Aulia mengumpulkan jawabannya lalu keluar dengan lesu sesekali mengusap air butiran bening berhasil lolos, rasanya sakit meskipun sudah terikat dengan pernikahan yang sah tapi semua didasari hitam diatas putih. Selain itu seperti menjual dirinya karena membutuhkan uang. "Aku apa bedanya dengan perempuan di luar sana yang menjual diri demi uang, bedanya aku hanya diikat dengan status pernikahan. Hanya status." Ia melangkah gontai menuju kamar mandi memastikan lagi apakah itu benar ulah Alex dalam hatinya semoga saja ruam-ruam alergi, tapi selama ini tidak memiliki alergi apapun. Sesampainya di toilet buru-buru menguncinya dan melepaskan syal tersebut. Perhatahannya runtuh sekali lagi benar saja itu adalah bekas bibir seseorang. Ia meringkuk di dinding toilet menangisi dirinya. Ia tak pernah menyangka seperih ini hatinya saat disentuh alex, dunianya hancur karena laki-laki itu dicintainya dan hanya menginginkan seorang anak darinya. Hal ini menjadi pukulan terberat selama ini terlal
"Hal paling menyakitkan ketika baru saja aku bahagia dengan kabar baik lalu mendapatkan kabar lebih buruk lagi"Aulia*****"Dari mana saja kamu malam begini baru pulang!" Aulia tersentak baru melangkahkan kakinya ke pintu sudah dibentak oleh mertuanya menatap Arlojinya baru masuk magrib belum pulang larut malam. Ia hanya diam mematung di depan pintu menunduk menahan tangis, selain bentakan Aurel yang membuatnya kacau rasanya berat untuk bertemu dengan Alex. Kakinya seakan ingin pergi dari rumah ini. "Seharusnya sebelum magrib kamu sudah ada di rumah bukannya keluyuran tidak jelas. Mau jadi wanita apa kamu, hah! Jangan sampai kau mencemari nama baik keluarga saya cukup kau terlahir miskin menjadi beban di keluarga ini!Butiran bening berhasil keluar dari kelopak matanya, sudah tak tahan lagi bahunya bergetar namun rasa iba seakan tak ada untuknya aurel semakin memojokkannya. "Jangan pikir dengan kamu menjual kesedihan dapat meluluhkan saya. Saya tahu itu hanya air mata sandiwara s
Aulia mengayunkan kakinya cemas juga ketakutan, tangannya begetar hebat belum siap mendengar apapun yang terjadi. Ia menatap rungan di mana ibunya sedang ditagani, kakinya terasa lemas tak sanggup lagi membopong tubuhnya melangkah saja sudah tak sanggup lagi. Butiran bening itu tak hentinya keluar, badai ujian terus saja menghantam mental dan fisiknya. Namun, sekarang adalah ujian paling membuatnya ketakutan. Meskipun sudah berada di situasi seperti ini berulang kali tapi rasanya belum siap sama sekali mendengar kabar yang akan disampaikan oleh dokter, setiap kali kabar baik keluar diringi dengan kabar lebih buruk lagi. Aulia pun tahu kalimat itu hanyalah penenang sesaat agar tidak terlalu syok mendengar selanjutnya agar patah semangat, sedih berlarut. Namun, tetaplah sia-sia. Hati siapa yang tak akan hancur ketika kehilangan ibunya, tentu saja semua orang merasakan hal yang sama perginya salah satu orang tua di hidup kita tak karuan karena peran keduanya sangatlah penting. Ibu adala
Setelah kepergian Alex, aulia termenung lama memikirkan perkataanya sekarang Rumi adalah tanggung jawanya satu-satunya tempat untuk pulang, tapi apakah mampu menjalankan peran itu sedangkan dirinya saja sedang berada di situasi yang sulit, ia menghembuskan napas panjang lama semoga saja kelak tidak kalah dengan keadaan masih ada arumi yang harus diurus. Ia mengulurkan tangan membangunkan Rumi untuk masuk ke apartemen istirahat, fisik dan mentalnya pasti kelelahan."Dek, tidurnya di apartemen jangan di sini." "Bunda," gumam Rumi dalam tidurnya. Mata aulia kembali lagi berkaca-kaca, juga sangat rapuh bahkan merasakan sosok itu masih hidup tapi nyatanya telah tiada. Ia masih belum bisa menerima kepergian Marwah. "Dek, bangun." Aulia terus menguncang tubuhnya. Netra Arumi terbuka perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk, ia melirik parkiran apartemen mengeryitkan kening sedang di mana? Ini bukanlah rumah mereka. "Kak, sekarang kita di mana? Ini sudah malam Bunda pasti marah kalau kit
"Luka paling menyakitkan ketika sang pelaka adalah keluarga sendiri"Aulia***Aulia menatap malas kedatangan kedua sahabatbya heboh dengan apartemen ditrmpatinya karena salah satu apartemen elit dan mewah. Bahkan mereka memgang beberapa perlengkapan yang harganya bisa membeli rumah, mobil dan tanah."Wis gila hidupmu berubah 180 derajat." puji Faris masih terkesima."Udah jangan di sentuh terus kalau ada yang jatuh aku yang kena imbasnya sama paksu entar ribet. Untung kalau gak di suruh ganti rugi," jelas Aulia sibuk membutkan jus. "Eh, kalian udah dengar gak sih, kak Maudy udah balik dari study tournya udah aktif seperti dulu lagi.""Wish, akhirnya berbie kampus balik lagi." Aulia mengerutkan kening, siapa bierbie kampus yang mereka maksud nama yang disebutka tak pernah di dengarnya selama ini mungkin karena kurang update sama sekali tentang kampus. "Siapa berbie kampus?" Widya dan Faris refleks menipuk jidat Aulia bersamaan. Suatu keajaiban tidak mengenal Maudy. Perempuan ter
"Aulia sudah semester berapa?" tanya Amelia, ia menghentikan kunyuhannya dengan antusias menjawab pertanyaan itu."Alhamdulillah udah mau masuk semester 3 kak.""Loh masih maba yah, aku kira tadi udah semester 4 loh kita setingakat." Maudy tertawa kecil sudah salah menilai tentang perempuan itu."Masuk organisasi apa? Kalau ada sosialisasi bisa barengan." Aulia terdiam sejenak menggaruk pipinya tak gatal karena tidak mengambil organisasi apapun bukan karena tidak ingin masuk tapi dulu sibuk bekerja sampai tak ada waktu mengurus hal tersebut hanya fokus ke kerjaan dan keluarganya saja."Ah, itu kak. Aku gak ambil organisasi apapun," jawab Aulia canggung. "Kenapa? Masuk organisasi itu bagus loh." "Aku sibuk kerja kak sampai tak ada waktu mengurusnya." "Oh, gitu. Kamu kerja sambil kuliah buat bayar uang kuliahmu?" Aulia mengangguk tanpa ragu tersenyum canggung. "Bagus dong masih muda sudah punya pengalaman kerja. Andainya aku juga bisa kuliah sambil kerja bisa merasakan bahagianya
"Jangan menyesali apa yang terjadi dengan jalan hidupmu apalagi itu tentang keluarga broken home tapi jadikan tombak menuju suksessmu membungkam semua mulut merendahkanmu.Alex¤¤¤"Hai berhenti jangan mengatakan itu, kalau kamu membenci semua hal pada padamu baik itu hidupmu, dirimu dan takdirmu maka akan membuatmu hancur," Alex mencoba menyadarkan Aulia yang terus saja bergumam putus asa. "Kamu tidak akan tau bagaiamana jadi aku Alex!" tukas Aulia menatap nanar laki-laki itu "Aku memang tidak tau apapun tentang kamu Aulia tapi, bahkan aku tidak akan pernah tau bagaimana masa lalumu itu, tapi yakinlah dibalik ujianmu ini ada kebahagiaan yang menantimu jangan jadikan masa lalumu sebagai penghambat masa depanmu."Aulia tertawa mengejek. "Masa depan? Bahkan kau saja sudah menghancurkannya sekarang. Apalagi yang aku punya sekarang!" sahutnya lagi mengingat pernikahan paslu ini. Alex terdiam tak lagi bisa berkomentar, sudah berusaha untuk menghibur dan menyemangatinya tapi lagi-lagi
Aulia memasuki apartemen mereka membwa barang belaja bulanannya sekilas melirik ke arah Arumi cemberut memayungkan bibirnya kesal. Menaikkan alisnya sebelah bertanya-tanya apa yang sudah terjadi namun tak mau ambil pusing mengayunkan kaki menuju dapur."Kak Aulia," teriak Arumi mengelegar membuatnya menghela napas panjang. Ia keluar, matanya melotot mendapatkan Alex menutup mulut Arumi. Ia melangkah mendekat dan menepis jari-jarinya melepaskan tangannya "Apa yang kau lakukan pada adikku! Mau membunuhnya?" Arumi mengangguk setuju dengan prrnyataan itu. Semakin memanas-manasinya memprovikasi yang terjadi. "Mana mungkin aku mau membunuh adikku iparku sendiri. Kakaknya segalak singa lapar. Sama halnya aku mencari mati." Arumi menahan tawa mendengar senyum tipis mulai terbit di bibir perempuan itu."Kak Alex mengancamku kalau membocorkan selesai di telpon seorang perempuan."Alex melototkan matanya tak percaya berani mengadu sudah mengingatkannya untuk tidak memberitahukan masalah