共有

Bab 6

作者: Jawaban
Menahan rasa panas di pipinya yang memerah, Ayu keluar dari aula, hampir saja bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari mobil.

Ia spontan menepi ke sudut, lalu melihat dengan mata kepala sendiri Seno dan Teresa turun dari mobil. Joko berdiri di tengah, wajahnya cerah, menggandeng satu tangan masing-masing.

Mereka bertiga tampak akrab, seperti benar-benar satu keluarga.

“Bibi Teresa, apa sakitmu sudah agak membaik?” tanya Joko.

Teresa tersenyum lembut, mengusap kepala Joko. “Sudah jauh lebih baik.”

“Syukurlah! Akhirnya Bibi bisa main lagi sama aku!” ucap Joko.

Joko bersorak girang, menendang batu kecil di kakinya. “Mama itu kuno dan menyebalkan, mana ngerti aku seperti Bibi? Untung hari ini dia gak muncul, kalau ada pasti nyebelin banget.”

Senyum Teresa semakin dalam, berpura-pura tak berdaya. “Joko, kamu gak boleh ngomong begitu tentang kakak.”

“Kenapa gak boleh?” Joko menggembungkan pipinya. “Dia jahat, hatinya kejam dan suka pura-pura kasihan. Satu gelas minuman saja gak mau diminum demi Bibi. Menurutku, kalau yang kena kanker itu dia, pasti lebih bagus!”

Suara petir seakan mengguncang. Ayu berdiri terpaku, seperti disambar halilintar.

Kalimat-kalimat berikutnya menghilang dari pendengarannya. Ia hanya menunggu tawa riang terdengar dari dalam rumah. Tubuhnya bergerak seperti tanpa jiwa saat ia berbalik pergi.

Betapa menyedihkan hidupnya. Sampai harus mendengar kata-kata seperti ini dari anak yang ia kandung sepuluh bulan.

Berjalan sambil terisak, air mata Ayu tak berhenti mengalir.

Seperti yang kalian inginkan, yang terkena kanker memang dirinya.

Setelah ia pergi, Teresa akan menggantikan posisinya.

Joko, kamu akhirnya mendapatkan apa yang kamu mau.

Saat tiba di apartemen, Ayu mengemasi semua barang miliknya, lalu menyalakan tungku api.

Foto pernikahannya dengan Seno, foto keluarga mereka bertiga, dan hadiah-hadiah yang ia berikan setiap tahun kepada suami dan anaknya…

Semuanya Ayu lemparkan ke dalam api.

Ketika Seno pulang dan melihat pemandangan itu, pupilnya seketika mengecil.

Ia menerjang rasa panas, lalu meraih foto keluarga mereka dari dalam api. Tapi yang tersisa hanya setengah foto yang nyaris menjadi abu. Mata Seno memerah. “Ayu! Kamu gila! Semua ini kenangan keluarga kita! Kenapa kamu bakar?!”

Joko ikut marah dan terkejut. “Itu boneka favoritku! Kenapa mama bakar semuanya!”

Ayu menatap datar. “Bukannya Bibi Teresa sudah belikan kamu banyak mainan baru? Boneka-boneka ini sudah kamu buang ke gudang, kalau gak dibakar mau diapain?”

Wajah Joko memerah menahan emosi.

Ia memang sangat menyukai hadiah dari Teresa. Mana ada yang lama lebih bagus dari yang baru. Padahal boneka-boneka itu dijahit sendiri oleh Ayu…

Tangannya mengepal. Kemarahan membuatnya hilang kendali. Ia mendorong Ayu dengan keras sambil menjerit, “Mama jahat! Aku benci mama!”

Memeluk boneka baru, Joko berlari masuk ke dalam rumah sambil menangis.

Ayu terjatuh keras ke lantai. Tungku api terbalik, membakar lengan Ayu.

Namun Seno hanya memperhatikan Joko, tidak menyadari Ayu jatuh.

Saat ia tersadar, ia hanya berkata dingin, “Joko memang salah karena bersikap kasar terhadapmu. Tapi kamu juga terlalu berlebihan! Marah pun ada batasnya! Aku beri kamu waktu sehari untuk mengembalikan foto-foto itu. Kalau tidak, saat hari pernikahan nanti, kamu tidak perlu datang!”

Seno pergi dengan amarah.

Ayu tersenyum tipis.

Ini hanya memberinya alasan yang lebih mudah.

Jika ia tidak datang, maka Seno bisa dengan bebas menikahi Teresa.

Toh ia memang tidak berniat datang.

Saat Seno menikah dengan Teresa, ia akan naik kapal menuju pulau terpencil itu seorang diri.

Beberapa hari setelahnya, ayah dan anak itu sengaja mengabaikannya. Bertemu pun tak menyapa.

Ayu tidak peduli. Ia sudah mengemas beberapa pakaian yang tersisa. Segalanya sudah siap.

Besok, ia akan meninggalkan tempat ini.

Saat itulah Teresa mengirim sebuah foto.

Ayu membukanya, lalu pupilnya bergetar keras.

Itu adalah barang peninggalan satu-satunya dari nenek yang paling menyayanginya.

Di samping barang itu, tampak sebuah tungku api.

Ayu langsung meneleponnya. “Teresa! Apa yang kamu lakukan!”

“Datang temui aku. Kita buat kesepakatan.” ucap Teresa dengan nada mengancam.

Ayu bergegas keluar rumah. Namun di tengah jalan, tengkuknya dihantam keras. Tubuhnya tumbang.

Dalam kesadarannya yang menipis, suara terakhir yang terdengar adalah suara Teresa. “Ikat yang kuat. Jangan biarkan dia kabur.”
この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 21

    Di tengah kesadarannya yang kabur, Seno merasa seolah berada di sebuah pulau.Saat ia masih kebingungan, seorang perempuan mengenakan gaun panjang berjalan keluar dari halaman. Tangannya membawa keranjang bunga, senyumnya cerah dan memesona. Bahkan pekerjaan mencabut rumput yang paling membosankan pun ia kerjakan sambil bersenandung kecil.Seno hanya bisa bersembunyi di sudut, menyaksikan Ayu yang begitu cerah… begitu bahagia.Untuk pertama kalinya, Seno merasa dirinya hanyalah seekor tikus yang tersesat di selokan gelap.Dihantam oleh kenyataan yang begitu kejam.Ternyata… setelah meninggalkan dirinya, Ayu bukan hanya tidak kesepian, bahkan hidupnya penuh, hangat, dan benar-benar bahagia.Hanya dirinya… dirinya saja… yang terperangkap dalam cinta ini, tersiksa tanpa henti, jatuh, tercekik, tanpa jalan keluar.Saat sedang linglung, seorang pria berjalan menghampiri Ayu, menyapa dengan ramah.Mata Seno memerah. Ia berlari menerjang ke arah mereka.“Itu istriku! Kekasihku! Aku tidak meng

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 20

    Seno langsung pergi ke rumah sakit.Operasi Joko berjalan sangat baik, hanya saja ia masih belum sadar.Perawat berkata, “Anaknya mungkin sementara tidak mau bangun.”Seno menggenggam erat tangan Joko, lalu meletakkan boneka beruang kecil di sisi bantalnya. “Joko… ini semua salah papa.”Dialah yang menjerumuskan Joko, menghancurkan hidup anak itu, dan juga menghancurkan Ayu.“Aku akan membawanya kemari… kalau dia bersedia menemuimu.” ucap perawat rumah sakit.Setelah itu, Seno bangkit dan menuju kantor polisi.Sesaat sebelum ia melangkah masuk, telapak tangannya sudah penuh keringat dingin.Ia tidak tahu… apakah Ayu masih mau kembali.Masih mau menemuinya atau tidak.Bagaimanapun, dirinya sekarang sudah tidak punya kelayakan apa pun. Tidak punya posisi, tidak punya hak.Jika Ayu memilih pergi, ia bahkan tidak akan mencoba menahannya.Karena melepaskan… adalah satu-satunya hal yang masih bisa ia berikan padanya.Setelah berkali-kali menata mentalnya, barulah Seno berani melangkah masuk

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 19

    Orang tua Wiratama tertegun mendengar pertanyaan itu, seolah kalimat tersebut membuat mereka benar-benar kebingungan.Ayu menghindari tatapan, lalu tiba-tiba menekan dada.“Aduh... sakit sekali... Ayah! Ibu! Cepat antar aku ke rumah sakit, sakit lambungku kambuh lagi!” ucap Teresa.“Ke rumah sakit untuk mengungkap bahwa kamu memalsukan kanker lambung?” ucap Seno.Ibu Wiratama langsung berdiri. “Seno, Yang masuk ke perut bisa dikeluarkan, yang masuk ke hati susah dikeluarkan! Teresa mengidap kanker lambung itu adalah hal yang kami semua tahu!”Ayu juga terus terisak. “Seno, apa kamu sedang stres sampai berhalusinasi? Mana mungkin aku memalsukan kanker lambung.”Seno memutar rekaman telepon Teresa di depan semua orang.Terutama bagian ketika Teresa mengakui sendiri bahwa ia berpura-pura mengidap kanker dan fakta bahwa ia menculik Ayu.Ayah dan Ibu Wiratama tampak sangat terkejut, Ibu Wiratama bahkan hampir pingsan seketika. “Dosa besar... ini dosa besar...!”Ia menepuk-nepuk pahanya, men

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 18

    Begitu menerima kabar, Seno terburu-buru bergegas ke rumah sakit, namun langsung dihalangi di depan ruang operasi.“Pak Seno, tolong tenang dulu!”Sudut matanya memerah.Maafkan aku, Ayu… aku lagi-lagi gagal melindungi anak kita.“Bagaimana keadaan Joko sekarang?” tanya Seno.Perawat menatap pria yang berdiri di depannya, kebingungan, putus asa, tubuhnya bergetar tanpa bisa dikendalikan.Dulu ia tampan dan gagah.Sekarang tubuhnya kurus, wajahnya pucat, mata cekung, lingkar mata menghitam.Kelelahan dan rasa mati membuat kilau hidupnya hampir hilang total.Perawat itu akhirnya menghela napas. “Keadaan Joko sangat buruk. Kepalanya mengalami benturan parah. Ada kemungkinan… ia bisa menjadi vegetatif.”Mata Seno memerah seperti direndam darah. “Waktu itu perawat jaga di mana? Mana suster-suster rumah sakit ini? Kenapa tidak ada yang mengawasi dia?!”“Pak Seno… saat itu Joko sedang ditemani oleh pihak keluarga.” jawab perawat rumah sakit.“…Siapa?” tanya Seno.“Teresa Wiratama, bibi Joko.”

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 17

    Seno juga tidak pernah berhenti mencari Ayu.Video dirinya berlutut di depan kamera, memohon Ayu memaafkannya, tersebar sampai ke seluruh dunia.Komentar dari warganet bermacam-macam, ada yang iri pada ketulusannya.Ada yang mengecamnya sebagai pria brengsek yang pura-pura setia.Ada yang menghujat sejadi-jadinya.Namun Seno sama sekali tidak peduli.Yang ia pikirkan hanya satu: bagaimana membuat Ayu melihatnya, bagaimana membuat Ayu memaafkannya.Setiap malam, saat ia teringat waktu Ayu yang terus berkurang…terbayang Ayu meringkuk kesakitan karena kanker lambung, ia selalu terbangun dengan napas tersengal, tak bisa tidur lagi.Lembaran kalender terkoyak satu per satu.Rasa takut yang tak berwujud itu menyebar perlahan dari dasar hatinya…menekan dada Seno sampai ia sering kali merasa sesak.Sesekali, Teresa datang.Meski ia terus menjelaskan bahwa ia benar-benar tidak tahu soal kanker Ayu, tapi bagi Seno, semua itu sudah tidak penting.Jika sejak awal ia tahu Ayu sakit… ia tidak akan

  • Pertemuan Adalah Alur Takdir   Bab 16

    Wajah Teresa seketika memucat. “Seno, aku… aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”Ibu Wiratama juga membelalakkan mata. “Kanker apa? Seno, kamu jangan sampai tertipu oleh anak itu! Ayu sehat-sehat saja! Mana mungkin kena kanker? Jangan karena dia hilang, kamu jadi percaya apa pun!”“Iya!” Ayah Wiratama menimpali dengan panik. “Anak kurang ajar itu cuma iri pada Teresa! Mana mungkin kakak beradik kena kanker bersamaan? Itu konyol!”Iya, memang konyol.Jika saja itu bohong, Seno lebih berharap daripada siapa pun bahwa hal itu tidak benar.Tapi sayangnya… itu kenyataan.“Ini hasil pemeriksaan rumah sakit milik Ayu.” ucap Seno sambil mengeluarkan lembar pemeriksaan yang baru dicetak ulang.Begitu Orang tua Wiratama melihat empat kata “kanker lambung stadium akhir”, wajah mereka langsung pucat seperti kapur.Ibu Wiratama limbung, jatuh terduduk di lantai.“Tidak mungkin… tidak mungkin!”Melihat bukti sudah tak bisa dibantah, mata Teresa memerah seketika.“Bagaimana bisa begini? Aku… a

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status