'Thika!?'
Dengan penasaran Satria segera membuka pesan tersebut.
{Assalamualaikum mas, apakah sudah tidur? Aku mau berterima kasih banyak karena mas sudah mau bertemu dan mendengarkan keluh kesahku. Mimpi indah ya mas, good night.}
Satria tersenyum dan menutup mata berharap bisa bertemu Thika di alam mimpi.
Esok hari.
"Tadi malam pulang jam berapa kamu mas?" tanya Shafira saat duduk santai setelah sarapan bersama dan mengantar sekolah kedua anaknya.
Satria menyesap kopi dan menjawab santai, "jam satu pagi ma."
Satria memandang sang istri yang menanggapi biasa saja.
"Ma, ada yang mau aku katakan."
"Apa itu mas?"
"Ini soal Thika."
"Ada apa dengan Thika??????"
Satria memandang intens Shafira, memegang tangannya.
"Kemarin aku bertemu Thika di acara halal bihalal ma," ucap Satria membuka omongan.
"Lalu?"
"Dia terlihat sangat sedih, aku baru sadar jika kondisinya tak seperti dulu."
"Apa maksud mas?" tanya Shafira.
Satria menelan ludah seolah tak bisa mengucapkan kata yang sebenarnya. Begitu sulit untuk berkata jujur namun Satria harus mengatakannya.
"Begini ma, dulu Thika adalah mantan kekasihku. Selama 7 tahun berpacaran kami tak pernah melakukan apapun hanya sekedar bergandeng tangan, keluar bersama dan itu pun kami tak pernah berduaan. Selalu ada Indah dan Yudha, kakak kakaknya bersama kami."
Shafira hanya diam mendengarkan, mencoba memahami apa yang dilontarkan sang suami.
"Kami putus dengan cara yang baik- baik. Dia menikah dengan Sholeh, lelaki pilihannya, dan aku hadir di acara pernikahan tersebut. Tidak ada permasalahan sehingga setelah putus pun kami terlihat seperti saudara dan dia memang masih saudara jauh keluargaku.
Di saat satria mencoba mengutarakan kejujuran, entah mengapa hati Shafira merasa sakit mendengar sang suami menceritakan kehidupan di masa lalunya.
Safira berdiri namun Satria segera memegang tangan sang istri.
"Kamu mau ke mana ma? apakah kamu marah?"
Shafira menggeleng, "untuk apa aku marah mas? aku hanya ingin membuatkan kopi untukmu."
"Owh."
Satria melepas pegangan tangan dan membiarkan sang istri ke dapur.
Kembali memikirkan apakah yang dikatakan pada sang istri sudah benar?
Safira terus memikirkan penjelasan tentang Thika dari Satria.
Saat pertama kali Thika menghubungi sang suami, perasaannya sudah tidak nyaman, sekarang Satria sendiri malah membeberkan satu fakta jika Thika adalah mantan kekasihnya selama tujuh tahun dan tujuh tahun itu bukanlah waktu yang singkat.
Seseorang bertemu kembali dengan mantan kekasihnya selama tujuh tahun, munafik sekali jika tidak ada rasa yang kembali muncul di dalam hati.
Setidaknya itulah pemikiran Safira Dan kini dia merasa tidak nyaman dengan kembalinya Thika di kehidupan Satria.
Karena menunggu lama Shafira membuat kopi, Satria memutuskan untuk mencari sang istri.
"Aaaakh."
Shafira memekik kaget saat lengan kekar memeluknya dari belakang.
"Mas tolong jangan begini, nanti jika dilihat ibu bagaimana?" ucap Shafira merasa tidak nyaman karena ibu mertua tinggal bersama mereka saat ini.
"Ah, biarin saja. Kamu itu istriku dan aku berhak melakukan apapun kepadamu dan dimana pun tempatnya," ucap Satria mencubit genit sang istri membuat Shafira mencebikkan bibir tak suka.
Mereka kembali ke taman, melanjutkan pembicaraan tentang Thika.
"Aku berkata jujur kepadamu tentang Thika. Aku ingin, tak ada yang aku tutup- tutupi darimu. Dia memang mantan kekasihku dulu dan saat ini perasaan itu sudah hilang. Yang ada hanya rasa iba."
"Iba?"
"Memangnya masalah buruk apa yang menimpa Thika sehingga kamu merasa kasihan kepadanya mas?" tanya Shafira tak mengerti.
Satria tersenyum, dirinya berhasil memancing sang istri untuk bertanya dan mengenal Thika lebih dekat.
"Kemarin saat bertemu Thika, aku tak sanggup melihatnya. Bahkan sepuluh sahabatku beserta istrinya pun menangis pilu mendengar keluh kesah Thika.
Dia dalam keadaan sangat menyedihkan. Dia bercerita kepada kami semua tentang bagaimana suaminya, Sholeh memperlakukannya secara tidak manusiawi.
Ya Sholeh melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama 2 tahun pada Thika yang berstatus istrinya."
Satria menghela nafas panjang.
"Tak hanya itu ma, Sholeh bahkan mengurung dan menyekap Thika di dalam rumah, tak memberinya makan kecuali hanya Indomie mentah, makan minum serta kencing dan berak di tempat tersebut. Sungguh kasihan sekali ya kehidupan Thika saat ini? Dia mempunyai beban mental, butuh dukungan, saran serta sandaran hidup."
Satria memandang Safira penuh kasih sayang, berharap sang istri mau mencoba mengerti dan memahami Thika.
"Biaya kedua anaknya ditanggung sahabat sahabat tanpa melibatkanku. Aku hanya memberi saran dan dukungan kepada Thika, tak lebih dari itu."
Shafira tak bisa berkata apa apa, jujur saja saat ini hatinya sungguh cemas dan takut.
"Bagaimana ma, apakah kamu mengizinkan aku untuk membantu Thika menghadapi masalahnya ini? Bayangkan saja jika posisimu menjadi Thika dan tak ada yang mau membantumu, pasti kamu akan putus asa dan berpikir pendek. Jadi aku mohon ma, biarkan aku membantunya!?"
Mereka saling diam, sibuk dengan pemikiran masing masing. Satria menyesap kopi, setelah itu berdiri membelakangi.
"Baiklah jika kamu butuh waktu untuk memikirkan semua inii, akan aku berikan. Tapi satu hal yang pasti, aku hanya kasihan pada Thika, tak ada rasa cinta di antara kami, aku sudah berkeluarga dan dia juga mempunyai anak. Aku tak akan menduakanmu, Shafira. Aku pria berkomitmen jika kamu curiga itu salah besar."
Shafira memandang nanar punggung sang suami yang kini sibuk merokok, asap mengepul dari hidungnya membuat Shafira memutuskan pergi meninggalkan Satria. Asap rokok berakibat buruk bagi perokok pasif terlebih ibu hamil seperti Shafira.
Tak hanya itu, Shafira sendiri sibuk menata diri memutuskan untuk menerima atau menolak permohonan Satria.
Esok hari.
Banyak drama pagi hari di rumah Satria.
Mira dan Mila saling berebut untuk mandi agar tidak telat sekolah. Jika sebelumnya ramai bertiga karena Shafira yang akan mengomeli dua bocah ini, sekarang bertambah lagi yaitu bu Aini sang mertua yang cerewetnya minta ampun.
Shafira super sibuk karena semua di handle sendiri olehnya. Seharusnya seorang mertua yang baik dan perhatian akan membantu Shafira bukannya berpangku tangan, jangankan membantu memasak, menjaga cucu cucunya saja dia tak mau.
Seperti pagi ini, Shafira mengeluhkan punggungnya namun sang mertua seolah tuli. Dirinya sibuk menonton acara infotainment kesukaannya.
Shafira terpaksa masak seadanya dan mengantar sekolah kedua anaknya dengan menahan rasa sakit.
Seorang ibu yang bijak, akan memberi nasehat kepada anak lelakinya untuk berbagi tugas dalam rumah tangga, terlebih saat menantu sedang hamil. Misalnya saja, bu Aini mengingatkan Satria untuk mengantar anak anaknya sekolah. Namun semua itu tak terjadi.
Dari sini Shafira mulai mengeluh dan mempunyai tekanan batin.
****
"Kamu sudah mengantar anak anak, Saf?"
Mendengar sang suami memanggil nama bukan sayang atau mama membuat Shafira sedih, entahlah mungkin karena hamil ini yang membuatnya begitu sensitif.
"Kenapa tak menjawab pertanyaanku?" tanya Satria lagi dengan nada naik satu oktaf.
"Tentu saja aku sudah mengantar mereka, sekarang sudah jam berapa?" jawab Shafira sedikit emosi.
"Aku tanya baik baik kenapa kamu sewot begitu?"
Shafira bernafas besar, dirinya sungguh kesal namun hanya bisa menahannya.
Menata makanan untuk sarapan sang suami. Ditunggu Satria makan dengan lahap namun Shafira sama sekali tak bernafsu makan.
"Kamu tidak sarapan?"
Shafira hanya menggelengkan kepala.
"Oh ya mas, mengenai Thika-!"
"Ya, kenapa dengan Thika?!" tanya Satria penuh semangat.
"Terserah mas jika mau menolong Thika, aku tak punya hak untuk itu."
"Jadi kamu memberiku izin?"
"He ems," angguk Shafira.
Wah, wah, wah apa yang akan terjadi selanjutnya ya jika Shafira memberi lampu hijau begini?
Terima kasih, hapoy reading
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos