Raya menyelami mata sayu dan lelah milik Fajar, tak ada tatapan bercanda dan mengejek seperti biasanya. Tanpa suara, tanpa perdebatan. Semakin lama dia menantang mata itu, hatinya semakin berdesir hebat, ada rasa berbunga-bunga yang tidak bisa dijabarkan bagaimana wujudnya.Raya memutuskan kontak mata lebih dulu, menggelengkan kepalanya dan menunduk menatap lantai kayu yang dilapisi tikar anyaman rotan. Raya bangkit, merapikan baskom berisi air hangat dan memeras handuk basah itu. Kemudian mengangkat mangkok bubur sekalian baskom kecil itu menuju dapur rumah panggung. Semua gerakan itu tidak luput dari pandangan Fajar, bagaimana lengan ramping dan mulus itu terulur membawa dua barang secara bersamaan. Bagaimana rambut indah itu tergerai bebas dan disematkan ke telinga kirinya. Wanita itu, layak di juluki bidadari yang sedang tersesat di Bumi. Belum habis renungan Fajar, Raya kembali muncul di pintu kamar, menutup pintu yang mulai lapuk itu dengan perlahan dan berjalan bimbang ke arah
Entah berapa lama, saat mereka berhenti hanya untuk mengambil nafas. Kemudian melanjutkan lagi dengan cara yang lebih manis dan indah. Raya menempelkan keningnya pada kening Fajar, menetralkan detak jantungnya yang menggila.Ringisan Fajar menyadarkannya, bahwa memadu kasih tidak tepat saat ini. Suaminya itu baru saja selamat dari maut."Apa aku menyakitimu?" tanya Raya cemas. Mengamati wajah Fajar yang terssenyum hangat. Laki-laki itu menggeleng, tadi lukanya sempat tertekan ke bantal karena Raya menumpukan badannya ke tubuhnya, hal itu membuat luka itu terasa nyeri kembali."Kau baik-baik saja?" Raya mengusap pipi Fajar berlahan, menikmati kasarnya bakal janggut yang belum sempat dicukur."Aku sangat baik.""Syukurlah." Raya mengehela nafas lega, saat Raya menjauh, Fajar menahan pergelangan tangannya."Jangan menjauh, tetaplah di sini." Fajar menunjuk dadanya. Raya mengamati wajah Fajar, tidak ada jaminan baginya untuk tidak melakukan apa apa dengan laki-laki itu jika mereka terus s
Raya belum mengedipkan matanya, lalu dengan susuah payah dia menelan air liurnya sendiri. Diikuti oleh matanya yang mengerjap tidak fokus. "Hmmm ... kita, sedang di kampung, tidak ada hotel di sini." Suara Raya nyaris berisik. Fajar menghela nafasnya, membuangnya kemudian. Ini masih terlalu pagi untuk berfikir ke arah situ. "Kau merindukanku? Kau menginginkannya juga?" Pancing Fajar. Raya meremas jari-jarinya sendiri. Kemudian mengangkat wajah putus asanya, tentu saja dia sangat merindukan laki-laki itu. Hubungan tempat tidur adalah ke istimewaan yang paling indah yang dia dapatkan dari suaminya itu.Raya akhirnya mengangguk, mengabaikan rona merah yang menjalar di pipinya. Fajar tersenyum sumringah, baru kali ini Raya jujur dengan dirinya."Sepertinya kita harus bersabar dulu," kata Fajar mengelus lengan Raya, dia melihat bulu-bulu halus di lengan itu meremang."Mendekatlah, Raya!""Eh?"Raya kembali kebingungan, entah apa yang terjadi padanya saat ini, bunga bunga itu terus saja be
Raya menahan nafasnya sendiri, tatapan itu , dengan lancangnya seperti mengaduk-aduk perutnya. Fajar belum memutuskan kontak mata dan meminta jawaban serta persetujuan dari Raya. Gadis itu sudah gelisah dengan rona merah menjalar ke pipi hingga telinganya."Hmmm? apa tidak apa-apa, jika...,""Aku rasa tidak apa-apa, Raya.""Bagaiamana kalau...," Raya memutuskan kalimat saat pintu di ketuk perlahan. Disusul dengan Mak Wo yang masuk tergesa-gesa. Dua manusia yang siap untuk berlayar itu terkulai tak berdaya dengan bahu merosot. Apa lagi Fajar. Wajahnya langsung kuyu dan kecewa."Kok pulang lagi, Mak?" Ada nada kurang terima dari suara Fajar kerena mak wo menggagalkan rencananya."Sakit kaki mak kambuh lagi, Pak Wo sudah melarang, tapi mak bosan hanya duduk-duduk di rumah," jawab wanita tua itu sambil memungut minyak gosok dan membalurkannya ke betisnya, minyak gosok yang tercium seperti bau sereh."Mak harus banyak istirahat," lanjut Fajar, dia bersumpah, ini sudah tidak bisa ditahan la
Fajar menyambut Raya dengan tidak siap sehingga mereka sama-sama tercebur kembali ke dalam air sungai, beberapa saat kemudian kepala mereka muncul. Raya menarik tangan Fajar ke tepian, yang diikuti oleh pria itu dengan wajah sedikit bingung.Mereka kembali duduk di batu besar, tanpa Raya melepaskan genggaman tangannya. Gadis yang dasternya sudah basah kuyup itu melempar senyum manisnya pada pada Fajar dan di balas oleh pria itu dengan tertegun tidak percaya. Raya bertingkah sangat manis, persis seperti awal mereka bertemu saat Raya amnesia."Raya," lirih Fajar, yang dipanggil hanya memberikan kode dengan anggukan kecilnya. "Kau baik-baik saja?" Fajar menyelidiki dengan mata menyipit."Apa aku terlihat sakit saat ini?" jawab Raya sambil mengibaskan rambutnya."Aku agak heran dengan sikap manismu, apa lagi pelukan tidak terduga yang baru saja aku dapatkan. Itu tidak sepertimu, Raya.""Terus?" pancing Raya."Hmmm, tidak, aku hanya senang jika kau begini."Raya tidak menjawab, namun dia
Malam yang temaram, pekat malam tanpa bulan dengan kamar yang diterangi lampu lima watt. Dua manusia yang dimabuk cinta saling mereguk dahaga yang tak terpuaskan. Saling memberi dan menerima, menikmati ibadah terindah yang penuh pahala. Ibadah luar biasa di tutup dengan tertidur pulasnya Raya dan Fajar setelah itu. Kali ini rasanya berbeda, mungkin karena Raya tak lagi melakukannya dengan setengah hati. Ibadah kali ini sangat berkesan bagi keduanya, penuh cinta dan kelembutan. Setiap detik berjalan khusyuk dan indah.*****Setelah mandi jam lima subuh, Raya langsung menemani Mak Wo ke dapur. Kali ini dia tak ingin lagi membuat teh manis yang gagal, dia bertanya tanpa malu pada Mak Wo bagaimana cara menakar gula untuk segelas teh manis. Sangat mudah, tapi sulit bagi Raya. Dia baru menyadari, bahwa dirinya tak memiliki kemampuan apa-apa untuk melayani suami dalam urusan perut. Jangankan memasak yang enak, segelas teh manis yang bagi sebagian besar orang sangat sepele, malah sulit bagin
Angin sepoi-sepoi meniup dan mempermainkan rambut Raya yang sehalus sutra. Sebagian menutupi wajahnya sehingga dengan refleks jari -jari yang baru belajar memegang alat- alat dapur itu merapikan dan menyelipkannya di belakang telinga.Matanya awas mengamati sang suami yang bekerja dengan beberapa orang pria dewasa lainnya, menggunakan alat kusus dari besi untuk mencongkel batu yang masih tertanam di dalam pasir sungai. Sesekali Fajar mencuri pandang pada istrinya yang duduk manis di sebuah saung yang tak jauh darinya.Raya persis seperti istri yang diidamkannya. Walaupun terlahir sebagai anak manja, tapi karena cintanya, dia merelakan tangan halusnya belajar memasak untuk menyenangkan Fajar.Fajar masih ingat, bagaimana putus asanya Raya saat dia tidak berhasil memecahkan telur tanpa merusak kuningnya. Gadis itu hampir menangis, niat hati akan membuatkan telur mata sapi, tapi memecahkan telur saja tidak bisa."Ini sudah yang kedua puluh butir, tapi aku bahkan belum berhasil...." Raya
Raya berlari ke pintu keluar saat dia mendengar Fajar mengetok pintu beberapa kali. Dia sempat tertidur sejenak, setelah selesai bersih-bersih dan memasak ala kadarnya. Dia cukup puas dengan hasil masakannya kali ini, setidaknya rasanya sudah mulai ada kemajuan. Cuma masakan sederhana, goreng ikan Nila balado di tambah dengan sayur kangkung. Raya merapikan rambutnya, menghela nafas lalu membuka pintu perlahan. Fajar tersenyum lembut, mengusap pipi istrinya lalu mengecup kening putih itu sekilas. "Aku belum mandi, bau." Fajar mengendus dirinya. Raya tidak setuju jika Fajar mengatakan dirinya bau, laki-laki itu tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak enak, kalaupum berkeringat, maka yang menguar adalah aroma cologn khas yang digunakannya.Raya berniat memeluk, namun karena Fajar mengurai pelukan lebih dulu, dia mengurungkan niatnya. "Mandilah! Setelah itu kita makan siang." Raya memberikan handuk pada suaminya. Fajar meraih handuk itu lalu masuk ke dalam kamar mandi.Sambil menunggu