"Apa lagi yang ingin aku beli?"
Wanita itu menimang kartu kredit yang berada di tangan kirinya. Tiga paper bag berukuran sedang berada di tangan kanannya, masih ada barang yang ia beli. Terlebih suaminya tidak memberatkan untuknya membeli barang apa pun yang diinginkan, meski demikian ia hanya memakai kartu tersebut seperlunya saja.Linggar, merasa butuh me time setelah banyak masalah yang menerpa. Ia tak ingin terus terpaku pada keadaan, perlahan bangkit dan melupakan kenangan pahit itu jauh-jauh. Tidak ada keuntungan yang dapat ia dulang."Lama tidak merasakan jalan-jalan dan menikmati waktu sendiri. Tidak buruk juga. Pikiran dan hati juga terasa lebih tenang," ucap Linggar.Kartu tersebut kembali ia masukkan ke dalam tas hitam kecil yang menjadi penunjang penampilannya. Memakai gaun di atas lutut berwarna merah muda dengan motif bunga sakura, rambut hitam terurai menjuntai dengan ikal di ujung. Sepatu kets berwarna senada dengan tasnya dan tidak lupa jam tangan melingkar di tangan kiri.Riasan wajah sederhana dan tipis, aura cantik natural terpancar dari Linggar. Tidak salah bila banyak wanita di luar sana merasa iri akan kecantikan yang dimiliki, sebab berhasil menarik perhatian lawan jenis tanpa harus banyak tingkah yang dilakukan. Malah selama ini Linggar selalu cuek dan acuh akan pria yang mendekati, ia selalu menanamkan dalam hatinya tetap setia apa pun keadaan pasangan.Tak dinyana, malah pasangan Linggar yang banyak tingkah hingga membuat luka baru cukup dalam. Padahal bayangan di pikiran Linggar, ia akan bahagia bersama pria pujaannya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya."Selain barang pernak-pernik buat hiasan di rumah, aku juga harus beli beberapa perabotan yang lain. Mas Pram mana mungkin ada pikiran untuk menghias rumah menjadi lebih nyaman." Linggar menyunggingkan senyuman tipis.Terbiasa sendiri ke mana pun Linggar pergi. Pradipta pun sebelumnya tidak selalu menemaninya, pria itu memiliki kesibukan dengan pekerjaannya. Hal ini memudahkan Linggar menjadi pribadi mandiri dan berusaha untuk tidak merepotkan orang lain.Kaki jenjang itu kembali melanjutkan langkah, tatapannya mengamati etalase yang menurutnya menarik di pandangan mata. Linggar ingin membeli beberapa hiasan untuk meja dan juga beberapa sudut ruangan di rumah yang terkesan monoton. Hingga matanya tersihir dengan hiasan keramik berbentuk kucing berwarna hitam dan putih."Lucu sekali," pujinya.Cepat-cepat Linggar masuk ke dalam toko tersebut. Lagi dan lagi matanya seolah terpukau akan pernak-pernik yang sesuai dengan keinginan hatinya. Bibir tipis beroleskan gincu berwarna lembayung ungu pucat tersebut tak henti-hentinya menyunggingkan lengkungan tipis.Tangan Linggar mengambil hiasan kucing tersebut, memasukan ke dalam keranjang belanjaan. Kemudian pandangannya jatuh pada hiasan keramik kuda mengangkat kedua kaki depannya, warna cokelat tua. Tentu saja masuk ke dalam keranjang, ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang tak datang dua kali."Apa lagi ya?" Linggar merengut, ia tampak kebingungan."Semua bagus-bagus, aku jadi bingung harus pilih yang mana." Ia terkekeh kemudian.Samar terdengar nama Linggar disebut-sebut oleh pembeli lain. Rasa penasaran membuncah, membuatnya memutar lehernya ke arah samping. Betapa terkejutnya Linggar, mendapati wanita yang merusak hari bahagianya tengah menatapnya tidak suka. Buru-buru Linggar memalingkan wajahnya. Ia merasa apes harus berurusan dengan kakak sepupunya. Rasa hatinya ingin mengambil langkah seribu, tidak siap bila harus bertemu. Hatinya masih terasa berdenyut nyeri luar biasa. "Dik Enggar." Gendhis memanggil saat Linggar baru satu langkah ingin meninggalkan tempat.Mau tak mau Linggar menghentikan langkahnya, kemudian menoleh. Senyuman yang tersungging di bibir terasa terpaksa. Gendhis menatap Linggar begitu sinis, tatapannya begitu menyipit. Di sampingnya terdapat mantan kekasih Linggar, memasang wajah sumringah."Mbak Gendhis, ada apa?" Linggar menjawab santai. "Kamu belanja ya?" Tatapan Gendhis beralih ke keranjang belanjaan yang menggantung di tangan Linggar.Linggar mengangguk. "Iya, Mbak. Rumah masih kosong, butuh hiasan.""Kok kamu sendirian, Dik Enggar? Ke mana Mas Pramudita?" Gendhis tersenyum mengejek, bahkan ia sengaja merapatkan tubuhnya ke Pradipta.Tangan Gendhis menggandeng lengan Pradipta, bahkan kepalanya beberapa kali disandarkan ke bahu pria tersebut. Berusaha untuk membuat Linggar merasa cemburu. Padahal tidak ada secuil rasa marah atau cemburu yang bersarang di hati Linggar. Malah merasa risih melihat kedetakan mereka yang membuktikan cukup kuat pengkhianatan mereka selama ini."Kebetulan Mas Pram ada kerjaan hari ini, Mbak, jadi tidak bisa menemani." Linggar mengakhirinya dengan senyuman."Oh iya? Kamu kasihan sekali sih, Dik. Padahal pamali loh pengantin baru keluar sendirian. Kamu nggak takut kenapa-napa di jalan? Atau...," ucap Gendhis menggantung.Senyuman miring terbit, Gendhis melanjutkan, "Hubungan kamu dan Mas Pram sedang tidak baik-baik saja ya? Secara kamu dan Mas Pram menikah secara mendadak dan tidak pernah mengenal sebelumnya."Linggar mengembuskan napas panjang. "Masalah kami adalah urusan aku dan Mas Pram, Mbak. Lagi pula selagi aku bisa sendiri, mengapa harus mengganggu kesibukan orang lain? Mas Pram sibuk untuk masa depan kami, mencari nafkah. Dan aku sebagai istri tahu kesibukan suamiku, meski aku dan Mas Pram baru mengenal beberapa hari." "Menjadi perempuan mandiri itu perlu, Mbak, agar kita tidak terbiasa bergantung dengan orang lain. Saat dalam hal genting, kita dapat menyelesaikan masalah sendiri. Dan aku yakin bila memang Mas Pram bisa menemani, aku yakin pasti hari ini berada di sampingku."Rasanya kepulan asap keluar dari kedua telinga Gendhis mendengarkan jawaban dari Linggar. Adik sepupunya itu sama sekali tidak menyerah, bahkan terus menyindir dengan halus. Ia merasa bila Linggar tidak ikhlas melihat Pradipta telah terikat pernikahan dengan dirinya."Kalau namanya pengantin baru, ke mana-mana harus ditemani. Waktu seperti ini adalah waktu terbaik untuk kami saling berbagi dan mengenal satu sama lain lebih dalam." Gendhis mengusap lengan Pradipta, membuat pria tersebut merasa risih.Tidak ambil pusing, Linggar ingin meninggalkan mereka. Meladeni Gendhis hanya akan membuat tekanan darahnya semakin merangkak naik. Wanita itu memang memiliki kepiawaian menyudutkan lawan bicaranya, hal ini membuat Linggar sedikit membatasi diri dengan Gendhis."Nikah baru umur sejagung, tapi kok seperti berada di ujung tanduk ya?" Gendhis tertawa kecil dengan menutup bibirnya. Linggar menatap tajam dengan wajah datar. Semakin diam, malah membuat wanita itu semakin berani menginjak-injak sesuka hati. Padahal mati-matian Linggar menjaga lisannya untuk tidak memberikan makian pada Gendhis. Hanya saja kakak sepupunya tersebut tidak ingin melihat Linggar hanya diam, tanpa sepatah kata. Tabiatnya suka mengusik dan mencari keributan, berani menyenggol terlebih dahulu."Aku yakin loh, Dik, pernikahanmu dan Mas Pram itu tidak bertahan lama. Sekarang saja baru menikah, kamu dibiarkan pergi sendirian. Tega sekali suamimu. Lihat dong suami aku, Dik, tidak ingin istrinya kenapa-napa." Gendhis tersenyum dengan memandang wajah Pradipta."Wajar bila kami tidak terlihat akur, Mbak. Aku dan Mas Pram memiliki kesibukan masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan. Dan juga sebelumnya kami tidak saling mengenal satu sama lain, pernikahan kami dilaksanakan secara mendadak, bukan kehendak kami dari hati."Tatapan Linggar bak elang, seperti siap menguliti lawan bciaranya secara hidup-hidup. "Tapi, Mbak Gendhis tidak berhak menilai bila pernikahan kami berada di ujung tanduk. Aku dan Mas Pram sedang berusaha mengenal satu sama lain. Kami masih butuh penyesuaian untuk mencari kenyamanan. Berbeda dengan yang sudah berhubungan lama di belakang, tentu tidak butuh pengenalan kembali."Rasanya seperti kebakaran jenggot, wajah Gendhis berubah menjadi merah padam. Ia tidak suka dengan ucapan Linggar yang selalu menyudutkan posisinya. Tatapannya seolah meminta pembelaan dari sang suami yang hanya diam di sampingnya."Kita pulang saja," ucap Pradipta.Gendhis memajukan bibirnya. "Kok pulang sih, Mas?""Kamu jangan terlalu capek, Sayang. Aku tidak mau kamu nanti kelelahan," ucap Pradipta kemudian memberikan kecupan manja di dahi Gendhis.Tidak habis pikir, secara terang-terangan mereka memang menunjukkan seluruh hal yang sudah ditutupi selama ini di belakang Linggar. Hati Linggar tidak hentinya mengucap syukur, dapat terlepas dari pria yang suka bermain wanita lain di belakangnya.Gendhis mencuri pandangan, rasanya puas berhasil memamerkan kemesraannya dengan Pradipta di depan Linggar. Ia ingin memberikan pengertian bila Pradipta memang mencintainya begitu sangat."Bagaimana, Dik Enggar, apa kamu mendapatkan semua ini dari Mas Pram?" Pradipta tersenyum miring, membuat Linggar mengerti maksud dari mantan kekasihnya tersebut.Halo, terima kasih sudah membaca. Jangan lupa share dan berlangganan ya!
Tatapan Linggar tertuju pada lampu rumah yang telah menyala keseluruhan. Ia menduga bila suaminya pulang lebih awal ketimbang dirinya. Padahal pria itu pamit akan pulang malam, namun pukul tujuh sudah sampai di rumah. Kok Mas Pram sudah pulang? Katanya tadi akan pulang malam, tapi jam tujuh sudah sampai di rumah. Mas Pram marah tidak ya? Linggar membatin dengan jantung berdetak kencang, was-was bila pria itu akan marah besar. Perlahan tangan Linggar memutar knop pintu, membuka pintu dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Hawa dingin langsung menyapu kulitnya, entah perasaannya atau memang seperti itu adanya, suhu ruang tamu mendadak merayap turun. "Kamu dari mana?" Suara berat itu mengejutkan langkah Linggar, jantung terasa berhenti, darahnya mendadak panas. Pelan-pelan lehernya menoleh, menatap pria yang berdiri di dekat jendela dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapannya tajam dengan rahang mengeras. Linggar tak memiliki keberanian untuk menatap kedua mata P
"Yang terpenting aku sudah minta izin dengan Mas Pram." Linggar tersenyum kecil, kala kakinya melangkah masuk ke dalam restoran tempat yang sudah dijanjikan oleh temannya. Aku sudah sampai, Enggar. Aku tunggu di meja nomor delapan belas ya, sesuai dengan meja kesukaanmu dahulu. Pesan itu masuk tadi pagi sebelum Linggar berangkat, membuat senyuman terangkat di bibirnya. Bahkan ia menjadi perempuan paling bahagia, hal sekecil itu berhasil diingat oleh orang yang pernah dekat di masa lalu. Restoran Kenangan, menjadi pilihan. Seperti namanya, di sana memiliki segudang kenangan yang terus ingin Linggar putar di dalam memorinya. Tidak sedikit saja keinginan untuk melupakan. Setiap kali datang ke sana, rasanya ia seperti bernostalgia, meski sudah tidak bersama. "Kenapa jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap ke sini? Aku tidak mengerti, mengapa setiap sudut restoran ini memiliki kenangan yang terus melekat di dalam kepalaku?" Wajah Linggar berseri-seri, kebahagiaan tera
Tak banyak perbedaan dari hari sebelumnya. Linggar kembali termenung di meja makan, menunggu sang suami turun dari lantai dua. Minggu pagi, tentu mereka akan menghabiskan waktu seharian penuh di rumah tersebut. Pikiran Linggar banyak merancang hal-hal menarik yang mungkin dapat ia dan suaminya lakukan. "Mungkin aku bisa mengajak Mas Pram menata taman belakang," ujar Linggar, kemudian kepalanya menggeleng. "Tidak, jangan itu. Aku yakin Mas Pram mudah merasa bosan. Lebih baik aku mencari hal lain saja." Linggar tidak ingin menyia-nyiakan sedikit saja waktunya bersama Pramudita. Terlebih mereka tidak memiliki waktu berkualitas yang dihabiskan bersama, untuk membahas tentang keduanya. Hal ini membuat Linggar sadar akan pentingnya saling mengenal satu sama lain, meski Pramudita masih terkesan menutup diri. Tidak ada hal yang tidak mungkin. Linggar yakin bila lambat laun, Pramudita akan menjadi lunak dan luluh akan kehadirannya. Dan juga berharap pria tersebut dapat kembali menjadi pria
Wajah Pramudita tidak bersahabat, mulai dari semalam ia memilih diam di ruangan kerjanya. Bahkan tidak peduli akan gangguan yang terus dilakukan oleh Linggar untuknya. Setelah berhasil keluar dari kurungan, wanita tersebut semakin berani bertindak. Terus mengganggu ketenangan Pramudita. Hingga pagi ini pun tercatat lebih dari dua puluh kali wanita tersebut bolak-balik di depan pintu ruangan Pramudita. Pria tersebut enggan untuk keluar sekadar bertanya, membiarkan saja. Hatinya masih dongkol dengan ulah Linggar, terlalu berani mengenakan baju pendek di hadapannya. "Sudah waktunya berangkat ke kantor," ucap Pramudita. Beberapa barang penting telah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Ia tidak ingin ada yang tertinggal, meski satu barang. Sisanya pagi ini kembali ia periksa, kemudian menambahkan kekurangannya. Langkah kakinya terhenti kala ponsel berada digenggaman bergetar. Awalnya tak dihiraukan, lama-lama pesan yang masuk tidak hanya satu. Membuat Pramudita mejadi penasaran, tak
"Kamu tidak akan bisa lari dariku," ucap Pradipta kemudian mengantongi gawainya.Seluruh hal yang keluar dari bibirnya tidak hanya sebatas gertakan semata, Pradipta bersungguh-sungguh. Dianggap sepele oleh lawan bicaranya, sang mantan kekasih yang kini menjadi kakak iparnya."Dik Enggar, aku tidak pernah berbohong dengan semua ucapanku. Kenapa kamu selalu menganggap enteng ucapanku? Apa selama ini kamu selalu memandang aku sebelah mata?" Pradipta tersenyum miring, kemudian menggigit kukunya."Dari awal aku sudah baik memberikan penawaran untukmu, sayang sekali kamu selalu meremehkan aku. Ini adalah akibatnya kamu tidak mempertimbangkan penawaran yang sudah aku ajukan," lanjut Pradipta dengan meremas tangannya.Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Lagi pula ini yang aku inginkan dari hubungan kamu dan Mas Pram, Dik Enggar. Setelah kalian berpisah, maka aku akan memutuskan untuk bercerai. Aku akan membawamu kembali ke dalam pelukanku.""Aku yakin Mas Pram tidak mungk
Semenjak kedatangan Pramudita di ruangannya hingga waktu menginjak petang, tidak ada tanda-tanda ingin keluar dari tempat tersebut. Bahkan ruangan itu tampak sepi, seolah tidak ada penghuninya. Hal ini membuat beberapa karyawan segan untuk mengganggu pria tersebut, bila bukan karena urusan mendesak. Pria dua puluh tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, menimang antara masuk atau tidak. Menurut informasi yang ia dapatkan, kakaknya seharian tidak keluar dari ruangan tersebut. Membuat hatinya penuh tanya dan juga penasaran. Jika aku tidak masuk sekarang, aku tidak akan pernah tahu hal apa yang sedang terjadi di antara Mas Pram dan Linggar. Aku yakin sekali hubungan mereka tengah di ujung tanduk. Bukankah ini menjadi kesempatan emas untuk aku kembali memperjuangkan Linggar? Pradipta membatin dengan tersenyum sinis. Tangan kirinya memutar gagang pintu, tidak peduli salam ataupun mengetuk pintu terlebih dahulu. Pradipta berjalan ke arah meja kerja Pramudita. Pria itu tengah membelakangi
"Semoga kamu suka," ucap Pramudita dengan menatap sekotak donat cokelat di tangan kanannya dan seikat bunga mawar merah di tangan kiri. Sudut bibir Pramudita berkedut, menimbulkan seutas senyuman tipis. Ia membayangkan bila wanita itu tersenyum bahagia mendapat kejutan kecil yang diberikan. Terlebih baru kali ini Pramudita memberikan hadiah untuk Linggar semenjak mereka menikah. Menurut artikel yang sempat ia baca, wanita sangat menyukai hadiah kecil. Tidak peduli akan harganya. Wanita melihat bagaimana usaha dan niat besar seorang pria untuk memberikan hadiah tersebut. Bahkan hanya dibelikan sebuah makanan ringan kesukaannya pun membuat mereka bahagia. Wanita senang bila hal kecil dari mereka diperhatikan oleh pasangan. Mereka merasa sangat dicintai dan disayangi. Hal ini dimanfaatkan oleh Pramudita untuk bisa membuat hubungannya dengan Linggar menjadi lebih baik. Ia ingin meminta maaf ke wanita tersebut, terlebih tadi pagi telah berbuat kasar. Hatinya merasa tidak enak dengan Lin
"Bapak?" Dengan sopan, Linggar mencium tangan mertuanya tersebut. Sebisa mungkin ia menutupi wajah sembab, bahkan senyuman tidak luntur dari bibirnya. Menyampingkan sejenak masalah tentang dirinya dan suaminya. "Bagaimana kabarmu, Nduk? Maaf bapak baru bisa ke sini sekarang," ucap Juwanto. Linggar berada di belakang, membuntuti langkah sang mertua. Ia menatap meja makan, terbesit di dalam pikirannya untuk mengajak Juwanto makan malam di rumahnya. Makanan sebanyak itu tidak mungkin habis bila ia makan sendirian. "Ke mana Pramudita, Nggar? Mobilnya sudah ada di depan. Dia sudah pulang, 'kan?" Juwanto menatap tangga yang terlihat lenggang, kemudian menoleh ke arah Linggar. "Masih di atas, Pak. Baru saja sampai di rumah," jawab Linggar. "Oh iya, bapak mau minum apa?" Juwanto duduk di ruang tamu, kepalanya menggeleng. "Bapak sudah terlalu banyak minum kopi hari ini, Nggar. Tidak usah dibuatkan sesuatu. Kamu jangan terlalu repot-repot." "Bapak dari mana atau mau ke mana?" Linggar ber