Share

Kecewa

Petaka Mendua

Part5

Ketukan pelan di pintu kamarku menggema, kuseka air mata, beringsut turun dari ranjang.

Kubuka pelan handle pintu kamar, sosok bu Hanum berdiri di depan pintu.

Ia memelukku, namun aku tak bergeming. 

"Maafkan Aisya, Nak. Mungkin saat ini dia khilaf, namun Ibu mohon! Jangan akhiri rumah tangga kalian." 

Tangis Ibu sambungku ini begitu terdengar lirih. Ia melonggarkan pelukannya, kemudian menatapku penuh harap.

Aku berusaha tersenyum, meski rasanya sesak didada.

"Apapun yang terjadi dengan rumah tanggaku, itu murni keputusanku, Bu. Tidak sehat, jika di paksakan pernikahan kami, namun hatinya bukan untukku." 

"Nak, wajar dalam pernikahan itu ada masalah, tujuannya untuk menguatkan, juga mendewasakan."

"Tidak untuk sebuah hati yang sudah tega menipu dan berselingkuh secara batin. Meskipun tidak dengan fisik."

Aku menghela napas berat. "Biarkan Aisya mencapai kebahagiaannya bersama Mas Yusuf! Bapak dan Ibu wajib memberi restu, restu orang tua adalah anugrah terindah setiap kehidupan anak-anaknya."

"Tidak ..., itu sama saja kami mendukung Aisya dalam kesalahan." Ibu menyeka air matanya.

"Ibu memberikannya nama Aisya, nama yang indah, harapan Ibu pada Aisya. Melihatnya tumbuh menjadi anak yang santun, bertutur kata lembut dan berhati baik. Asiya juga cantik. Namun hari ini Ibu teramat kecewa dan terluka, dengannya." 

Lanjut Ibu berkata dengan lirih, kemudian melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya, yang bersebelahan denganku.

Terdengar suara berpamitan keluarga mas Yusuf. 

Bapak kemudian berjalan masuk, menuju ke arahku berdiri di muara pintu.

"Karin, selama status kamu masih istrinya Yusuf, maka pulanglah Nak! Ikutlah bersama suamimu, bicarakan semua berdua dari hati ke hati."

Aku mengangguk, kemudian meraih tangan Bapak, dan mencium punggung tangannya.  

"Karin pamit, assallamualaikum!" kataku. 

"Wa'alaikumsallam, Nak." Bapak mengelus pucuk kepalaku yang berbalut kerudung putih. 

"Anak Bapak wanita yang kuat dan bijaksana! Bapak yakin, kamu bisa melewati semuanya dengan baik, Nak. Besok Bapak tunggu dirumah, setelah kamu dan Yusuf membuat sebuah keputusan."

"Iya, Pak. InsyaAllah," ucapku pelan. Kemudian melangkah pergi keluar rumah. 

Diluar, mas Yusuf berdiri menungguku, sedangkan Aisya, aku sudah tidak melihat batang hidungnya sama sekali.

Aku masuk ke dalam mobil, tanpa berucap sepatah katapun, jika biasanya Mas Yusuf yang diam, dan aku yang ngoceh. Kini sebaliknya, ia selalu berusaha membuka komunikasi, namun aku hanya menyahut seadanya.

Sesampainya kami di rumah, ternyata Ibu dan Bapak mertua berdiri diambang pintu.

Mas Yusuf nampak terkejut, begitu pula denganku.

Mas Yusuf memarkirkan mobilnya di samping mobil Bapak. Rumah minimalis milik kami, masih belum memiliki pagar.

Aku melirik jam tangan, sudah menunjukkan sore hari.

Kami berdua turun.

"Ummi, Abah! Bisakah kita jangan membahas apapun dulu?" tanya Mas Yusuf pelan.

"Cepat buka rumah kalian," sahut Ibu mertua dengan tatapan dingin.

Mas Yusuf tidak berani membantah mau pun bersuara lagi, ia bergegas membuka pintu rumah, aku pun mengekor masuk.

Merek semua duduk di ruang tamu, sedangkan aku, berjalan pelan menuju dapur.

"Karin, sini duduk dulu!" pinta Ibu mertua, aku pun mengurungkan langkahku, kemudian kembali berjalan menuju mereka. 

Kujatuhkan bobot tubuh perlahan diatas sofa tunggal.

"Yusuf, apakah kamu mencintai Karin?" tanya Ibu mertua.

Mas Yusuf terdiam.

"Jawab Yusuf, ini rumah tangga bukan mainan, Karin ini manusia, ia juga memiliki hati. Hati wanita mana yang tidak terluka, mengetahui suaminya mencintai wanita lain. Bahkan wanita itu, saudara tirinya sendiri."

Mas Yusuf menatap lekat wajah datarku.

"Karin, maafkan, Mas. Kamu istri terbaik, namun, hati mas untuk wanita lain, maaf!" Mas Yusuf berkata dengan menangkup kedua tangan didada.

"Terimakasih kejujurannya, mas. Seharusnya dari awal kamu lakukan, sebelum kita menikah! Jadi, aku tidak harus menyandang status janda di usia muda!" jawabku pelan, dengan hati yang teramat hancur.

Mendengar jawabannya, rasanya seperti dihantam palu godam. Hatiku hancur dan teramat sakit, sesak didada membuat aku kesulitan bernapas. 

"Luar biasa, kamu sukses melukai hati dua wanita. Hati Ummi dan hati Karin. Apa yang salah dengan kamu, Ummi mendidik kamu menjadi laki-laki yang bertanggung jawab! Namun kamu memilih menjadi seorang pecundang." 

Mas Yusuf hanya terdiam menunduk.

"Tidak apa Ummi, mas Yusuf lelaki baik, ia berani mengakui perasaannya yang sebenarnya ia rasakan.

Mungkin ini cobaan buat Karin, mereka berdua tidak salah. Karin tidak marah mau pun membenci mereka, hanya saja Karin kecewa! Seakan merasa tertipu selama ini."

"Karin, jangan benci Aisya! Semua ini murni kesalahan, Mas."

Mendengar penuturannya, aku kembali merasa di tusuk-tusuk dengan belati. Sakit namun tidak berdarah. Teramat cintakah ia dengan Aisya, sehingga begitu mencoba melindunginya, dari kemarahan kami semua.

"Sudah Karin katakan, tidak ada benci untuk kalian, hanya rasa kecewa."

"Kami sebagai orang tua, sudah memberikan yang terbaik untuk kamu, Yusuf. Namun sepertinya kamu kurang menyadarinya. Jangan sampai kamu menyesal, membuang berlian demi krikil jalanan."

"Ummi, Aisyah wanita soleha, ia manis, bertutur kata lembut. Aisya sama baiknya seperti Karin," sahut mas Yusuf.

"Anakku, Yusuf. Kamu Ummi sekolahkan hingga ke jenjang S1 dan mendapatkan nilai terbaik yang menunjukkan kamu pintar! Namun mengapa kali ini sebaliknya, Nak. Wanita yang baik budi pekertinya, santun akhlaknya, tidak akan mendekati suami orang, apapun alasannya."

"Ummi, jangan menilai seseorang dari hal seperti ini. Cinta itu tidak mengenal kasta, rupa mau pun status." 

"Astaghfirullah, Abah, Ummi menyerah! Karin pantas menceraikan anak ini, sebaiknya kita pergi dari sini, Ummi teramat kecewa dengan Yusuf."

Aku berdiri dengan cepat, mendekati Ummi yang juga sudah berdiri, bersiap untuk pergi.

"Ummi, tolong jangan marah! Meskipun Karin akan berpisah dengan mas Yusuf, Karin akan tetap menyayangi kalian berdua." 

Ummi menatapku terharu, kemudian ia memelukku erat.

"Gadis malang, maafkan Ummi, Nak." 

Tangis Ummi pecah dalam pelukanku, aku mencoba menahan diri untuk tidak ikut menangis, aku harus kuat melawan garis takdir hidupku.

❤️ Terimakasih ❤️

Jangan lupa komentarnya dong! Biar makin semangat 😘😘

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Isabella
bagus suka dg para orang tua yg ada di tokoh ini tidak ada yg membantu yg salah . tetap adil
goodnovel comment avatar
Diana Chaniago
bagus ceritanya Thor
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Udah salah msh terus dibela2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status