Home / Rumah Tangga / Perselingkuhan berkedok Iba / 05. Pertemuan membekas di hati

Share

05. Pertemuan membekas di hati

Author: ZuniaZuny
last update Last Updated: 2023-07-18 19:20:31

"Mas, jangan talak aku mas, aku mohon?!"

"Sekarang juga kamu pergi dari sini dan bawa anak anak. Pergi dari sini! Aku tak mau tahu pokoknya besok kalian sudah enyah dari rumahku!" ucap Sholeh pergi meninggalkanku.

Aku bingung harus pergi kemana lagi hingga aku memutuskan untuk menghubungi Johan.

Panggilan pertama,

Panggilan kedua.

Dan panggilan ketiga di reject.

Seketika aku tak bisa menghubungi Johan, mungkin aku telah di blokir.

Flashback off.

"Begitu mas ceritanya," ucap Thika berlinang air mata.

Thika menceritakan bagaimana suami menyiksa dan mengusirnya tanpa menceritakan perselingkuhan yang dialami.

Hal ini membuat Satria ikut merasakan rasa sakit yang dialami Thika.

"Aku harus bagaimana mas? Aku tak tahu harus kemana lagi?"

Satria segera memeluk Thika.

"Kamu tenang ya dek, aku janji akan membantumu mengatasi masalah yang kamu hadapi. Aku akan ada di sisimu."

"Benarkah mas?"

"Iya dek, mas Satria janji."

Semua sahabat tersenyum mengangguk, setuju dengan sikap Satria.

Teguh memberi kode pada semua sahabatnya untuk menyuarakan unek unek mereka.

"Saat ini Thika ikut numpang hidup di rumah kakaknya yaitu Indah," ucap Yuli.

"Kedua anaknya ikut Thika kesini dan hal ini memberatkan Indah," jelas teguh.

"Kita harus membantu Thika agar tidak menjadi beban kakaknya, benar kan Satria?" tanya Sholeh disertai semua anggukan dari sahabat lainnya.

Satria mengangguk, mencoba berpikir mencari solusi yang terbaik.

'Jika aku memberi tempat, uang dan membiayai sekolah anak anak Thika, Shafira pasti marah,' batin Satria.

"Kalian benar sekali tapi aku sudah berkeluarga dan kondisi keuanganku tidak seperti dulu," ucap Satria mencoba jujur dengan keadaan dirinya saat ini.

Semua sahabatnya mulai berunding dan lagi lagi teguh yang membuka suara.

"Kami hanya mengharapkan saran darimu Satria."

"Jika masalah biaya ini itu biar kami yang menanggungnya," jelas Yuli.

"Benar kan teman teman?"

Semua mengangguk setuju membuat Satria tersenyum bahagia, sahabat sahabatnya sungguh kompak dan mempunyai solidaritas yang tinggi.

"Baiklah kalau begitu. Bagaimana jika anak Thika yang akan memasuki Smp dibiayai dari sepuluh orang ini?" tanya Satria meminta persetujuan.

"Bagaimana teman teman?"

"Ya kami setuju!" ucap semua sahabat beserta istrinya serempak.

"Aku bisa mengatakan ini karena kalian datang bersama istri istri kalian jadi tak ada yang ditutup tutupi lagi," jelas Satria.

"Lalu dengan anak Thika yang kuliah?" tanya Yuli.

Sebenarnya Thika tak mau membahas Angel, anak pertama yang masih kuliah namun Satria dan sahabat lain harus tahu hal ini.

"Sebenarnya Angel sudah menikah dengan Akhtar namun baru sebulan menikah Akhtar menceraikan Angel.

Karena ini, Angel memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya," jelas Thika.

"Kuliahnya tinggal satu tahun kan ya?" tanya Teguh dan dijawab anggukan pelan dari Thika.

"Bagaimana untuk Angel ini kawan kawan?" imbuh Teguh. 

Satria memandang sayu dan mulai berkata, "bagaimana jika kita ambil lima orang saja yang merasa mampu?"

Yuli, Teguh, Sholeh dan Satria mengangkat tangan tanda setuju.

"Masih kurang satu lagi. Yang lain, adakah yang berkenan?"

Yadi mengacungkan tangan dan mendekat.

"Ok sudah pas ya lima orang," jelas Sholeh membuat Satria dan yang lainnya ikut lega.

Thika sangat bahagia, satu masalah dalam hidupnya teratasi dan semua itu berkat Satria, lelaki yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya.

"Terima kasih mas?"

"Sama sama dek. Berterima kasih lah kepada sahabat- sahabat ini," ucap Satria merendah.

Akhirnya masalah Thika teratasi. Kini waktunya bersenang senang.

Satria dan yang lainnya makan dengan nikmat sambil sesekali bersenda gurau membicarakan kehidupan masing masing. Hal ini membuat Thika tak nyaman karena semua bercerita tentang kebahagiaan keluarga mereka sedangkan Thika tak mendapati itu.

Thika berhenti makan dan berlari sambil menangis membuat Satria mencoba menenangkan dengan berlari mengejarnya.

"Ada apa dek?"

"Hiks."

"Hiks."

Melihat Thika menangis, Satria mengambil sapu tangan dan mengusap air mata di pipi Thika.

"Mas ini kan?" 

Thika terkejut melihat saputangan yang tak asing di tangan Satria.

Ya, saputangan itu adalah pemberian Thika saat mereka masih berpacaran dulu.

Thika sungguh tak menyangka jika saputangan itu masih terawat rapi setelah bertahun tahun lamanya.

"Ambil saja Thika, itu kan milikmu," ucap Satria mengembalikan saputangan tersebut kepada Thika.

"Baiklah kalau begitu mas."

"Sudahlah dek, jangan menangis terus, lihatlah matamu sampai bengkak begitu."

"Tapi mas, semuanya sudah berkeluarga dan bahagia dengan kehidupan masing masing, sedangkan aku?" keluh Thika membuat Satria tersenyum.

"Bahkan mas sendiri juga menceritakan kebahagiaan rumah tangga mas dengan antusias sekali," keluh Thika.

Satria tersenyum manis, senyuman yang memabukkan bagi Thika, dulu dan sekarang.

"Mereka menceritakan kebahagiaan belum tentu mereka benar benar bahagia dek!" ucap Satria sambil menyelipkan anak rambut yang terurai.

"Benarkah mas?"

Satria mengangguk.

"Jadi jangan pernah berkecil hati, tetap tersenyum dan menghadapi semua masalah ini dengan lapang karena sejatinya yang kita lihat belum tentu benar di dalamnya.

Jika kamu butuh saran, hubungi aku kapanpun kamu mau. Ok?"

Thika memandang nanar pada Satria seolah tak percaya ucapan lelaki di depannya ini.

"Benarkah mas?"

"Iya."

"Bagaimana jika istrimu cemburu dan marah?"

"Kenapa istriku harus marah?" tanya Satria heran membuat Thika mengedikkan bahu.

"Nanti setelah sampai rumah, aku akan menceritakan semuanya kepada istriku. Dia berhak tahu apa yang aku lakukan saat ini bersamamu," jelas Satria.

Thika hanya bisa mengangguk dan mencoba percaya pada Satria, lelaki yang dulu di puja puja.

Mereka kembali makan tanpa bercerita lagi, seolah mereka menyadari dan menjaga perasaan masing masing. Mereka makan dalam hening, melupakan kehidupan di rumah saat ini. 

Apakah anak istri sudah makan?

Mereka sedang apa? Apakah menunggu pulang? Apakah mereka merindukannya? 

Semua ucapan itu tak akan dipikirkan oleh lelaki jika di luar, apalagi bersama cewek, rekan kerja, rekan kantor bahkan sahabatnya.

Seperti Satria yang tak memikirkan Shafira sedetikpun. Padahal saat ini, punggungnya terasa sakit sekali.

Semua itu hanya dapat dirasakan Shafira seorang diri.

Rumah Shafira.

"Aduh, punggungku sakitnya," ucap Shafira mengelus pelan punggungnya yang sakit.

Dirinya kelelahan akibat sibuk membereskan rumah. Hari ini ibu mertua datang ke rumah dan memutuskan untuk ikut tinggal bersama Satria dengan alasan Shafira sebentar lagi melahirkan jadi dia akan membantu merawat cucunya.

"Sudah larut, mas Satria kok belum pulang juga."

"Apa aku telepon saja?"

Shafira memegang gawai ingin menghubungi sang suami namun di urungkannya.

"Sudahlah, aku buat istirahat saja, mana punggungku sakit sekali ini."

Setelah mengomel tak jelas Shafira memutuskan untuk tidur.

Pukul 01.00 dini hari.

"Ceklek."

Satria masuk kamar dan melihat sang istri sudah tertidur pulas.

Dirinya sudah bersiap untuk tidur dengan piyama coklat menempel di tubuhnya. Sebelum tidur, dipandang sekilas wajah lelap sang istri. Pandangan yang sangat sulit dijelaskan.

Tiba tiba ponsel Satria bergetar dan dilihat pesan WA.

"Thika!?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perselingkuhan berkedok Iba   74. Janji setia

    "Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok

  • Perselingkuhan berkedok Iba   73. Zico dan Shafira

    "Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p

  • Perselingkuhan berkedok Iba   72. Siapakah yang datang?

    Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m

  • Perselingkuhan berkedok Iba   71. Sakitnya anak, hanya Ibu yang tahu

    Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in

  • Perselingkuhan berkedok Iba   70. Ternyata sama saja

    Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah

  • Perselingkuhan berkedok Iba   69. KDRT

    Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status