi terlalu cepat. Easton tidak memberi tahu tempat tujuan mereka, jadi dari tadi dia hanya berputar-putar di jalanan yang tidak terlalu macet.

Namun, Kota Jostam sangat ramai, jalan mana yang tidak macet? Ketika mobil berbelok di putaran kedua, mereka terjebak macet di jembatan layang karena bertepatan dengan jam pulang kerja.

Easton memejamkan mata, sesekali memijat dahinya untuk mengurangi rasa lelah. Entah apa yang mendorongnya, dia tiba-tiba membuka akta nikah yang terletak di samping, mengamatinya barang sejenak.

Mata Easton langsung terpaku pada foto mereka berdua. Foto berlatar merah itu tampak formal. Mereka kebetulan sama-sama memakai atasan putih polos.

Atas desakan sang fotografer, Easton dan Maggie mengikis jarak hingga menempel sangat dekat. Bahu mereka bersentuhan, memberi kesan ambigu dan intim.

Tatapan Easton secara alami tertuju pada wajah mungil Maggie. Wajah wanita itu cerah dan lembut. Alisnya melengkung indah dan matanya sedikit merah karena habis menangis, memancarkan binar polos dan takut di depan kamera. Bibir merah cerinya melengkungkan tersenyum tipis, membentuk lesung pipi kecil di wajah.

Maggie memiliki pesona menggoda sekaligus anggun, polos dan juga naif. Tidak ada kata yang cukup untuk mengungkapkan kecantikannya.

Easton mengamati foto Maggie sambil sedikit melamun. Tak lama, dia membuka dua kancing kemejanya dan menurunkan jendela mobil. Setelah angin malam musim gugur yang dingin menerpa wajahnya, barulah panas di sekujur tubuhnya sedikit mereda.

Tidak, Easton bukan seorang pria suci yang sanggup mengendalikan hawa nafsunya. Memikirkan dia memiliki seorang istri semenawan ini yang hanya bisa dilihat tanpa bisa disentuh ... rasanya seperti ada api gairah yang membara dari bawah tubuhnya.

Kulit Easton yang putih memerah hingga ujung telinganya. Sambil memandang kondisi jalan raya yang mulai lenggang di luar jendela, dia mulai merasa tidak sabar. Katanya, "Antar aku ke Kompleks Lazaya."

Selesai mandi, Maggie melakukan panggilan video dengan perawat pribadi ayahnya. Dari layar, dia mengamati kamar pasien mewah tempat ayahnya kini dirawat.

Peggy tidak berhenti memuji, "Bu Maggie, rumah sakit yang kamu cari ini luar biasa sekali. Dokternya datang memeriksa tiga kali sehari. Para perawat juga selalu berpatroli dan rajin mengganti perban. Kalau butuh sesuatu, cukup tekan bel dan mereka langsung datang. Orang-orangnya juga sangat ramah."

"Lihat, luka di kaki ayahmu sudah nggak bernanah lagi, dia juga nggak demam hari ini. Kalau bosan, aku akan mengajaknya ke taman untuk berjemur dan melihat bunga-bunga. Aku bahkan nggak perlu beli makanan. Setiap hari selalu ada yang datang mengantarkan makanan dengan nutrisi seimbang. Bahkan masa nifasku dulu juga nggak senyaman ini. Rasanya benar-benar menikmati hidup," tambah Peggy.

Peggy tiba-tiba terdiam, sadar bahwa dia mungkin telah salah bicara. Dia berucap, "Bu Maggie, aku nggak bermalas-malasan kok, sungguh!"

Peggy telah merawat ayahnya selama bertahun-tahun. Dia selalu bekerja sepenuh hati, tidak pernah bermalas-malasan. Maggie percaya padanya.

Maggie tersenyum, meyakinkan Peggy menggunakan bahasa isyarat untuk tidak khawatir.

[ Nggak apa-apa, aku tahu. Sekarang sudah larut, Bibi istirahatlah lebih awal. Lain hari aku baru mengunjungi Ayah. ]

Tepat setelah panggilan dimatikan, bel pintu berbunyi. Maggie mengira itu adalah pengantar makanan yang baru saja dipesannya. Dia langsung membuka pintu tanpa ragu.

Aroma cendana yang familier langsung tercium di hidung Maggie. Seseorang menariknya ke dalam pelukan, lalu sepasang tangan besar merengkuh kepalanya dari belakang. Ciuman menuntut yang mendarat di bibirnya bahkan lebih intens dari guyuran hujan di luar.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 108

    Owen sengaja mengarahkan balik sindirannya pada pria yang tadi mencoba memecah belah. "Aku bahkan hampir lupa memberi selamat pada Pak Ollie barusan."Kalau pria itu berani menyahut, bukankah sama saja dengan mengakui di depan umum bahwa promosi yang dia dapat adalah hasil "merebut"?Di dalam lift banyak karyawan dari berbagai departemen, tetapi semua memilih bungkam. Mereka hanya saling melempar kode lewat tatapan mata. Pria itu akhirnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya nyengir dengan canggung sebelum kembali terdiam.Maggie baru sadar, pria itu ternyata adalah Ollie, Manager Departemen Pemasaran. Secara teori, memang pesaing langsungnya dalam promosi.Lift turun ke lantai bawah tanah. Mayoritas karyawan sudah keluar di lantai dasar, tersisa hanya beberapa orang saja.Maggie berjalan langsung ke tempat parkirnya dan menekan tombol unlock. Namun, Ollie tiba-tiba mengadang di depan mobilnya dan berkata dengan sinis, "Wah, mobilnya bagus juga ya. Lihat dari fiturnya ini pasti k

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 107

    Keduanya menunggu di depan lift. Di samping mereka ada beberapa rekan kerja dari departemen lain. Setelah saling menyapa singkat, suasana kembali canggung.Ding ....Lift turun ke lantai 15.Jam pulang kantor, lift penuh sesak oleh pegawai bank berseragam. Meski dari departemen berbeda, semua saling menyapa dengan akrab. Maggie menganggukkan kepala satu per satu dengan ramah, hingga akhirnya pandangannya jatuh pada seorang pria yang sedang menatapnya.Karyawan di kantor pusat bank mencapai seribu orang. Maggie jarang sekali ikut kegiatan gathering atau makan malam departemen. Lima tahun ini, dia selalu pintar menghindari berbagai acara sosial.Ada untung ruginya. Untungnya, dia tidak perlu berpura-pura ramah dan tidak perlu menguras energi untuk menjaga hubungan yang tak penting. Dia memiliki banyak ruang pribadi, bisa memakai waktunya untuk mengembangkan diri, bersantai, atau sekadar hiburan.Namun sisi buruknya juga fatal. Masuk tahun kelima bekerja, dia nyaris tidak mengenal siapa p

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 106

    Easton terluka parah, kemungkinan besar acara itu akan ditunda atau bahkan dibatalkan. Bagaimanapun, pesta akhir tahun perusahaan hanyalah acara internal. Yang paling dipedulikan karyawan hanyalah bonus dan tunjangan, ada atau tidaknya seremoni tampaknya tidak sepenting itu.Ternyata Maggie berpikir terlalu jauh. Kamis sore, tepat sebelum jam pulang, Owen tiba-tiba mendorong pintu kantornya. "Kamu nggak lupa, 'kan?"Maggie menoleh padanya dengan wajah penuh tanda tanya. Dia membuka kedua telapak tangan, lalu membaliknya.[ Apa? ]"Gala tahunan Grup Devantara. Aku tahu kamu lagi sibuk menyiapkan sidang promosi, jadi sengaja mengingatkan. Besok pagi kamu nggak perlu ke kantor. Sorenya aku jemput kamu," ujar Owen dengan ramah.Ekspresi Maggie langsung berubah dan buru-buru menggeleng keras.[ Aku sudah pindah rumah, nggak usah repot. Lagi pula aku baru beli mobil kecil buat keperluan sehari-hari, aku bisa datang sendiri. ]Gerakan tangannya cepat. Ekspresinya agak gugup dan bahkan menolak

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 105

    Easton duduk di kursi roda dengan dahi berkerut. Dia menengadahkan kedua tangan dan berkata dengan penuh keluhan, "Apa ini nggak berlebihan? Aku cuma patah tangan, bukan nggak bisa jalan."Kaeso yang mendorong kursi roda itu pun berbisik, "Tadi Bu Intan malah sempat mau minta orang pakai tandu untuk bawa Bapak turun, untung Pak Julian mencegah."Easton menghela napas, "Itu memang gayanya Bu Intan." Dia menoleh ke sekitar untuk mencari sosok Maggie. Wanita itu berjalan sendirian di belakang rombongan. Melihat pemandangan ini membuat dadanya terasa sedikit sesak."Antarkan dia pulang," ucap Easton kemudian dengan nada tidak semangat.Kaeso mengangguk. Dalam hati, dia sangat paham bahwa di keluarga sebesar ini, Maggie tidak akan bisa hidup tenang jika tidak memiliki latar belakang yang sepadan.Sebuah mobil van putih sudah menunggu di depan gedung rawat inap. Easton bangkit dengan wajah menahan sakit. Maggie spontan melangkah maju untuk membantunya, tetapi Devina mengangkat tangan dan men

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 104

    Maggie mengetik di ponselnya.[ Beli makan dan beres-beres itu nggak berat. Sarapan harus dimakan selagi hangat. ]Maggie terlihat sangat terbiasa merawat orang sakit. Easton pun teringat, dia memang punya seorang ayah angkat yang sudah lama sakit. Dari hasil penyelidikan latar belakang, tercatat bahwa setelah umur 17 tahun, Maggie kembali ke orang tua kandungnya, lalu berganti nama menjadi Maggie seperti sekarang.Namun ... bagaimana dengan sebelum 17 tahun itu? Dengan orang tua angkatnya yang berjualan ikan di pasar, kehidupan macam apa yang mereka berikan padanya? Meski hidup penuh kekurangan, Maggie jelas tumbuh dalam kasih sayang.Easton terpaku dalam pikirannya. Sorot matanya saat memandang Maggie pun dipenuhi rasa iba. Tepat saat itu, Kaeso berlari masuk dengan terengah-engah."Gawat, Pak Easton! Berita kecelakaan Bapak nggak bisa ditutupi ... barusan saya lihat di lobi lantai satu ...." Sebelum Kaeso selesai bicara, Hana sudah bergegas masuk dengan bertumpu pada tongkatnya.Eas

  • Pernikahan Dadakan: Gadis Bisu Pemenang Hati Presdir   Bab 103

    Sinar matahari yang menyilaukan menembus ke dalam kamar rawat. Easton refleks mengangkat lengan kiri untuk menutupi wajahnya agar tidak terlalu silau.Rasa nyeri dan pegal di bagian bawah tubuh memaksanya tersadar sepenuhnya. Dia menoleh ke samping, lalu mendapati bahwa ranjang pendamping itu terlihat kosong. Bahkan selimutnya pun sudah dilipat rapi.Dia mencoba bangun, tapi luka di perut membuatnya sama sekali tak bisa bergerak.Easton merasa tidak terima. Nama baiknya tidak boleh sampai tercoreng hanya gara-gara aib "mengompol di ranjang rumah sakit". Dengan tekad itu, dia menggertakkan gigi menahan sakit, lalu menggunakan lengan kirinya untuk menopang tubuh dan berusaha duduk perlahan-lahan.Rasa sakit yang hebat menyerangnya dan membuat keringat dingin bercucuran di dahinya. Urat-urat di lengannya menonjol dengan jelas, menandakan betapa berat perjuangannya.Tiba-tiba Maggie berlari masuk dengan panik. Bubur yang dibawanya tumpah berceceran, tetapi dia tidak sempat memedulikannya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status