Share

4. Pekerjaan Baru

Langkah pertama untuk mencapai suatu tujuan adalah memutuskan bahwa kamu mampu untuk memulainya dengan hal baru.

(Syakila Zanitha Firdaus – Pilot Pencuri Hati)

***

Syakila menemui pihak administrasi rumah sakit, menanyakan biaya yang diperlukan untuk pengobatan sang ayah

Saat ini Syakila hanya bisa membayar biaya pengobatan dan perawatan untuk dua hari saja dengan uang tabungannya. Ia tidak ingin sang ibu sedih memikirkan biaya untuk sang ayah. Beruntung ia selalu menyisihkan uang sakunya untuk ditabung.

Besok ia akan mencari pekerjaan setelah pulang dari kampus. Selain biaya pengobatan sang ayah, ia juga harus memikirkan biaya kuliahnya yang sebentar lagi skripsi dan membutuhkan biaya cukup banyak.

Alina, sang sahabat pernah menawarinya menjadi guru privat di lembaga bimbingan belajar milik tantenya. Apa salahnya ia mencoba menanyakannya lagi. Apalagi jurusan pendidikan yang ia ambil akan memudahkannya untuk menjadi pengajar.

“Apa kata pihak administrasi, Nak?” tanya Dita saat sang putri datang menghampirinya. Ia berada di samping brankar sang suami. Sepuluh menit yang lalu Dimas sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, meskipun belum sadarkan diri.

“Ibu tenang saja, aku sudah membayar biaya pengobatan dan perawatan ayah selama dua hari. Setelah itu,  baru kita pikirkan lagi biaya selanjutnya.

“Dari mana kamu dapat uang untuk  membayarnya? Bukankah ibu belum memberimu uang, Nak?”

Syakila menyengir sambil garuk kepala yang tidak gatal.

“Ditanya kok, malah nyengir,”ucap Dita geleng kepala. Ia tahu Syakila selalu berusaha membuatnya senang dan tidak banyak pikiran. Di saat hatinya gelisah dan khawatir hanya sang putri yang mampu menenangkannya.

“Alhamdulillah, Bu. Aku punya sedikit tabungan. Jadi bisa aku gunakan untuk biaya ayah, tapi maaf hanya cukup untuk dua hari,” ucapnya sambil tersenyum tulus.

“Ya Allah, Sayang. Maafkan Ibu dan Ayahmu, ya. Kamu menyimpan uang itu pasti kamu menginginkan sesuatu. Malah sekarang harus kamu relakan untuk biaya pengobatan Ayahmu,” ucap Dita sedih.

“Ngapain Ibu sedih? Aku sama sekali enggak sedih.  Aku malah senang bisa membantu kalian. Ibu jangan sedih, ya,” ucapnya sambil memeluk manja sang ibu.

“Terima kasih, Nak.”

“Jangan berterima kasih, Bu. Karena itu sudah tugasku sebagai putri kalian.”

Dita mengecup dahi sang putri cukup lama. Kebanggaan baginya dan sang suami mempunyai putri seperti Syakila. Syakila memang gadis  yang sederhana, tidak pernah meminta dan menuntut sesuatu pada kedua orang tuanya. Ia ceria dan mandiri. Sejak kecil, bila menginginkan sesuatu lebih memilih menabung daripada merengek.

Pagi ini Syakila harus berangkat ke kampus dari rumah sakit. Beruntung sang adik yang usianya terpaut lima tahun dengannya, mau mengantar pakaian ganti dan tasnya. Semalam ia tidak tega meninggalkan sang ibu sendirian di rumah sakit.

Dita dan Syakila bersyukur, Dimas sudah sadarkan diri saat azan subuh.

“Bu, Ayah. Aku pergi kuliah dulu. Nanti sepulang sekolah Fauzi juga akan ke sini,” ucapnya.

“Ya, Sayang. Hati-hati.”

***

Syakila menemui sang sahabat yang saat ini berada di perpustakaan kampus.

“Sya, gimana tawaranku kemarin? Tante Azizah nanyain ke aku terus. Anaknya itu enggak mau berangkat ke tempat bimbel. Ia maunya manggil guru privat gitu. Pembantunya sempat kebingungan, bocah kecil itu selalu merengek,” ucap Alina saat Syakila baru duduk. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Syakila tidak perlu bertanya, Alina sudah bertanya duluan.

“Sebenarnya aku lagi butuh uang untuk biaya pengobatan ayah dan juga biaya kuliahku, aku butuh uang secepatnya, Na. Kalau aku ngajar les privat gajiku pasti turunnya satu bulan lagi,” ucapnya lirih. Ia masih ragu mengiyakan tawaran Alina. Karena ia butuh uang itu cepat.

“Itu mah masalah gampang, Sya. Aku akan bicarakan sama Tante Azizah. Tanteku itu orangnya enggak repot, kok.”

“Beneran, Na?”

“Iya, kamu kan sahabatku. Kapan aku pernah bohong. Kamu juga sudah sangat kenal keluargaku ‘kan?”

“Iya, aku kenal semua keluargamu, tapi ini masalahnya aku enggak enak juga sama Tante Azizah harus minta gaji di awal.”

“Kami sangat  mengerti, kok. Kamu lagi butuh uang itu. Tante Azizah sangat menyukai kinerjamu saat dulu kamu pernah bantu dia.  Selain kamu itu pintar, kamu juga sabar dan telaten. Tidak seperti aku yang ceroboh. Lagian aku juga udah bantu di tempat bimbelnya.”

“Terima kasih, ya, Na. Kamu dan keluargamu sudah sering bantu aku.”

“Itulah gunanya sahabat. Aku tidak bisa bantu apa-apa lagi selain ini,” ucapnya tulus.

“Bantuanmu ini sudah lebih dari cukup buatku, ibu dan ayahku.”

***

Sepulang dari kampus Syakila dan Aina datang ke rumah Azizah. Kedatangan Syakila sangat ditunggu Azizah. Memang Syakila dan Aina sudah sering membantu Azizah saat tenaga pendidik di tempat bimbelnya berhalangan datang.

“Nak Syakila, Tante senang sekali kamu mau meluangkan waktumu dengan menerima tawaran Tante mengajar privat di rumah salah satu murid Tante,” ucap Azizah berbinar saat menyambut kedatangan Syakila.

“Iya, Tan. Lagi butuh uang, nih,” ucapnya sambil tersenyum. Syakila memang tipe gadis yang humoris yang tidak suka berbasa-basi. Apalagi pada keluarga Alina yang sudah sejak kecil mengenalnya.

“Iya, Sayang. Tante ikut sedih atas musibah yang terjadi pada ayahmu. Maaf, Tante belum sempat menjenguk.”

“Enggak apa, Tan. Yang penting doanya. Semoga ayah segera sembuh dan tidak bergantung dengan cuci darah,” ujarnya.

“Aamiin ... semoga, Nak.”

“Maaf, Tan. Mulai kapan saya harus mengajar anak itu?”

“Sebenarnya mulai hari ini, itu pun  kalau kamu bisa. Bocah cantik itu namanya Thania, ia tinggal bersama papanya. Kedua orang tuanya sudah berpisah sejak ia berusia satu tahun setengah. Saat ini ia diasuh pembantunya yang usianya sekitar enam puluh tahunan,” ungkap Azizah menjelaskan.

“What? Syakila akan jadi guru les privat anak pilot tampan itu, Tan?” tanya Alina heboh. Syakila memicingkan mata tidak paham dengan apa yang dikatakan sang sahabat.

“Iya betul, Syakila akan jadi guru les privatnya Thania. Putri pilot tampan yang kamu idolakan itu,” ucap Azizah tersenyum geleng kepala karena ulah sang keponakan.

“Tante, kok. Jahat banget. Kenapa enggak aku aja yang disuruh ngajar di sana?” ucap Alina pura-pura cemberut.

“Maksud kalian berdua apa, sih? Aku enggak paham ini.” Syakila hanya garuk kepala dengan aksi kedua wanita cantik beda usia di depannya.

“Enak kamu, Sya. Kamu bakal mengajar putri pilot tampan, duda keren yang udah bikin hatiku klepek-klepek,” ucap Alina menjelaskan sambil mengerucutkan  bibir pura-pura kesal.

“Iya, keren, tapi jutek, cuek, dingin sedingin balok es, dan  enggak tersentuh. Kalau pun Tante seusia kalian enggak akan mau sama dia. Daripada makan hati terus,” ucap Azizah menimpali.

“Ah, Tante enggak asyik,” ucapnya pura-pura kesal.

Azizah hanya geleng kepala. Ia tahu Aina hanya bercanda. Gadis itu memang masih labil untuk urusan percintaan, begitu pula dengan Syakila. Keduanya selama ini masih belum pernah berani berpacaran. Hanya sebatas mengagumi dalam diam.

“Kamu beneran suka sama papanya bocah itu, Na?” tanya Syakila memastikan.

Aina tersenyum malu sambil mengangguk.

“What? Beneran?” Syakila makin heboh.

“Tapi bohong,” ucap Alina tertawa lebar.

“Ah, kamu mah,” ucap Syakila tepok jidad.

“Ya, Seandainya Mas Pilotnya mau jadi pacarku, aku mau,” ungkapnya tersenyum manis.

Pletak!

Syakila menoyor jidad sang sahabat, sehingga Alina pura-pura kesakitan.

“Awas, aja. Kalau kamu ikut jatuh hati padanya,” ucap Alina cemberut.

“Enggak akan. Aku enggak mau sama Om duda,” ucap Syakila geleng kepala.

“Awas, ya. Aku pegang ucapanmu. Nanti kalau sampai jatuh cinta padanya, aku orang pertama yang akan menertawakanmu,” ancam Alina.

“Ya, kalau sampai aku jatuh cinta padanya. Aku akan nraktir makanan yang kamu suka,” ucap Syakila.

“Baik, aku tunggu itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status