Share

6. Kalap

PESAN WA DARI JANDA SEBELAH

Part 6

"Cukup!" Meisya memekik.

Plak!

Ia menampar pipiku keras.

Meisya membantu Sena untuk berdiri tegak. Lelaki itu memegangi area pinggir bibirnya.

"Ayo kita pergi." Kuraih tangan Marimar. Dan lekas mengajaknya meninggalkan kafe.

Sekilas, aku dan Meisya saling tatap. Namun, jarak yang terus memangkas membuat ia kembali fokus pada Sena.

*

"Mas, kok kamu milih keluar dari perusahaa itu sih?"

Baru saja aku dan Marimar tiba di rumahnya. Ia menanyakan hal yang memancing kembali emosiku.

"Kamu mau aku terlihat memalukan harus mengemis pada Bos kepar4t itu?" jawabku sembari bersandar di sofa.

"Bukan gitu, Mas. Terus kamu kerja di mana lagi dong? Sekarang nyari kerja susah, Mas. Dan di situ salah satu perusahaan yang gajinya gede." Marimar terus saja mengomel. Membuat kepalaku makin pusing.

"Nanti aku cari kerja yang lain lagi. Sekarang aku mau selesaikan masalahku sama Meisya dulu." Kuhela napas lantas mengembuskannya ke udara. Agar sedikit mengurangi beban di kepala.

"Tapi kamu janji ya sama aku. Kamu akan ceraiin Meisya dan nikah sama aku. Aku takut warga bakalan curiga kalau kita terlalu dekat begini."

"Kalau untuk itu, aku harus pikirin dulu. Kamu tahu 'kan aku punya anak sama Meisya. Nggak mungkin aku ngebiarin anak aku kehilangan sosok seorang Ayah."

Marimar seketika langsung duduk menghadap ke arahku. Matanya menyorot tajam seolah menutut jawaban.

"Nggak, aku nggak bisa diginiin. Itu artinya, sama aja kamu mempermainkan aku, Mas. Kamu kasih harapan ke aku, tapi sekarang kamu malah nggak mau pisah sama Meisya. Aku nggak terima, kalau kamu nggak mau nikahin aku. Aku bakalan teriak sekarang, biar warga ke sini buat nangkap kamu."

"Maksud kamu apa?!" Situasi rumah Marimar yang sepi. Membuat suara kami berdua berdengung jelas.

"Aku bakalan buat warga ke sini untuk nangkap kamu karena mencoba mau memperk0sa aku."

Aku menyentak napas. Kelakuan macam apa yang dilakukan Marimar. Dia mau mencoba-coba menjebakku sekarang.

"To …."

"Sstt!" Kubungkam mulut Marimar hingga teriakannya tertahan.

Nekat sekali dia. Bisa malu nanti kalau sampai warga menemukan aku di sini apalagi karena tuduhan konyol yang sengaja dilontarkan Marimar.

Argh! Kenapa jadi ruwet begini!

"Gimana? Masih belum mau ceraiin Meisya?" tukasnya terus menuntut.

"Iya, iya, aku bakalan pisah sama dia! Puas kamu!"

Dengan paksa aku iyakan. Agar wanita ini tidak terus-menerus merengek seperti anak kecil.

Toh aku juga berpikir, apakah Meisya masih mau menerima dan memaafkan aku. Tapi, jika semua menyangkut tentang kebahagiaan anak. Pasti Meisya mau kembali sama aku. Dan masalah sama Marimar, biar nanti aku pergi secara pelan-pelan darinya.

"Kamu lihat situasi di luar dulu. Aku mau pulang." pintaku. Karena lama kelamaan aku merasa tak nyaman di sini. Terlebih lagi, pakaian minim yang dikenakan Marimar membuatku kadang menelan saliva. Wajarlah, karena bagaimanapun aku lelaki normal.

"Kok buru-buru pulang sih Mas, ini masih siang loh. Oh aku tahu, jangan-jangan kamu mau amanin surat-surat berharga di rumah itu 'kan? Kalau iya, cepetan sana. Mumpung Meisya belum pulang." Marimar sumringah.

Surat-surat apa? Aku yang cuma bawa baju saat menikah sama Meisya harus bersiap didepak kalau aku nggak bisa balik lagi sama dia. Tentu aku cuma membatin. Tak mungkin hal ini kukatakan pada Marimar. Bisa-bisa, dia akan langsung mencekikku saat ini.

Setelah memastikan situasi aman. Aku lekas ke luar dari rumah Marimar dengan motorku.

*

Yuli, pengasuh Arga sedang bermain bersama putra semata wayangku di area ruang tamu.

"Yul, kamu kerjain yang lain aja. Biar saya yang momong Arga," kataku.

"Baik, Pak." Yuli beringsut ke belakang.

Lekas kubawa Arga ke dalam kamar.

Beberapa mainan bola dan boneka kecil kuletakan di dekat Arga. Anak ini anteng sekali. Jarang menangis, kecuali pas lagi sakit saja.

"Arga, nanti bujuk mamamu ya, biar mau maafin Papa. Bentar lagi mamamu pulang." Aku mengobrol pada bayi yang baru belajar duduk tersebut.

Ia hanya bergumam tak jelas. Sambil sesekali mengarahkan bola kecil ini ke mulutnya.

Sudah beberapa jam aku menunggu. Meisya belum pulang juga. Padahal, jarum jam sudah pukul 5. Tapi dia belum kelihatan batang hidungnya sampai saat ini. Ngapain sih dia sama Sena? Meresahkan!

Karena lelah, dan Arga sudah waktunya minum susu. Kuserahkan ia kembali pada Yuli. Dan aku membersihkan diri kamar mandi.

*

Kudapati Meisya sedang sibuk memasukan pakaian ke dalam koper.

"Meisya, kamu ngapain?" tanyaku baru saja ke luar dari kamar mandi.

"Aku nggak mau kamu tinggal di rumah ini lagi. Sekarang, aku mengusirku, Mas!" ketusnya makin cekatan memasukan baju-baju itu.

Aku mendekat. Lalu merangsek dan mengunci tubuh Meisya di dinding.

"Apa? Kamu mau ngusir aku? Jangan pernah mimpi Mei! Aku akan melakukan apa pun, agar kita tetap bersama." bisikku penuh penekanan.

"Jangan macam-macam kamu, Mas. Lepaskan aku!"

Ia berontak. Mencoba bergerak namun tak bisa. Tenaga Meisya jelas tak sebanding denganku.

"Mau macam-macam seperti apa pun. Kau masih istriku, Mei. Tidak ada yang berani melarang." Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Terpaan napas hangat Meisya menyentuh kulitku.

Jikalau pun ini menjadi yang terakhir. Biarkan benihku tertanam lagi dalam rahimnya.

Srek!

"Jangan, Mas!"

Bersambung

Jangan lupa komen dan love. Biar bisa menangin koin emas ❤️😍

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status