Share

Bab 4

Author: Jawaban
Ayu menjerit ketakutan. “Jangan! Jangan!”

Baru saja ia hendak menepis, Joko sudah menerjang dan memeluknya erat.

“Ayah, cepat!”

Anak yang baru enam tahun itu justru membuat Ayu tidak bisa bergerak.

Segelas minuman itu langsung masuk ke tenggorokannya.

Rasa perih dan panas seperti api menyala di perut Ayu.

Ia jatuh berlutut, muntah kering tak henti-henti.

Bahkan Joko sendiri ikut terkejut.

Sementara Teresa menahan rasa puas di matanya, lalu berkata dengan nada seolah tersinggung. “Seno, kenapa dengan Kak Ayu? Orang yang tidak tahu, pasti mengira dialah yang sakit parah…”

Satu kalimat itu langsung menghapus seluruh rasa sayang yang sempat muncul di mata Seno. “Ayu, dunia hiburan tidak menerima kamu itu benar-benar kerugian. Bakat aktingmu luar biasa.”

Joko akhirnya bereaksi. “Mama, kamu pura-pura lagi. Nenek bilang, dulu Mama suka minum!”

“Ayu, dulu kamu kerja, tiap hari minum sampai muntah. Kenapa sekarang baru segelas saja sudah seperti mau mati?”

Air mata Ayu jatuh besar-besar, rasa darah naik ke tenggorokan, tapi ia tidak mampu mengeluarkan satu kata pun.

Saat itu, Teresa memegangi perutnya sambil berkata perutnya sangat sakit.

Seno dan Joko langsung panik, sama sekali tidak memedulikan keberadaan Ayu.

“Teresa, tahan dulu! Aku bawa kamu ke rumah sakit!”

“Bibi, jangan kenapa-kenapa! Joko tidak bisa hidup tanpa Bibi!”

Suara keduanya makin lama makin jauh. Rasa sakit dalam tubuh Ayu pun semakin menjadi. Sebelum pingsan, ia memuntahkan darah dalam jumlah besar, membuat orang-orang di ruangan itu ketakutan.

“Apa yang terjadi!”

Seorang pria gemetar ketakutan. “Sialan, Teresa! Bilangnya cuma bercanda. Jangan-jangan dia benar-benar mau mencelakakan orang!”

“Itu bukan urusanku! Aku tidak melakukan apa-apa!”

“Cepat pergi!”

Orang-orang di ruangan berhamburan seperti burung ketakutan. Ayu menggigil hebat, lalu tertawa sambil menangis.

Inilah perempuan yang dicintai Seno dan Joko.

Perempuan yang mereka bela.

Semoga… saat kebenaran terbongkar nanti, mereka tidak menyesal.

Ketika Ayu kembali sadar, ia sudah berada di rumah sakit.

Di sekelilingnya kosong. Saat ia bertanya, perawat hanya berkata bahwa ia pingsan karena menahan sakit lalu dibawa seseorang ke rumah sakit.

Dokter masuk dengan wajah tidak senang.

“Tubuh kamu sudah separah ini masih minum? Kamu gila atau memang tidak ingin hidup?”

Ayu tersenyum lemah.

Ia tidak ingin minum.

Suaminya dan anaknya sendiri yang memaksanya menelan habis gelas itu.

Ia ingin hidup lebih lama. Tapi mereka… seolah ingin ia mati.

Dokter menghela napas. “Pokoknya, kalau kamu tidak ingin tersiksa lebih parah, jangan sentuh alkohol sedikit pun.”

Setelah dokter pergi, Ayu memutuskan untuk mengurus kepulangan.

Sisa hidupnya, ia tidak ingin habiskan di rumah sakit.

Saat keluar dari kamar rawat, ia mendengar para pasien bergosip.

“Perempuan di kamar 06 itu benar-benar bikin iri. Suami dan anaknya bergantian menjaganya, tidak pernah pergi jauh. Dipegang saja takut jatuh.”

“Iya, hidup orang beda-beda. Suaminya baik sekali. Katanya dia ingin makan kue kurma, semua toko di Kota Jemberang langsung diborong satu-satu. Kalau dia minta bintang, ayah dan anak itu siap memanjat langit”

“Sudah, jangan gosip lagi. Mereka sudah keluar.”

Para pasien cepat-cepat menyingkir. Ayu mengangkat kepala, sedikit linglung… dan melihat Seno serta Joko keluar dari kamar itu.

Keduanya terkejut melihat Ayu.

“Mama?”

“Ayu?”

Seno menatap pakaian rumah sakit di tubuh Ayu, wajahnya penuh kebingungan. “Kenapa kamu ada di bangsal tumor?”

Joko ikut panik. Bangsal itu khusus untuk orang-orang yang sakit serius.

Saat itu, Teresa juga keluar dari kamar.

“Seno, Joko, kenapa kalian berdiri di sini?”

Ia menggandeng lengan Seno dengan akrab, tetapi begitu melihat Ayu, tubuhnya langsung kaku.

Seno menepis tangannya, wajahnya berubah tegang. Ia melangkah cepat menuju Ayu, menatapnya tanpa berkedip.

“Jawab aku. Kenapa kamu ada di sini?”

Joko pun berlari menghampiri. “Iya Mama, apa Mama… sakit sesuatu?”

Wajah Teresa memucat. Ia menggigit bibir, panik tak tertahankan.

Ayu tersenyum.

Ternyata… Teresa juga bisa takut.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 21

    Di tengah kesadarannya yang kabur, Seno merasa seolah berada di sebuah pulau.Saat ia masih kebingungan, seorang perempuan mengenakan gaun panjang berjalan keluar dari halaman. Tangannya membawa keranjang bunga, senyumnya cerah dan memesona. Bahkan pekerjaan mencabut rumput yang paling membosankan pun ia kerjakan sambil bersenandung kecil.Seno hanya bisa bersembunyi di sudut, menyaksikan Ayu yang begitu cerah… begitu bahagia.Untuk pertama kalinya, Seno merasa dirinya hanyalah seekor tikus yang tersesat di selokan gelap.Dihantam oleh kenyataan yang begitu kejam.Ternyata… setelah meninggalkan dirinya, Ayu bukan hanya tidak kesepian, bahkan hidupnya penuh, hangat, dan benar-benar bahagia.Hanya dirinya… dirinya saja… yang terperangkap dalam cinta ini, tersiksa tanpa henti, jatuh, tercekik, tanpa jalan keluar.Saat sedang linglung, seorang pria berjalan menghampiri Ayu, menyapa dengan ramah.Mata Seno memerah. Ia berlari menerjang ke arah mereka.“Itu istriku! Kekasihku! Aku tidak meng

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 20

    Seno langsung pergi ke rumah sakit.Operasi Joko berjalan sangat baik, hanya saja ia masih belum sadar.Perawat berkata, “Anaknya mungkin sementara tidak mau bangun.”Seno menggenggam erat tangan Joko, lalu meletakkan boneka beruang kecil di sisi bantalnya. “Joko… ini semua salah papa.”Dialah yang menjerumuskan Joko, menghancurkan hidup anak itu, dan juga menghancurkan Ayu.“Aku akan membawanya kemari… kalau dia bersedia menemuimu.” ucap perawat rumah sakit.Setelah itu, Seno bangkit dan menuju kantor polisi.Sesaat sebelum ia melangkah masuk, telapak tangannya sudah penuh keringat dingin.Ia tidak tahu… apakah Ayu masih mau kembali.Masih mau menemuinya atau tidak.Bagaimanapun, dirinya sekarang sudah tidak punya kelayakan apa pun. Tidak punya posisi, tidak punya hak.Jika Ayu memilih pergi, ia bahkan tidak akan mencoba menahannya.Karena melepaskan… adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia berikan padanya.Setelah berkali-kali menata mentalnya, barulah Seno berani melangkah masuk

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 19

    Orang tua Wiratama tertegun mendengar pertanyaan itu, seolah kalimat tersebut membuat mereka benar-benar kebingungan.Ayu menghindari tatapan, lalu tiba-tiba menekan dada.“Aduh... sakit sekali... Ayah! Ibu! Cepat antar aku ke rumah sakit, sakit lambungku kambuh lagi!” ucap Teresa.“Ke rumah sakit untuk mengungkap bahwa kamu memalsukan kanker lambung?” ucap Seno.Ibu Wiratama langsung berdiri. “Seno, Yang masuk ke perut bisa dikeluarkan, yang masuk ke hati susah dikeluarkan! Teresa mengidap kanker lambung itu adalah hal yang kami semua tahu!”Ayu juga terus terisak. “Seno, apa kamu sedang stres sampai berhalusinasi? Mana mungkin aku memalsukan kanker lambung.”Seno memutar rekaman telepon Teresa di depan semua orang.Terutama bagian ketika Teresa mengakui sendiri bahwa ia berpura-pura mengidap kanker dan fakta bahwa ia menculik Ayu.Ayah dan Ibu Wiratama tampak sangat terkejut, Ibu Wiratama bahkan hampir pingsan seketika. “Dosa besar... ini dosa besar...!”Ia menepuk-nepuk pahanya, men

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 18

    Begitu menerima kabar, Seno terburu-buru bergegas ke rumah sakit, namun langsung dihalangi di depan ruang operasi.“Pak Seno, tolong tenang dulu!”Sudut matanya memerah.Maafkan aku, Ayu… aku lagi-lagi gagal melindungi anak kita.“Bagaimana keadaan Joko sekarang?” tanya Seno.Perawat menatap pria yang berdiri di depannya, kebingungan, putus asa, tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan.Dulu ia tampan dan gagah.Sekarang tubuhnya kurus, wajahnya pucat, mata cekung, lingkar mata menghitam.Kelelahan dan rasa mati membuat kilau hidupnya hampir hilang total.Perawat itu akhirnya menghela napas. “Keadaan Joko sangat buruk. Kepalanya mengalami benturan parah. Ada kemungkinan… ia bisa menjadi vegetatif.”Mata Seno memerah seperti direndam darah. “Waktu itu perawat jaga di mana? Mana suster-suster rumah sakit ini? Kenapa tidak ada yang mengawasi dia?!”“Pak Seno… saat itu Joko sedang ditemani oleh pihak keluarga.” jawab perawat rumah sakit.“…Siapa?” tanya Seno.“Teresa Wiratama, bibi Joko.”

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 17

    Seno juga tidak pernah berhenti mencari Ayu.Video dirinya berlutut di depan kamera, memohon Ayu memaafkannya, tersebar sampai ke seluruh dunia.Komentar dari warganet bermacam-macam, ada yang iri pada ketulusannya.Ada yang mengecamnya sebagai pria brengsek yang pura-pura setia.Ada yang menghujat sejadi-jadinya.Namun Seno sama sekali tidak peduli.Yang ia pikirkan hanya satu: bagaimana membuat Ayu melihatnya, bagaimana membuat Ayu memaafkannya.Setiap malam, saat ia teringat waktu Ayu yang terus berkurang…terbayang Ayu meringkuk kesakitan karena kanker lambung, ia selalu terbangun dengan napas tersengal, tak bisa tidur lagi.Lembaran kalender terkoyak satu per satu.Rasa takut yang tak berwujud itu menyebar perlahan dari dasar hatinya…menekan dada Seno sampai ia sering kali merasa sesak.Sesekali, Teresa datang.Meski ia terus menjelaskan bahwa ia benar-benar tidak tahu soal kanker Ayu, tapi bagi Seno, semua itu sudah tidak penting.Jika sejak awal ia tahu Ayu sakit… ia tidak akan

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 16

    Wajah Teresa seketika memucat. “Seno, aku… aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”Ibu Wiratama juga membelalakkan mata. “Kanker apa? Seno, kamu jangan sampai tertipu oleh anak itu! Ayu sehat-sehat saja! Mana mungkin kena kanker? Jangan karena dia hilang, kamu jadi percaya apa pun!”“Iya!” Ayah Wiratama menimpali dengan panik. “Anak kurang ajar itu cuma iri pada Teresa! Mana mungkin kakak beradik kena kanker bersamaan? Itu konyol!”Iya, memang konyol.Jika saja itu bohong, Seno lebih berharap daripada siapa pun bahwa hal itu tidak benar.Tapi sayangnya… itu kenyataan.“Ini hasil pemeriksaan rumah sakit milik Ayu.” ucap Seno sambil mengeluarkan lembar pemeriksaan yang baru dicetak ulang.Begitu Orang tua Wiratama melihat empat kata “kanker lambung stadium akhir”, wajah mereka langsung pucat seperti kapur.Ibu Wiratama limbung, jatuh terduduk di lantai.“Tidak mungkin… tidak mungkin!”Melihat bukti sudah tak bisa dibantah, mata Teresa memerah seketika.“Bagaimana bisa begini? Aku… a

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status