Beranda / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Musim yang Menyimpan Rahasia

Share

Musim yang Menyimpan Rahasia

Penulis: Diko_13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 14:42:09

Musim hujan datang lebih awal tahun itu. Langit sering menggantung abu-abu, dan udara membawa aroma tanah basah yang samar mengingatkan Naira pada masa lalu. Hujan baginya bukan sekadar air yang jatuh dari langit, tapi kenangan yang menetes perlahan — membawa sisa-sisa rasa yang pernah ada, tapi tak pernah benar-benar hilang.

Ia duduk di ruang tamu rumah kecil mereka, di kursi rotan yang sama tempat ia biasa membaca naskah Arga. Di pangkuannya kini terbuka sebuah buku tua, Suara yang Tidak Kembali, cetakan pertama dari karya Arga. Halaman-halamannya sudah mulai menguning, tapi setiap kata masih menyalakan sesuatu di dalam dadanya.

Ketika Arga muncul dari dapur dengan dua cangkir kopi hitam, Naira mengangkat wajah. Senyum hangat muncul di bibirnya, meski matanya sedikit lelah.

“Masih membaca itu?” tanya Arga sambil menyerahkan satu cangkir.

Naira mengangguk. “Kadang aku merasa buku ini bukan hanya milikmu, Arga. Tapi milik semua orang yang pernah kehilangan sesuatu.”

Arga tertawa kecil
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Kembali dari Diam

    Sudah hampir tiga bulan sejak Rani memutuskan untuk tetap di rumah itu.Hari-hari mereka berjalan dengan ritme yang lambat tapi stabil — seperti aliran sungai kecil yang menemukan jalannya sendiri setelah lama tersumbat. Tak ada lagi pertengkaran, tak ada lagi denting pintu yang ditutup terburu-buru. Yang tersisa hanya dua orang yang belajar menghargai kesunyian satu sama lain.Namun pada suatu sore yang lembab, saat angin membawa aroma tanah basah dari kebun belakang, sesuatu yang tak terduga datang — bukan lewat kata, tapi melalui amplop krem yang terselip di bawah pintu.Rani menemukannya ketika sedang menyapu lantai ruang depan. Ia menunduk, mengambil amplop itu dengan ragu. Tak ada nama pengirim, hanya inisial sederhana di pojok kanan bawah: Y.A.Tangannya bergetar ringan. Ia tahu betul inisial itu.Yudha Ardi.Satu nama yang dulu sempat jadi cahaya — sekaligus bayangan.Rani menatap amplop itu lama, lalu berjalan ke dapur. Dimas sedang memperbaiki engsel lemari, dan seperti bias

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Dua Keheningan

    Hari itu langit tampak berat. Awan abu menggantung rendah, seolah enggan bergerak. Udara mengandung aroma tanah yang menunggu hujan.Rani berdiri di depan jendela ruang tamu, memandangi halaman yang mulai berubah warna oleh musim. Lavender yang ditanam Dimas beberapa minggu lalu kini mulai berbunga — kecil, rapuh, tapi wangi.Ia menyesap teh jahe yang sudah mulai dingin. Di belakangnya, terdengar langkah kaki Dimas dari dapur, disusul suara peralatan dapur yang ditata.Sejak beberapa waktu terakhir, mereka mulai menjalani pagi dengan ritme yang tak lagi kaku. Tidak selalu penuh percakapan, tapi ada kehadiran di antara mereka yang terasa cukup.“Pagi ini agak dingin,” ujar Dimas sambil membawa roti panggang di piring kecil.Rani menoleh. “Kau akhirnya belajar membuat sarapan juga?”Dimas tersenyum samar. “Belajar dari kesalahan masa lalu.”“Kau belajar memasak karena rasa bersalah?”“Karena rasa ingin memperbaiki.”Rani terdiam. Di wajah Dimas ada sesuatu yang dulu jarang ia lihat — ke

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Tersisa dari Sebuah Janji

    Pagi datang dengan cahaya pucat.Matahari belum sepenuhnya naik, tapi tirai jendela sudah menampakkan semburat jingga samar. Rani duduk di meja dapur, secangkir kopi hitam di tangan, buku catatan di samping. Di halaman depan tertulis tanggal hari ini — tapi belum ada kata apa pun di bawahnya.Ia menatap halaman kosong itu lama, mendengarkan bunyi langkah Dimas di kamar sebelah. Bunyi sederhana, tapi nyata. Dulu, suara itu sering membuatnya cemas. Kini, entah bagaimana, justru membuat rumah terasa hidup.Dimas muncul dengan rambut berantakan, mengenakan kaus abu dan celana kain. “Kau sudah bangun sepagi ini lagi?”Rani menoleh, tersenyum kecil. “Kau pikir aku bisa tidur lama setelah matahari terbit?”Ia mengangkat bahu. “Kebiasaan lama ternyata tidak berubah.”“Beberapa hal memang tidak perlu diubah,” balas Rani pelan.Ada jeda kecil di antara mereka — jeda yang bukan lagi tentang jarak, tapi tentang kebiasaan menyesuaikan diri dengan kehadiran yang dulu terasa asing.Dimas duduk di se

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Kembali dari Senyap

    Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa seperti berjalan di antara dua musim — belum benar-benar hangat, tapi tidak lagi sedingin dulu.Rani kembali ke rumah. Tidak dengan dentuman langkah penuh emosi, tapi dengan keheningan yang menandakan sesuatu telah berubah. Rumah itu tidak menyambutnya dengan aroma kopi atau suara pintu yang berdecit seperti biasa, tapi dengan keheningan yang berbeda — tenang, tapi hidup.Di meja makan, ada dua cangkir teh.Satu masih mengepul, satu lagi dibiarkan kosong, seolah menunggu isi yang tepat.Dimas sedang menata piring.Ketika Rani masuk, ia menoleh pelan. Tidak ada kata sambutan, tidak ada pelukan — hanya tatapan yang cukup lama untuk mengatakan semua hal yang tak terucap.“Pagi,” ucap Rani, suaranya lembut, sedikit ragu.“Pagi,” jawab Dimas. “Kau belum makan?”Ia menggeleng. “Belum. Aku pikir… aku ingin makan di rumah.”Dimas menunduk, menahan sesuatu di tenggorokan yang hampir ingin keluar tapi tak tahu harus berupa apa. Ia lalu berkata pelan,

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Yang Tertinggal di Meja Sarapan

    Pagi datang tanpa ketukan.Udara dingin menelusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah yang lembap dan sisa embun yang enggan pergi. Dimas terbangun lebih awal dari biasanya, dengan kepala berat dan dada yang terasa sesak entah karena apa. Mungkin karena mimpi yang samar, mungkin karena sesuatu yang ia belum berani akui.Ia bangkit perlahan, meraba sisi ranjang yang dingin.Kosong.Rani sudah tidak di sana.Untuk sesaat, Dimas hanya duduk diam. Matanya menatap dinding tanpa makna, pikirannya berlari ke mana-mana — mengingat malam terakhir mereka, percakapan yang tak selesai, dan diam yang terasa lebih menusuk daripada pertengkaran apa pun.Ia turun ke dapur, dan di sanalah ia melihatnya.Secangkir kopi yang masih hangat.Dan selembar kertas di sampingnya.Huruf-huruf di atas kertas itu dikenalnya dengan sangat baik — tulisan Rani, bersih dan tenang, tapi kali ini terasa seperti luka yang dipahat perlahan.> Dimas,Aku tidak akan pergi. Tapi aku juga tidak akan tinggal dalam diam.

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Antara Janji yang Tak Lagi Dikenal

    Pagi itu turun dengan perlahan, seperti seseorang yang ragu-ragu ingin datang.Cahaya matahari menerobos tirai kamar, menimpa wajah Rani yang masih terpejam. Di sisi ranjang, jam dinding menunjukkan pukul enam lewat tiga belas menit — waktu yang selalu sama, waktu yang dulu pernah menjadi tanda bagi Yudha untuk mencium keningnya sebelum berangkat kerja.Sekarang, hanya ada bunyi halus pendingin ruangan dan napas Rani yang berat.Ia membuka mata pelan. Udara di kamar itu dingin dan asing, seolah segala kehangatan telah dihapus dari tembok, dari sprei, dari setiap benda yang dulu menyimpan jejak keintiman. Di sisi lain ranjang, Dimas — suaminya — masih tertidur, punggungnya menghadap ke arah yang berlawanan.Keduanya tampak seperti dua orang asing yang terperangkap dalam perjanjian yang terlalu sunyi untuk disebut rumah tangga.Rani menatap punggung itu lama, lalu berbisik lirih, nyaris tanpa suara:“Selamat pagi.”Tidak ada jawaban. Sudah lama tidak ada jawaban.---Ia turun ke dapur d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status