Bab Bonus Hadiah : 1/3. Terima kasih untuk hadiahnya ...
BOOOM!Umbryx menghantam batu keras, menciptakan cekungan raksasa. Tapi meski tubuhnya tampak hancur, bayangan tetap bergeliat di sekitarnya, seperti roh penasaran yang tak rela mati.“Belum... selesai…” geramnya.Sementara itu, Viridion muncul kembali, menyeringai dari balik kabut hijau yang ia pancarkan.“Sekarang... waktunya kita berdansa, pewaris naga…”Kevin menatap ke kiri dan kanan. Valkyrie masih terlibat duel sengit dengan Frostbane. Umbryx bangkit lagi dengan tubuh separuh bayangan. Dan Viridion... kini perlahan menyebarkan racun spiritual ke tanah dan udara.“Tiga lawan dua, ya?” gumam Kevin, menyeringai. “Aku suka tantangan.”Aura surgawi di tubuhnya kini bersinar lebih terang. Pedang dan pistolnya membentuk formasi silang, dan dari dalam jiwanya, suara naga kuno meraung keras—menuntut pembebasan.Langit Pulau Neraka seolah telah mengerti: medan ini bukan lagi sekadar tanah terkutuk, melainkan panggung perang antara kehendak langit dan kutukan purba. Di tengah kekacauan au
Kabut racun belum sepenuhnya tersingkir saat suara berat itu menggema, terdengar bukan dari tenggorokan manusia, melainkan dari kedalaman perut Pulau Neraka itu sendiri. Suara yang dalam dan bergema seolah berasal dari lorong-lorong neraka yang tak berujung.“Kami telah diperintah untuk menguji kalian,” ucap Umbryx dengan suara yang menyatu dengan kegelapan. “Jika kalian tak mampu melewati kami… maka kalian tak pantas menemui Dewa Wajah Iblis.”Kata-kata itu tak sekadar ancaman—ia adalah hukum. Di tempat seperti ini, logika tunduk pada kekuatan. Dan lima sosok di hadapan Kevin bukan sekadar penjaga... mereka adalah gerbang ke dalam kutukan sejati.Kevin mengangkat wajahnya sedikit. Di bawah cahaya merah darah dari langit yang mendidih, ia tersenyum.“Sayangnya, aku tidak datang ke sini untuk tunduk.”Tangan kanannya perlahan mencabut Pedang Dewa Ilahi, bilahnya menyala dengan aura surgawi yang menusuk udara, membuat kabut meringkuk ketakutan. Dari tangan kirinya, Arcana Eagle muncul—p
Pulau Neraka bukan sekadar daratan mati yang terbujur di ujung Samudera Kahyangan—ia adalah entitas kuno yang tidak pernah benar-benar tertidur. Pulau itu tidak dibangun, tidak pula ditemukan. Ia dilahirkan dari bencana, ditumbuhkan oleh dendam kuno, dan dihidupi oleh kutukan yang menolak lupa. Setiap retakan di tanahnya bukan sekadar goresan, tapi luka sejarah, yang masih membara dari amarah zaman yang telah lewat.Tanah hitam itu diam, terlalu diam, namun dari kediaman itulah sebuah kesadaran membisik: "Aku melihatmu."Tidak ada suara burung. Tak ada desir angin. Bahkan suara langkah sendiri terasa seperti pengkhianatan terhadap kesunyian. Diamnya tempat itu—terlalu mutlak—hingga terasa seperti lubang hitam yang menyedot suara, rasa, bahkan kewarasan.Langit di atas mereka bukan hitam, tapi abu legam yang seolah terbuat dari debu tulang. Di sela-sela gumpalan awan gelap itu, semburat merah tua mengalir lambat seperti darah beku yang tak lagi memiliki nadi. Tak ada bintang. Tak ada b
Aurora Vanta meluncur perlahan seperti mimpi buruk yang tersesat di antara dunia. Kapal itu mengapung di atas permukaan laut yang berwarna sehitam tinta tumpah, menyusuri jalur kabut yang tak pernah diam. Di sekelilingnya, dunia seperti telah berhenti bernapas. Setiap helai kabut tampak hidup, menyentuh tubuh kapal dengan sentuhan dingin seperti jemari hantu yang menyelinap ke dalam tulang.Di buritan kapal, mesin spiritual tua menggeram lemah, seperti makhluk tua yang terengah-engah menuju ajal. Roda energi di bawah dek hanya memutar karena kehendak terakhir formasi pelindung yang kini berkerlip tak stabil—seolah sebuah lilin yang terancam padam oleh hembusan kematian.Langit di atas mereka berubah bentuk. Awan-awan menggulung liar, bukan hanya bergerak—melainkan menjulur ke bawah, seperti tangan langit yang ingin mencengkram kapal dan menyeretnya ke dasar dunia yang terkutuk. Dalam angin laut yang dingin dan asin itu, suara-suara muncul. Bukan dari burung atau makhluk hidup… tapi dar
Valkyrie berdiri tegap di atas pilar meriam utama Aurora Vanta, rambut peraknya berkibar liar ditiup badai. Tatapannya tajam bagaikan pedang, penuh keteguhan yang tak pernah goyah.“Arashi Cannon—Typhoon Mode!!”Tombaknya terangkat tinggi, berputar dengan kecepatan luar biasa hingga membentuk pusaran angin yang menggigit udara. Segel-segel surgawi muncul di sekelilingnya, menyala dengan warna biru es dan putih keperakan. Suara siulan angin berubah menjadi auman badai.Dalam sekejap, tembakan dilepaskan—gelombang tekanan angin raksasa yang berputar bagaikan topan surgawi meluncur ke depan, menembus kabut dan menghantam salah satu Leviathan dengan kekuatan yang bisa merobek dimensi.Makhluk laut itu—dengan tubuh sebesar pulau kecil—terlempar dari permukaan laut, melambung ke udara seperti batu ringan, sebelum jatuh kembali dengan suara BLAAARRGHH!! yang membuat laut mendidih sesaat.Namun dari kedalaman, makhluk yang paling tua, paling besar, dan paling mematikan—Leviathan bertanduk kris
Air laut mendesis, dan kabut mengencang hingga menyulitkan napas. Kevin melompat ke sisi kapal tanpa ragu. Matanya bersinar terang, aura naga mengalir di sekujur tubuhnya seperti sungai api biru yang meletup dari dalam tulang.“Heaven’s Gaze!” gumamnya, dan pupilnya melebar, berubah menjadi lensa bercahaya dengan pola lingkaran pusaran naga surgawi.Dari balik kabut laut… sesuatu mulai terungkap. Tidak hanya satu. Tapi tiga.Makhluk-makhluk laut raksasa perlahan muncul dari kedalaman hitam kelam. Tubuh mereka mengambang seperti gunung bergerak, kulit mereka hitam legam bersisik, penuh luka spiritual yang masih menyala kehijauan. Seolah-olah tubuh mereka telah bertarung dalam perang kuno dan menang… berkali-kali.Tiga pasang mata hijau menyala dari kegelapan.“Monster Samudera…” desis Kevin. “Tidak. Bukan sekadar itu.”Salah satu dari mereka—yang terbesar—menyembulkan kepala dari air, menampakkan tanduk kristal berkilau di dahinya. Energinya menggetarkan langit. Aura itu tidak bisa disa