“Mama! Mama bangun!”Aku mengerjapkan mata, membukanya perlahan. Loh, kok wajah Reza mengecil dan imut banget? Aku mengucek mataku lalu membukanya kembali. Rupanya Thalita putriku yang aku lihat.“Thalita? Kok kamu di sini, Nak?”“Bangun, Mah. Kita sholat subuh. Mama, tidur terus, emang gak denger, ayam jantan berkokok? Tuh, dengerin ... ayam jantan punya Abahnya Alvin, aja udah manggil-manggil terus dari tadi, kok Mama, gak bangun-bangun, sih?” Thalita yang sudah siap dengan mukenanya, terus berbicara dengan nyaring.“Iya, Sayang. Mama, juga ini udah bangun, kok. Emang Thalita, mau sholat di sini?” Aku duduk, membenarkan letak mukena yang dipakai Thalita.“Iya, kata Papa Dokter, sholat berjamaah itu pahalanya banyak. Jadi, mulai sekarang Thalita mau sholat berjamaah aja,” ucap Thalita manja.“Yaudah, Mama ke air dulu, ya. Mau Ambil wudhu, Thalita tunggu bentar, ya?” Thalita mengangguk. Aku beringsut turun dari ranjang.Saat akan berjalan ke arah kamar mandi, mataku bersitatap dengan
“Dua-duanya,” ujar Reza semakin membuatku muak padanya.“Aku tidak janji. Ada Niar, yang akan menemani Thalita.”Reza yang sedang mengancingkan baju kemejanya, seketika berhenti dan mendekatiku.“Jangan selalu mengandalkan pengasuh untuk urusan anak. Dia hanya orang lain, dan kamu ibunya. Harusnya kamu yang berperan aktif mengawasi Thalita, bukan Niar.”Aku memutar bola jengah mendengar omelan Reza. Tidak ingin terus berdebat, aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan menikmati sarapan pagi.Rupanya Thalita sudah duduk manis dengan roti dan segelas susu di depannya. Sedangkan Niar, dia sedang membuatkan bekal untuk putriku. Melihatku datang, Niar langsung mencolek tangan Thalita, dan mengangkat dagunya ke arahku.“Mama, Thalita hari ini mau bawa bekal sarapan. Boleh, ‘kan?” tanyanya saat aku sudah duduk di sampingnya.“Kan, Thalita sudah sarapan, untuk makan pas istirahat, ya?” tanyaku balik. Thalita menggeleng.“Bukan, Ma. Untuk sarapan, teman-temanku.” Aku mengerutkan kening tidak m
Mobil yang kita tumpangi berhenti di depan gerbang sekolah Thalita.“Aku sekolah dulu, ya Ma, Pa!” ucap Thalita mencium punggung tanganku dan Reza bergantian.“Hati-hati ya, Sayang.”Thalita dan Niar turun dari mobil. Keduanya masuk ke halaman sekolah.Reza pun kembali menjalanakan mobilnya. Jika perjalanan tadi terasa ramai oleh ocehan Thalita, kini suasana sangat sunyi dan diliputi kecanggungan. Ini yang tidak aku suka jika hanya berdua dengan Reza. Dia itu es, tidak bisa memulai percakapan meski sekedar hanya basa-basi.Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas, melihat penampilan wajahku dari sana. Masih sedikit berantakan di bagian rambut, karena ulah lelaki es di sebelahku ini. Aku mengambil sisir kecil, dan meluruskan rambutku.“Kayak cabe-cabean, dandan terus.” Aku menoleh pada sumber suara, Reza dengan raut wajah datarnya masih fokus melihat ke depan. Tapi mulutnya, membuatku kesal. Enak saja, menyamakanku dengan cabe.“Kalau punya mulut itu dijaga, jangan sembarangan bicara.
Suara pintu diketuk, aku mempersilahkan masuk pada orang yang ingin menemuiku. Wajah Dion yang nampak setelah pintu terbuka.“Kau belum pulang, Al?”“Hm, aku belum ingin pulang,” jawabku tanpa menoleh. Aku terus fokus pada layar komputerku.“Ini sudah malam, tidak biasanya kamu akan bekerja sampai lembur begini. Apa ada masalah?”Aku menghentikan aktivitasku. Mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca. Ternyata benar, sudah gelap.“Aku ... sedang tidak ingin pulang. Masalahku ada di rumah. Itulah kenapa aku tidak ingin pulang,” kataku dengan pandangan mata kosong.“Gimana kalau kamu ikut denganku. Aku yakin, penatmu akan hilang seketika,” ujar Dion membuatku melihat ke arahnya.“Ke mana?” Bukannya menjawab, Dion malah mengarahkan jari telunjuk ke atas.“Ayo, ikut saja. Ke tempat favorite aku dan Mirza saat kita sedang merasa lelah dalam bekerja. Aku yakin, kamu akan suka,” ujar Dion lagi.Mendengar kata Mirza disebut, membuat aku penasaran akan tempat yang dimaksud Dion. Aku pun menga
“Kencan dengan seorang pria? Kau ingin balas dendam padaku, Aletta?!”Aku terus berjalan meskipun aku ingin bertanya darimana dia tahu kalau aku bersama seorang pria. Apa dia memata-mataiku?Kalau dia sadar, bahwa dia juga sering keluar dengan banyak wanita, kenapa juga harus marah saat tahu aku dengan pria lain di luar sana?“Aletta berhenti, kenapa kau sampai pulang selarut ini? Sudah aku bilang, jangan pulang malam.”Aku menghempaskan tangan Reza yang memegang lenganku.“Kalau kau saja bisa pulang larut malam, atau bahkan sampai pagi, kenapa aku tidak boleh?” tanyaku menatapnya sinis.Reza selalu mengaturku, tapi dia selalu semaunya sendiri. Kalau dia bisa, aku pun bisa melakukan apa yang aku mau.“Kau perempuan, seorang istri juga seorang ibu. Tidak sepantasnya kau menghabiskan banyak waktu di luar rumah, Al.”“Oh, karena aku wanita dan kau pria, jadi kau bisa seenaknya pulang dan pergi semaumu, begitu?!” tanyaku jengkel.Reza meraup wajahnya kasar. Aku meninggalkan dia dengan mas
Aku menguap dan merentangkan kedua tangan. Sepertinya, tidurku sangat nyenyak sekali. Sampai-sampai aku tidak mendengar suara adzan berkumandang.Ceklek!Suara pintu kamar mandi terbuka. Mataku membulat saat melihat Reza keluar dari sana. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumah, terus juga kenapa dia bisa ada dalam kamar, bukannya aku sudah menguncinya dari dalam?Dengan santainya Reza berjalan menuju lemari pakaian. Dengan menggosokan handuk kecil pada rambutnya, dia bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa semalam.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyaku. Reza membalikan badan dan melihatku yang kebingungan.“Emangnya aku harus di mana? Bukannya dari kemarin juga, aku di sini?”“Maksudku, kenapa kamu bisa masuk ke kamarku?”“Ini juga kamarku. Mas Mirza yang memberikan beserta segala isinya, termasuk kamu.” Aku mencondongkan badan ke belakang saat Reza menunjuk serta mendekatkan tubuhnya padaku.“Kau pikir aku barang yang bisa dilemparkan ke mana saja?” Reza menegakkan tubuh
Aku menarik napas lalu mengembuskannya kasar. Aku tidak boleh terpengaruh oleh gombalan dan rayuannya Reza. Tahan Aletta, harga dirimu lebih mahal dari sekedar ungkapan kata sayang.Aku berdiri hendak pergi, namun sebelah tanganku ditarik Reza hingga aku terjatuh dipangkuan Reza yang masih duduk di ujung meja rias. Kedua tanganku melingkar memeluk lehernya. Sedangkan tangan Reza, memeluk pinggang rampingku.Aku berusaha melepaskan diri tapi sulit, semakin aku bergerak, tangan Reza semakin erat memelukku.“Kamu sangat cantik, Al. Sudah lama aku ingin merasa lebih dekat denganmu.” Reza berucap dengan diakhiri senyum yang manis. Membuatku seperti ditaburi ribuan bunga mawar yang bermekaran.Ya Tuhan, aku harus apa, aku ingin lepas, tapi nyatanya hatiku menolak. Reza memejamkan mata, dengan wajah yang semakin mendekat.“Mama! Papa!”Reza berdiri, melepaskan tubuhku dengan sedikit mendorongnya hingga aku kembali terduduk di kursi meja rias.Ceklek!Pintu kamar terbuka, Thalita berdiri deng
“Ya Allah, Gusti ... benar juga kata istrimu Za, jangan-jangan kamu, astagfirullah jangan sampai ini terjadi padamu, Reza. Kamu harus segera periksakan kesuburanmu, Za. Kamu pasti punya banyak kenalan dokter, ‘kan? Kamu konsultasikan masalahmu dengan segera, Za!”Mama langsung bereaksi sangat kaget saat aku berkata yang mengarahkan kalau Reza yang bermasalah. Mama sampai memegang perut Reza dan memandangnya khawatir.Reza yang merasa tersudutkan, matanya melotot kearahku dengan meminta pembelaan. Aku yang melihat dia merasa tidak nyaman, malah membalasnya dengan senyum manis dan sesantai mungkin.“Ma, Reza tidak apa-apa, kok. Ini masalah waktu saja, nanti akan ada saatnya, Mama mendapatkan cucu lagi,” ujar Reza melihatku dan Mama bergantian.“Mama takut, Za. Apa benar kalian baik-baik saja, atau kamu lemah kali, Za.” Mendengar perkataan Mama, aku hampir saja terbahak. Segera aku menutup mulut yang sudah penuh dengan cemilan yang disuguhkan Mama.“Ya enggak, Ma. Mama ngaco, nih, udah a