Share

Bab 7 Tak Sengaja Bertemu

"Apa lagi yang ingin aku beli?" 

Wanita itu menimang kartu kredit yang berada di tangan kirinya. Tiga paper bag berukuran sedang berada di tangan kanannya, masih ada barang yang ia beli. Terlebih suaminya tidak memberatkan untuknya membeli barang apa pun yang diinginkan, meski demikian ia hanya memakai kartu tersebut seperlunya saja.

Linggar, merasa butuh me time setelah banyak masalah yang menerpa. Ia tak ingin terus terpaku pada keadaan, perlahan bangkit dan melupakan kenangan pahit itu jauh-jauh. Tidak ada keuntungan yang dapat ia dulang.

"Lama tidak merasakan jalan-jalan dan menikmati waktu sendiri. Tidak buruk juga. Pikiran dan hati juga terasa lebih tenang," ucap Linggar.

Kartu tersebut kembali ia masukkan ke dalam tas hitam kecil yang menjadi penunjang penampilannya. Memakai gaun di atas lutut berwarna merah muda dengan motif bunga sakura, rambut hitam terurai menjuntai dengan ikal di ujung. Sepatu kets berwarna senada dengan tasnya dan tidak lupa jam tangan melingkar di tangan kiri.

Riasan wajah sederhana dan tipis, aura cantik natural terpancar dari Linggar. Tidak salah bila banyak wanita di luar sana merasa iri akan kecantikan yang dimiliki, sebab berhasil menarik perhatian lawan jenis tanpa harus banyak tingkah yang dilakukan. Malah selama ini Linggar selalu cuek dan acuh akan pria yang mendekati, ia selalu menanamkan dalam hatinya tetap setia apa pun keadaan pasangan.

Tak dinyana, malah pasangan Linggar yang banyak tingkah hingga membuat luka baru cukup dalam. Padahal bayangan di pikiran Linggar, ia akan bahagia bersama pria pujaannya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

"Selain barang pernak-pernik buat hiasan di rumah, aku juga harus beli beberapa perabotan yang lain. Mas Pram mana mungkin ada pikiran untuk menghias rumah menjadi lebih nyaman." Linggar menyunggingkan senyuman tipis.

Terbiasa sendiri ke mana pun Linggar pergi. Pradipta pun sebelumnya tidak selalu menemaninya, pria itu memiliki kesibukan dengan pekerjaannya. Hal ini memudahkan Linggar menjadi pribadi mandiri dan berusaha untuk tidak merepotkan orang lain.

Kaki jenjang itu kembali melanjutkan langkah, tatapannya mengamati etalase yang menurutnya menarik di pandangan mata. Linggar ingin membeli beberapa hiasan untuk meja dan juga beberapa sudut ruangan di rumah yang terkesan monoton. Hingga matanya tersihir dengan hiasan keramik berbentuk kucing berwarna hitam dan putih.

"Lucu sekali," pujinya.

Cepat-cepat Linggar masuk ke dalam toko tersebut. Lagi dan lagi matanya seolah terpukau akan pernak-pernik yang sesuai dengan keinginan hatinya. Bibir tipis beroleskan gincu berwarna lembayung ungu pucat tersebut tak henti-hentinya menyunggingkan lengkungan tipis.

Tangan Linggar mengambil hiasan kucing tersebut, memasukan ke dalam keranjang belanjaan. Kemudian pandangannya jatuh pada hiasan keramik kuda mengangkat kedua kaki depannya, warna cokelat tua. Tentu saja masuk ke dalam keranjang, ia tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang tak datang dua kali.

"Apa lagi ya?" Linggar merengut, ia tampak kebingungan.

"Semua bagus-bagus, aku jadi bingung harus pilih yang mana." Ia terkekeh kemudian.

Samar terdengar nama Linggar disebut-sebut oleh pembeli lain. Rasa penasaran membuncah, membuatnya memutar lehernya ke arah samping. Betapa terkejutnya Linggar, mendapati wanita yang merusak hari bahagianya tengah menatapnya tidak suka. 

Buru-buru Linggar memalingkan wajahnya. Ia merasa apes harus berurusan dengan kakak sepupunya. Rasa hatinya ingin mengambil langkah seribu, tidak siap bila harus bertemu. Hatinya masih terasa berdenyut nyeri luar biasa. 

"Dik Enggar." Gendhis memanggil saat Linggar baru satu langkah ingin meninggalkan tempat.

Mau tak mau Linggar menghentikan langkahnya, kemudian menoleh. Senyuman yang tersungging di bibir terasa terpaksa. Gendhis menatap Linggar begitu sinis, tatapannya begitu menyipit. Di sampingnya terdapat mantan kekasih Linggar, memasang wajah sumringah.

"Mbak Gendhis, ada apa?" Linggar menjawab santai. 

"Kamu belanja ya?" Tatapan Gendhis beralih ke keranjang belanjaan yang menggantung di tangan Linggar.

Linggar mengangguk. "Iya, Mbak. Rumah masih kosong, butuh hiasan."

"Kok kamu sendirian, Dik Enggar? Ke mana Mas Pramudita?" Gendhis tersenyum mengejek, bahkan ia sengaja merapatkan tubuhnya ke Pradipta.

Tangan Gendhis menggandeng lengan Pradipta, bahkan kepalanya beberapa kali disandarkan ke bahu pria tersebut. Berusaha untuk membuat Linggar merasa cemburu. Padahal tidak ada secuil rasa marah atau cemburu yang bersarang di hati Linggar. Malah merasa risih melihat kedetakan mereka yang membuktikan cukup kuat pengkhianatan mereka selama ini.

"Kebetulan Mas Pram ada kerjaan hari ini, Mbak, jadi tidak bisa menemani." Linggar mengakhirinya dengan senyuman.

"Oh iya? Kamu kasihan sekali sih, Dik. Padahal pamali loh pengantin baru keluar sendirian. Kamu nggak takut kenapa-napa di jalan? Atau...," ucap Gendhis menggantung.

Senyuman miring terbit, Gendhis melanjutkan, "Hubungan kamu dan Mas Pram sedang tidak baik-baik saja ya? Secara kamu dan Mas Pram menikah secara mendadak dan tidak pernah mengenal sebelumnya."

Linggar mengembuskan napas panjang. "Masalah kami adalah urusan aku dan Mas Pram, Mbak. Lagi pula selagi aku bisa sendiri, mengapa harus mengganggu kesibukan orang lain? Mas Pram sibuk untuk masa depan kami, mencari nafkah. Dan aku sebagai istri tahu kesibukan suamiku, meski aku dan Mas Pram baru mengenal beberapa hari." 

"Menjadi perempuan mandiri itu perlu, Mbak, agar kita tidak terbiasa bergantung dengan orang lain. Saat dalam hal genting, kita dapat menyelesaikan masalah sendiri. Dan aku yakin bila memang Mas Pram bisa menemani, aku yakin pasti hari ini berada di sampingku."

Rasanya kepulan asap keluar dari kedua telinga Gendhis mendengarkan jawaban dari Linggar. Adik sepupunya itu sama sekali tidak menyerah, bahkan terus menyindir dengan halus. Ia merasa bila Linggar tidak ikhlas melihat Pradipta telah terikat pernikahan dengan dirinya.

"Kalau namanya pengantin baru, ke mana-mana harus ditemani. Waktu seperti ini adalah waktu terbaik untuk kami saling berbagi dan mengenal satu sama lain lebih dalam." Gendhis mengusap lengan Pradipta, membuat pria tersebut merasa risih.

Tidak ambil pusing, Linggar ingin meninggalkan mereka. Meladeni Gendhis hanya akan membuat tekanan darahnya semakin merangkak naik. Wanita itu memang memiliki kepiawaian menyudutkan lawan bicaranya, hal ini membuat Linggar sedikit membatasi diri dengan Gendhis.

"Nikah baru umur sejagung, tapi kok seperti berada di ujung tanduk ya?" Gendhis tertawa kecil dengan menutup bibirnya. 

Linggar menatap tajam dengan wajah datar. Semakin diam, malah membuat wanita itu semakin berani menginjak-injak sesuka hati. Padahal mati-matian Linggar menjaga lisannya untuk tidak memberikan makian pada Gendhis. Hanya saja kakak sepupunya tersebut tidak ingin melihat Linggar hanya diam, tanpa sepatah kata. Tabiatnya suka mengusik dan mencari keributan, berani menyenggol terlebih dahulu.

"Aku yakin loh, Dik, pernikahanmu dan Mas Pram itu tidak bertahan lama. Sekarang saja baru menikah, kamu dibiarkan pergi sendirian. Tega sekali suamimu. Lihat dong suami aku, Dik, tidak ingin istrinya kenapa-napa." Gendhis tersenyum dengan memandang wajah Pradipta.

"Wajar bila kami tidak terlihat akur, Mbak. Aku dan Mas Pram memiliki kesibukan masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan. Dan juga sebelumnya kami tidak saling mengenal satu sama lain, pernikahan kami dilaksanakan secara mendadak, bukan kehendak kami dari hati."

Tatapan Linggar bak elang, seperti siap menguliti lawan bciaranya secara hidup-hidup. "Tapi, Mbak Gendhis tidak berhak menilai bila pernikahan kami berada di ujung tanduk. Aku dan Mas Pram sedang berusaha mengenal satu sama lain. Kami masih butuh penyesuaian untuk mencari kenyamanan. Berbeda dengan yang sudah berhubungan lama di belakang, tentu tidak butuh pengenalan kembali."

Rasanya seperti kebakaran jenggot, wajah Gendhis berubah menjadi merah padam. Ia tidak suka dengan ucapan Linggar yang selalu menyudutkan posisinya. Tatapannya seolah meminta pembelaan dari sang suami yang hanya diam di sampingnya.

"Kita pulang saja," ucap Pradipta.

Gendhis memajukan bibirnya. "Kok pulang sih, Mas?"

"Kamu jangan terlalu capek, Sayang. Aku tidak mau kamu nanti kelelahan," ucap Pradipta kemudian memberikan kecupan manja di dahi Gendhis.

Tidak habis pikir, secara terang-terangan mereka memang menunjukkan seluruh hal yang sudah ditutupi selama ini di belakang Linggar. Hati Linggar tidak hentinya mengucap syukur, dapat terlepas dari pria yang suka bermain wanita lain di belakangnya.

Gendhis mencuri pandangan, rasanya puas berhasil memamerkan kemesraannya dengan Pradipta di depan Linggar. Ia ingin memberikan pengertian bila Pradipta memang mencintainya begitu sangat.

"Bagaimana, Dik Enggar, apa kamu mendapatkan semua ini dari Mas Pram?" Pradipta tersenyum miring, membuat Linggar mengerti maksud dari mantan kekasihnya tersebut.

LyonaAdira

Halo, terima kasih sudah membaca. Jangan lupa share dan berlangganan ya!

| 1
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Titin Widyawati
Semangat thor!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status