Pagi hari Viona menghangatkan makanan yang ia beli kemarin untuk sarapan pagi ini. Sepertinya makanan itu tidak tersentuh. Tadi malam ia tidak sempat makan, ketiduran menunggu Damar pulang. Teringat tadi malam, Viona senyum-senyum sendiri. Ia berharap yang tadi malam itu berlanjut, ternyata tamunya nggak pulang-pulang.
"Sarapan, Mas," kata Viona ketika melihat suaminya sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
Damar pun duduk di kursi makan.
"Maaf, ini makanan tadi malam yang aku hangatkan lagi. Sayang kalau nggak dimakan. Atau Mas ingin sarapan yang lain?" tanya Viona.
"Nggak usah, ini saja." Damar pun sarapan apa yang disediakan Viona. Mereka berdua menikmati sarapan. Selesai sarapan, Viona membereskan meja makan.
Mereka pun bersiap untuk berangkat.
"Kamu nggak mau ganti motor? Yang terbaru," kata Damar.
"Nggak usah, Mas. Ini juga masih bisa dipakai kok."
"Atau mau beli mobil?" tanya Damar.
Viona menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Damar heran, ada perempuan yang tidak mau dibelikan mobil.
"Gaji nggak seberapa mau naik mobil terus. Berat diBBM Mas. Lagipula yang darimana untuk membelinya," sahut Viona sambil nyengir.
"Kan ada aku, suamimu. Nanti aku yang membelikannya. Apa uang bulanannya perlu ditambahi?" tanya Damar.
"Nggak usah, ini sudah cukup. Aku berangkat duluan ya, Mas," pamit Viona sambil memakai helm.
"Vio, buka dulu helmnya," pinta Damar.
Viona pun membuka helm yang dipakainya.
Damar mendekati Viona dan mencium bibir Viona. Viona tersipu, kemudian mengambil tisu di tasnya dan membersihkan lipstik yang nempel di bibir Damar.
"Terima kasih," kata Damar sambil mencium pipi Viona.
***
"Mas kayaknya aku kemarin lihat mobil Mas di rumah makan Pondok Hijau," kata Viona ketika mereka sedang duduk di ruang keluarga.
Damar tampak gugup, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia sangat gugup.
"Masa sih? Mungkin sama mobilnya saja. Mobil kayak punyaku itu kan banyak yang punya," kilah Damar.
"Mungkin juga ya? Lagipula nggak mungkin Mas makan sore disana, kan sudah mau pulang."
"Salah lihat kamu tuh," kata Damar dengan senyum yang dipaksakan. Dari tadi Viona mengamati ekspresi wajah Damar yang tampak berubah.
"Lihat saja, Mas. Aku pasti akan mendapatkan bukti lain kalau kamu bermain hati," kata Viona dalam hati.
Damar asyik dengan ponselnya, Viona merasa kesal karena dicuekin. Ia pun sibuk mengutak-atik ponselnya juga.
"Ih jadi pelakor kok bangga," kata Viona sambil menatap ponselnya. Ia sedang melihat video pelakor yang melabrak istri sah.
"Ada apa?" tanya Damar.
"Ini lho Mas, ada pelakor yang melabrak istri sah selingkuhannya. Kalau menurutku, yang salah bukan cuma pelakor saja. Tapi si suami itu yang nggak kuat iman, sampai tergoda perempuan lain. Dengan dalih istrinya nggak pandai merawat diri. Selalu mencari pembenaran atas apa yang dilakukannya." Viona tampak kesal.
"Kok kamu jadi yang emosi?" tanya Damar.
"Gemes banget lihat orang yang berselingkuh. Dengan dalih apapun, berselingkuh itu tidak bisa dibenarkan. Kalau memang sudah tidak suka, kembalikan sang istri pada orang tuanya. Kalau menurut Mas gimana?" tanya Viona.
"No komen."
"Ih, ditanyain kok no komen. Kalau misalnya Mas di posisi laki-laki itu gimana?" cecar Viona.
"Aku nggak mau berandai-andai."
Viona cemberut.
"Aku kan cuma nanya saja, Mas."
"Oh, kamu menuduh aku yang berselingkuh? Begitu?" Damar tampak kesal.
"Enggak. Aku cuma bilang seandainya saja."
"Tapi aku nggak suka kamu ngomong seperti itu. Seolah-olah kamu menuduhku." Sekarang malah Damar yang emosi.
"Nggak suka ya sudah. Aku kan nyinggung siapa-siapa. Ngapain marah-marah. Baperan amat sih." Tentu saja Viona berbohong, karena tujuannya berbicara seperti itu memang untuk menyindir Damar.
Viona pun beranjak dari duduknya.
"Mau ke mana?" tanya Damar.
"Ke kamar."
"Ngapain?" tanya Damar lagi.
"Tidur."
"Nggak disini saja, temenin aku," pinta Damar.
"Malas. Dari tadi dicuekin, sibuk dengan ponselnya. Mending aku tidur." Viona pun melangkahkan kaki menuju ke kamarnya.
Damar hanya terdiam.
"Enakan rebahan kayak gini, dari pada dicuekin," gumam Viona.
Tok…tok…
"Ih, ngapain sih Mas Damar. Gangguin saja," gerutu Viona.
Tok…tok.
"Aku tahu kalau kamu nggak tidur. Buka pintunya." Terdengar suara Damar di depan pintu.
Viona pun dengan malas membuka pintu kamarnya.
"Ada apa Mas?" tanya Viona.
"Kamu marah sama aku?" tanya Damar.
"Enggak."
"Terus kenapa kamu masuk ke kamar, padahal aku hanya duduk sendirian."
"Lho, Mas kan nggak butuh aku. Ngapain aku duduk disitu."
"Kamu mulai lagi ya?" cecar Damar.
"Mulai apa?" Viona mengernyitkan dahi.
"Mulai mengajak berdebat."
"Aku nggak ngajak berdebat kok. Mas, aku tadi duduk disana menemani Mas. Tapi apa yang Mas lakukan? Sibuk dengan ponsel, menganggapku tidak ada. Aku membahas tentang pelakor itu hanya untuk menarik perhatian Mas. Eh, malah Mas marah-marah nggak jelas."
Damar tampak termangu, Viona pun hendak menutup pintu kamarnya. Tapi dicegah oleh Damar. Damar menarik tangan Viona, masuk ke kamar Viona. Mereka berdua duduk ditepi tempat tidur.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Damar.
"Apa juga yang Mas inginkan?" balas Viona.
"Kamu ini ditanya malah sibuk nanya balik."
"Kalau apa maunya aku, belum tentu Mas akan mengabulkannya. Makanya mending aku yang nanya, maunya Mas apa?" Viona menjawab lagi.
Damar hanya diam.
"Mas kalau kita membahas pernikahan kita, selalu mentok. Nggak selesai-selesai, karena ego Mas masih tinggi."
"Kok aku?" tanya Damar.
"Iya, alasan Mas selalu belajar saling mengenal dulu. Tapi Mas sendiri yang suka menjauh dariku. Jujur saja Mas, aku bosan dengan pernikahan ini. Apa sebaiknya kita saling menjauh dulu, saling introspeksi. Siapa tahu dengan menjauh, kamu akan menyadari kalau Mas itu menginginkan aku atau tidak. Mau melanjutkan pernikahan ini atau enggak."
"Apa maksudmu?"
"Aku keluar dari rumah ini, mencari kost. Sampai Mas memutuskan, akan seperti apa rumah tangga kita ini."
Damar hendak berbicara, tapi langsung didahului oleh Viona.
"Jangan bilang, Mas nggak mencintaiku. Bulshit dengan yang namanya cinta. Mas mencintai Marcia, tapi malah ia memilih orang lain. Sama denganku juga. Aku mencintai David, tapi malah ia menghamili sahabatku sendiri." Viona menghela nafasnya, kemudian melanjutkan untuk berbicara lagi.
"Aku nggak tahu, apakah aku memiliki rasa untuk Mas. Tapi, aku tetap menganggap Mas sebagai suamiku. Menjalankan tugasku sebagai istri yang baik, walaupun Mas tidak pernah menganggap itu."
Damar hanya diam mendengarkan kata-kata Viona.
"Silahkan Mas keluar dari kamarku, aku mau istirahat. Menenangkan hati dan pikiranku." Viona berkata dengan sesak di dadanya, menahan tangisan. Ia tidak mau menangis di depan Damar.
"Tidurlah, aku akan menemanimu. Sampai kamu tertidur," kata Damar dengan lembut.
Viona pun membaringkan tubuhnya di tempat tidur, Damar berbaring disebelah Viona. Ia tidur dengan telentang.
"Sini, aku peluk," kata Damar.
Viona pun menggeser tubuhnya dan akhirnya memeluk Damar. Ia tampak meneteskan air mata, Damar dapat merasakan lengannya basah oleh air mata. Tak berapa lama, Viona pun tertidur pulas. Damar tetap membiarkan Viona tidur dipelukannya. Sambil mengusap rambut Viona dan mencium kepala Viona.
"Maafkan aku," bisik Damar. Akhirnya mereka berdua pun tidur.
Damar menjadi bingung dengan situasi seperti ini. Sebenarnya ia sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Viona. Tapi hati kecilnya seperti mengingkarinya. Lagipula kalau Viona keluar di rumah ini akan sangat berbahaya, karena sewaktu-waktu orang tuanya datang kesini, tapi Viona nggak ada. Apa yang akan orang tua Damar dan orang tua Viona lakukan?
Hubungan Damar dan Viona naik turun. Kadang-kadang Damar baik dan menunjukkan perhatiannya. Seolah-olah ia adalah suami yang baik. Tapi terkadang juga Damar cuek bahkan cenderung pemarah. Viona manis berusaha untuk bersabar.Tapi Viona tetap bertekad untuk meluluhkan hati Damar. Ia tidak mau berpisah dengan Damar. Bagi Viona pernikahan itu sangat sakral karena itu ia akan berusaha untuk mempertahankan pernikahan ini. Kecuali nanti kalau ia"Mas, baru pulang, ya? Apa banyak kerjaan?" tanya Viona menyambut kepulangan suaminya dari kerja."Kamu nggak lihat apa, kalau aku baru pulang. Pakai nanya segala," jawab Damar dengan ketus. Viona hanya terdiam, kemudian ia membuatkan kopi untuk suaminya. Ia berusaha untuk tidak menyerah menaklukkan hati suaminya.Damar segera masuk ke kamar dan bersiap untuk mandi. Tak berapa lama Damar sudah selesai mandi dan menuju ke ruang keluarga. "Ini Mas kopinya," tawar Viona."Hmm." Hanya itu jawaban dari Damar, tapi matanya masih terpaku pada layar ponsel
Damar dan Viona akan menghadiri acara pernikahan teman Damar. Viona masih berada di dalam kamar, ia sedang berdandan. Selesai berdandan, Viona keluar dari kamar. Tampak Damar masih asyik bermain ponsel."Ayo, berangkat, Mas," ajak Viona. Damar terpaku menatap Viona yang tampak lain dari biasanya."Kenapa? Nggak suka dengan dandananku ya? Kalau nggak suka, aku akan ganti," kata Viona."Nggak apa-apa," jawab Damar. "Komentar saja, jangan bikin aku penasaran.""Cantik." Singkat, padat dan jelas jawaban yang diucapkan Damar. Viona hanya tersenyum. Ia tahu yang dikatakan Damar itu hanya untuk menyenangkan hatinya saja. Akhirnya mereka berangkat ke pesta yang dilaksanakan pada malam hari, di sebuah gedung.Memasuki gedung, suasana sudah tampak meriah. Berbagai dekorasi indah mewarnai lokasi. "Hai, Bro," sapa Irfan, temannya Damar."Halo juga, kenalin. Ini Viona, istriku," kata Damar."Viona." Viona mengulurkan tangannya."Irfan, ini istriku, Kiara."Viona dan Kiara tampak bersalaman."S
Azan subuh berkumandang, Viona segera beranjak dari tempat tidur untuk melaksanakan salat subuh. Kemudian ia bergegas menuju ke dapur untuk membuat sarapan. Setelah beres ia pun bersiap-siap untuk berangkat ke kantor."Mas, sarapan dulu," kata Viona ketika melihat Damar sudah bersiap-siap mau berangkat ke kantor."Nggak usah. Aku sarapan di kantor saja." Damar pun bergegas berangkat ke kantor. Viona hanya mengelus dada saja mendengar ucapan Damar. Ia segera memasukkan makanan yang tadi ia buat ke dalam tempat makan. Nanti akan dibagikan untuk teman-temannya. Setelah semuanya beres, akhirnya Viona pun berangkat kerja. Ia berangkat menggunakan motor yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Ketika melewati sebuah tempat sarapan yang cukup ramai, ia melihat mobil Damar ada disitu. Sebenarnya ia tidak berniat untuk mampir. Tapi hati kecilnya ingin mampir, ingin melihat reaksi Damar. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mampir dan membeli jajanan."Bismillah," ucap Viona dengan pelan. I
"Apa maksud kamu mendatangi Vio? Aku kan bilang, sabar dulu. Aku masih memikirkan rencana." Damar benar-benar marah pada Mila. Ia takut jika Viona mengadukan semua ini pada orang tuanya. Pasti akan terjadi perang.Mereka bertemu di parkir kantor mereka, Damar sengaja menunggu kedatangan Mila. Mila yang tampak mengenakan pakaian yang cukup ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya itu, hanya tersenyum sinis pada Damar. Dengan lipstik yang merah merekah, ia pun mulai berbicara."Aku hanya ingin melihat istrimu itu seperti apa. Ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku. Pantas saja kamu tidak tertarik dengannya. Dia itu tidak pantas bersanding denganmu," cibir Mila.Damar mengusap kasar wajahnya, ia benar-benar tidak habis pikir dengan cara berpikir Mila. "Kamu tahu akibatnya jika ia mengadu pada orang tuaku? Pasti kamu yang akan disalahkan." Damar berdecak kesal, akhirnya ia meninggalkan Mila dan berjalan menuju ke ruangannya."Hai Bro, kok wajahmu kusut? Nggak dikasih jatah sa
Ceklek! Terdengar suara pintu dibuka."Damar, kamu sengaja menghindariku ya? Kenapa? Apa salahku?" tanya Mila pada Damar. Tanpa basa basi langsung nyerocos.Damar yang ada di ruangan bersama dengan Irfan kaget mendengar ucapan Mila. Irfan pura-pura tidak tahu, ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya."Aku banyak kerjaan," kata Damar, kemudian ia mengalihkan matanya pada berkas-berkas yang ada di mejanya."Dari tadi malam aku telpon kamu nggak diangkat. Apa malam hari juga banyak kerjaan?" selidik Mila."Iya," jawab Damar."Bohong! Tadi malam kamu malah ke mall dengan perempuan udik itu kan?" tanya Mila."Iya. Apa aku salah kalau aku pergi dengan istriku?" Damar balik bertanya pada Mila. Mila yang tidak siap dengan pertanyaan Damar langsung gelagapan."Enggak salah, sih. Tapi kamu seharian nyuekin aku. Aku sedih," kata Mila dengan nada merajuk."Kembali ke ruanganmu, nggak enak kalau ada yang melihat." Damar mengusir Mila."Itu Irfan melihat," kata Mila sambil melirik Irfan.Irfan yang
Viona sedang memasak untuk makan malam. Ia menyiapkannya dengan senang hati dan penuh cinta. Ia merasakan sudah menjadi istri seutuhnya. Selesai memasak ia pun mandi. Menjelang magrib, Damar belum juga pulang. Ia mulai gelisah menantikan kedatangan Damar. Azan magrib berkumandang, Viona melaksanakan salat magrib. Tak lupa mendoakan suaminya semoga baik-baik saja.Berkali-kali Viona menatap jam di dinding dan di ponselnya. Perasaannya menjadi tak menentu. Penantian Viona sepertinya sia-sia. Ia melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akhirnya ia menyerah dengan penantiannya. Makanan yang sudah siap di meja makan, ia tutup dengan tudung saji. Ia pun melangkah menuju ke kamarnya.Hatinya sangat kecewa. Ia sudah bersemangat memasak untuk Damar, tapi Damar tidak memberi kabar sama sekali. Beberapa pesan Viona hanya centang satu. Tak terasa air matanya menetes di pipi. "Aku memang bodoh, mengharapkan orang yang tidak peduli denganku," kata Viona dalam hati.Jam sepuluh malam, D
Minggu pagi, setelah beberes dan menyiapkan makanan untuk suaminya, Viona pun bersiap diri untuk pergi bersama Hana. Ia memang sudah berjanji dengan Hana, mau pergi ke salon. Ia ingin melakukan make over. "Mas, makanan sudah aku siapkan. Aku mau pergi," kata Viona. "Tapi ini hari Minggu, kamu nggak mau di rumah bersamaku?" tanya Damar. "Nggak usah lebay, Mas. Biasanya juga Mas nggak pernah di rumah kalau hari Minggu. Kalaupun di rumah juga nggak peduli denganku. Sebentar lagi Mas juga akan pergi kan?" Viona berkata sambil tersenyum. Kemudian berjalan keluar rumah dan menuju di depan komplek. Hana menjemput Viona di depan komplek perumahan. Hana memang belum tahu kalau Viona sudah menikah. Waktu Viona menikah dilaksanakan di desa asal Viona. Jadi memang tidak mengundang teman-teman Viona. Hana sudah muncul dengan mobil merahnya. Viona pun masuk ke dalam mobil. Hanya sekitar tiga puluh menit perjalanan, sampailah mereka di sebuah salon khusus perempuan. "Halo Mbak Hana," sapa seor
Viona masih berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk ia dan suaminya. Setelah selesai, Viona pun mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Ternyata Damar belum juga tampak di meja makan. Dengan memberanikan diri, akhirnya Viona mengetuk pintu kamar Damar. Tidak ada jawaban dari dalam. Viona pun mencoba untuk membuka pintu kamar.Ceklek!Viona melihat Damar masih tertidur. Kemudian Viona mendekati Damar dan berusaha membangunkannya. "Mas, bangun. Mau kerja nggak?" kata Viona.Belum ada respon dari Damar. "Mas, bangun Mas." Vio memanggil dan mencoba menyentuh badan Damar, ternyata terasa panas di tangan Viona.Vio segera keluar dari kamar Damar dan mengambil obat demam."Mas, bangun dulu. Minum obat ya?" kata Viona.Damar pun menggeliat dan membuka matanya. "Kok kamu ada di kamarku?" tanya Damar."Mas, kamu demam. Minum obat dulu, ya?" kata Viona.Damar pun berusaha duduk. Viona memberikan obat dan air putih pada Damar. Kemudian Damar berbaring lagi. Viona menyelimuti Damar. "Isti