Kesadaran Laras sedikit demi sedikit mulai pulih. Gadis itu mengucek matanya yang masih terasa lengket. Tangannya menyentuh kepalanya yang terasa pusing.
Beberapa kali gadis itu menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya sendiri."Di mana aku?"Matanya mulai mengamati setiap sudut ruangan tempatnya berada."Ini bukan kamarku."Gadis itu melonjak kaget ketika melihat bahwa dirinya berada di ruangan yang asing."Tidak, ini bukan kamarku."Dia memeriksa tubuhnya sendiri. Pakaiannya masih utuh, berarti dia masih aman."Apa yang terjadi? Tidak, aku harus pergi dari sini sebelum mereka menyakitiku."Gadis itu bangkit dari tempat tidur dan melangkah turun."Auw! Kepalaku pusing sekali. Pasti ini efek dari obat yang mereka berikan padaku." Laras kembali memegangi kepalanya yang terasa pusing."Aku harus ke luar dari tempat ini."Dengan tertatih, dia berjalan ke arah pintu. Laras menarik handel pintu."Ah, untung tidak terkunci."Sembari menunggu wanita yang Dino maksud, Laras tetap duduk di tempatnya. Kakinya masih terasa sakit untuk menapak."Minumlah!" Dino menghidangkan teh manis pada Laras."Terima kasih, Mas.""Aku yakin keluargamu pasti akan sangat khawatir dan mereka pasti mencarimu.""Keluargaku tidak akan tahu kalau aku di sini. Mereka di kampung.""Bukankah kamu tadi bilang kalau kamu tinggal di kota?""Ya, tapi tidak dengan keluargaku. Aku tinggal bersama kakak tiriku dan mantan suaminya."Wajahnya berubah sedih saat mengingat Bram. Laki-laki itu pasti akan sangat mengkhawatirkannya."Kakak tiri? Mantan suami?""Ya. Kakak tiriku dan suaminya sudah bercerai, tapi karena sesuatu hal, mereka kembali tinggal dalam satu rumah.""Kok aneh? Apa tidak apa-apa seperti itu? Bahkan kamu sendiri tinggal bersama mereka?""Ya. Aku sudah mencoba untuk pergi dan mencari tempat kost, tapi tidak boleh.""Apa alasannya?"Laras menatap pria yang masih duduk di kurs
Bram mencoba menghubungi semua teman-teman Laras yang dia kenal, tapi tidak satu pun yang mengetahui keberadaan gadis itu.Bram kembali menghubungi Rere yang masih berada di rumah Sakit. Entah apa yang dilakukan wanita itu di Rumah Sakit. Padahal luka yang dia derita tidaklah parah. Jangankan parah, Rere hanya mengalami luka lecet saja di bagian lututnya, tapi wanita itu meminta dirawat inap."Sekarang juga kamu pulang!" ucapnya dari telepon."Aku belum bisa pulang sekarang, Bram. Aku langsung ada pemotretan.""Bukankah kakimu masih sakit?""Sudah tidak lagi.""Kalau begitu aku tunggu di rumah.""Tapi, Bram-""Tidak ada bantahan. Aku tunggu sekarang atau jangan pulang untuk selamanya."Bram langsung mematikan teleponnya. Pria itu merasa kesal dengan Rere."Bagaimana, Bram? Apakah istrimu mau pulang?""Dia bukan istriku. Dia hanya wanita yang tidak seharusnya aku nikahi.""Lalu bagaimana sekarang?""Mico akan datang. Dia yang akan m
Sudah hampir seminggu ini Laras menghilang. Pencarian yang mereka lakukan sia-sia dan tidak membuahkan hasil sama sekali, tapi Bram tidak putus asa, dia yakin kalau Laras akan kembali suatu saat nanti. Selama itu juga, Rere lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah seperti biasanya. Bahkan dia jarang pulang ke rumah karena Bram selalu menghindarinya.Malam ini adalah malam Minggu. Bram duduk santai menonton acara TV. Pria itu tidak ada acara seperti malam Minggu saat masih ada Laras. Dia hanya duduk menikmati kopi yang dibuatnya sendiri."Kenapa rasanya berbeda, padahal kopi yang sama?" ucapnya setelah menyeruput kopi dalam cangkir.Sejak kehadiran Laras, Bram suka meminum kopi. Padahal sebelumnya dia sangat jarang menikmati minuman itu.Terdengar pintu dibuka dengan kasar."Pasti wanita itu sudah pulang."Benar saja dugaan Bram. Rere berjalan masuk dengan sempoyongan ke arahnya."Sudah berapa kali aku memperingatkanmu, Rere? Jangan pernah sentuh minu
Bram membuka pintu secara perlahan dan mulai masuk. Matanya terbuka lebar saat melihat posisi tubuh yang ada di atas tempat tidur.Rere sedang terbaring di atas kasur dengan sprei berwarna putih. Pengaruh minuman membuat tubuhnya terasa panas sehingga wanita itu melepas pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian dalam saja.Degub jantung Bram semakin kencang dan cepat seperti gendang yang saling bersahutan. Dengan sedikit ragu dia melangkah mendekat. Sebelum memulai aksinya, matanya kembali menatap ke arah pintu. Di mana Lika dan Joy mengawasinya.Kode tangan dari Lika mengharuskan dirinya menyentuh tubuh sexy milik mantan istrinya. Tubuh indah itu yang dulu pernah dia miliki seutuhnya. Kini dia enggan untuk menyentuhnya lagi.Jujur, dia juga adalah lelaki normal. Meski pikiran dan nalarnya menolak, tapi pandangan mata dan naluri lelakinya membujuk untuk mendekat."Bram," Panggil Rere saat melihat bayangan mantan suaminya mendekat.Antara sadar dan tidak sadar,
"Kita mulai dari mana?""Dari arah utara saja."Bram dan Joy sudah berada di pinggiran kota. Pagi ini setelah rapat kantor, mereka langsung mencari keberadaan Laras."Bram, apa tidak sebaiknya kita mulai dari tempat mayat itu ditemukan? Aku yakin Laras ada di desa sekitar sana.""Baiklah, kita mulai dari sana."Mereka benar-benar mendatangi tempat itu. Tempat di mana Laras pernah disekap oleh para penculik. Berjalan sangat hati-hati dan was-was dengan mata beredar ke seluruh penjuru."Joy." Bram menyentuh lengan Joy, bukan karena takut, tapi mereka memang harus waspada."Aku rasa tempat ini menjadi tempat favorit para penjahat. Tempat ini sangat jauh dari penghuni lainnya." Joy mengedarkan mata meneliti tempat itu."Aku rasa juga seperti itu. Kita cepat pergi dari sini, napasku terasa sesak! Terlalu kotor!"Bram ke luar lalu mengibaskan pakaiannya dengan tangan. Tempat itu memang sangat berdebu dan kotor.Jalanan kecil menjadi target utama pen
"Bram!""Apa kalian masih tidak mau mengatakannya?" Bram menatapnya lekat."Gadis itu tidak ada di sini.""Baiklah, kalau memang itu mau kalian. Joy, panggil orang-orangmu dan suruh mereka ke sini!" Bram sudah mulai kehilangan kesabarannya."Tapi, Bram-" Joy masih ragu dengan apa yang Bram lakukan."Joy!""Aku akan mengantar kalian menemuinya.""Bu!" Dino menatap ibunya tidak percaya.Wanita itu membalas tatapan putranya dengan senyum tipis dan anggukan kecil."Kami akan menutup warung ini sebentar, baru mengantar kalian menemui gadis itu.""Baiklah. Aku akan membantu membereskannya."Bram dan Joy membantu mereka membersihkan dan membereskan warung makan setelah tidak ada pengunjung. Melihat ketulusan mereka berdua, Santi yakin kalau mereka adalah orang baik.Setelah semua beres dan warung tutup, mereka mengikuti Santi dan Dino menuju sebuah rumah sederhana."Apa ini rumah kalian?""Ya, ini rumah kami. Silakan!""Rumah yang
Bram dan Joy pulang tanpa Laras karena ada sesuatu yang akan mereka lakukan malam ini. Hanya saja saat ini mereka harus menyiapkan segalanya sebelum mereka bergerak.Bram dan Joy melangkah dengan cepat menuju ruangan yang ada di sudut ujung. Langkahnya seperti telah terjadi sesuatu yang genting."Sebentar!"Bram memperlambat langkahnya, tangannya mengambil ponsel miliknya."Rere?" ucapnya."Jawab saja!""Halo.""Bram, kamu di mana?""Aku sedang di kantor. Ada apa?""Aku hanya mau bilang kalau malam ini aku ada acara pemotretan.""Bukankah memang selalu ada pemotretan? Kenapa baru kali ini kamu ijin padaku?""Bram.""Ya, sudah. Pergilah!"Bram langsung menutup pembicaraannya."Selalu saja seperti itu. Banyak alasan yang tidak masuk akal.""Ayok, sudah ditunggu!"Bram kembali berjalan dan mereka masuk ke dalam ruangan itu."Bram, Joy. Duduklah!""Ada apa, Mico?""Semua bukti sudah jelas dan sudah ada di tangan
Bram menginjak pedal remnya sangat dalam sehingga kendaraannya berhenti secara mendadak.Duk!"Ah, sial!" Kepala Joy beradu kambing dengan dashboard mobil."Apa tidak bisa kamu menghentikan mobilmu dengan pelan-pelan, Bram?" Joy kesal. Tangannya mengusap kepalanya yang sakit."Jangan salahkan aku! Kamu yang membuat aku terkejut.""Tapi kamu tidak harus menghentikan secara mendadak," balas Joy."Jangan bawel! Ada apa?""Apa kamu tidak tahu kalau ada wanita yang lewat di depan mobilmu?""Wanita? Wanita apa?" Bram mengedarkan mencari wanita yang Joy maksud."Wanita. Tadi ada wanita yang melintas di depan mobilmu." Joy juga mencari bayangan wanita yang tadi dia lihat."Tidak ada wanita di sini. Hanya ada kita berdua. Lagi pula ini jalanan sepi, tidak ada rumah di sekitar sini." Mata Bram masih beredar."Bram, kamu jangan macam-macam!"Joy mulai merinding sendiri. Bulu kuduknya mulai berdiri dan dia mulai mencengkeram lengan Bram. Mema