LOGINDalam perjalanan menuju kantor, bukan rasa tenang yang ia dapatkan. Justru jantungnya berdegup semakin keras. Setiap lampu merah terasa seperti jeda yang memaksa pikirannya kembali menayangkan kejadian semalam—dan setiap kali itu terjadi, perutnya terasa mual.
“Please... jangan sampai ketemu dia dulu,” desahnya, menggigit bibir bawahnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Kanaya akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran gedung G Holding—perusahaan milik Sagara tempat ia bekerja.
Begitu keluar dari mobil, ia langsung berjalan cepat menuju lift, berharap bisa segera naik tanpa bertemu siapapun.
Saat pintu lift karyawan hampir menutup, ia berlari kecil, namun tetap terlambat. Lift itu menutup dan naik, meninggalkan Kanaya sendirian di depan lorong.
“Sial...” bisiknya, menarik napas panjang.
Tak ada pilihan selain menunggu lift berikutnya.
Langkah kaki terdengar dari arah lobi belakang yang terhubung ke basement. Kanaya merasakan bulu kuduknya berdiri bahkan sebelum ia melihat siapa yang datang.
Atasan G Holding itu masuk bersama asisten pribadinya. Sagara mengenakan setelan abu-abu gelap, wajahnya tenang dan dingin seperti biasa.
Hanya satu kilasan kecil di matanya saat ia melihat Kanaya—kilasan yang membuat lutut Kanaya hampir goyah.
Panik, Kanaya langsung bergeser ke lift paling ujung, berusaha terlihat sibuk memencet tombol meski jari-jarinya gemetar.
Sagara berdiri tepat di depan lift khusus CEO, lift kaca berbingkai emas yang hanya bisa digunakan dengan kartu akses tertinggi. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya, membisikkan sesuatu kepada Razka yang langsung mengangguk.
Beberapa detik kemudian, asistennya berbalik memanggil Kanaya.
“Nay... naik sini, bareng Pak Sagara,” ujar asistennya sopan.
Wajah Kanaya langsung pucat.
“Eh... gak usah, Pak. Ini lift-nya juga udah mau turun kok,” ucap Kanaya gugup, mencoba tersenyum.
Tepat saat itu, lift di depannya berbunyi, pintunya terbuka lebar.
Tanpa menunggu sedetik pun, Kanaya membungkuk sedikit ke arah Razka.
“Silakan duluan, Pak,” katanya cepat, lalu melangkah masuk ke lift tersebut sebelum pintunya menutup.
Ia tidak menoleh sama sekali. Napasnya baru terhembus panjang setelah pintu lift menutup sempurna.
**
Kanaya menahan napasnya sejak keluar dari lift hingga tiba di lantai tempat divisinya bekerja. Langkahnya cepat, hampir seperti orang yang sedang dikejar waktu.
Begitu melihat kubikelnya yang berada di barisan tengah—tempat yang sama yang sudah dia tempati selama tiga tahun terakhir—dia buru–buru duduk dan menarik napas lega, seolah kursi kerjanya adalah zona aman yang tak boleh disentuh siapa pun.
Waktu berlalu tanpa terasa. Kanaya tenggelam dalam tumpukan laporan dan revisi, hingga suara ketikan keyboard miliknya nyaris menenggelamkan suara apa pun di sekitar. Sesekali ia merenggangkan bahu sambil menghela napas panjang.
Ia melirik ke arah kubikel Sheila—kosong. Berarti Sheila masih menemani Sagara di ruang rapat. Itu artinya... pria itu masih jauh dari lantai karyawan.
“Harusnya kalau sekarang ke toilet, pasti nggak akan papasan, kan...” gumam Kanaya sambil membereskan alat tulisnya.
Dengan hati-hati ia bangkit dari kursinya, menatap sekeliling untuk memastikan situasi aman, lalu melangkah cepat menuju koridor toilet wanita.
Begitu masuk, ia merasa napasnya sedikit lega. Lima menit berlalu seperti angin. Kanaya berdiri di depan wastafel, merapikan rambutnya yang sedikit kusut dan wajahnya yang tampak pucat.
“Ya Tuhan... semoga hari ini berlalu tanpa drama...” bisiknya lirih.
Namun doanya tak terkabul.
Pintu toilet diketuk dua kali, kemudian terbuka sedikit. Sheila menyembulkan kepala.
“Nay, dipanggil Pak Sagara. Ke ruangannya sekarang.” ucap Sheila datar.
Kanaya sontak terbelalak. “Hah? Ngapain?”
“Ya nanyain kerjaan lah... apalagi?” jawab Sheila sambil mengangkat alis, sebelum kembali keluar.
Kanaya ingin sekali membenamkan wajah ke wastafel. Ia menarik napas tajam, menahan gugup yang tiba-tiba mencengkeram perut. Setelah mengumpulkan keberanian, ia melangkah menuju ruangan Sagara.
Di depan pintu besar itu, ia mengetuk dua kali.
“Masuk.” Suara berat itu terdengar tegas dari dalam.
Kanaya memutar knop, membuka pintu perlahan. Aroma khas ruangan Sagara—maskulin, dingin, dan rapi—langsung menyergapnya.
“Bapak manggil saya, Pak?” tanya Kanaya, suaranya sedikit bergetar.
“Ya. Kemari, Kanaya.” jawab Sagara tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya.
Kanaya mendekat hingga berada di depan meja besar sang CEO. Saat itu juga Sagara menutup mapnya dan mendongak, menatap wajah Kanaya tanpa berkedip.
Ada intensitas dari tatapan itu yang membuat gadis itu refleks memalingkan wajah.
“Ada apa, Pak?” tanyanya gugup.
“Kamu sakit?” suara Sagara terdengar tenang, namun matanya tajam memerhatikan setiap gerakan Kanaya.
“Sudah baik-baik saja, Pak...” jawab Kanaya buru-buru.
Sagara menyandarkan punggung, menyilangkan lengan. “Apa kamu menghindari saya?”
Pertanyaan itu membuat tubuh Kanaya menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan ekspresi panik.
“Pak...” Kanaya menelan ludah. “Saya tidak menghindari Bapak. Saya memang tadi sakit, jadi... bolak-balik ke toilet.”
Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sesuatu dari laci dan meletakkannya di meja. Sebuah plastik putih kecil.
Kanaya mengerutkan kening. “Apa ini, Pak?”
“Kamu sakit perut, kan? Ambil obat itu, minum.” jawab Sagara datar.
Kanaya membuka plastik dan mengambil dua strip obat di dalamnya. Namun matanya langsung melebar ketika melihat satu benda lain di dalamnya.
“Terus... salep ini buat apa, Pak?” tanyanya dengan suara makin kecil.
“Oh, itu...” Sagara menunjuk salep merah muda itu santai.
“Saya lihat kamu jalan seperti menahan sakit. Kemungkinan saya lupa kalau saya terlalu keras tadi malam.”
“Saya lihat kamu jalan seperti menahan sakit. Kemungkinan saya lupa kalau saya terlalu keras tadi malam.”“Paaak!!!” seru Kanaya spontan, wajahnya langsung merah padam. Ia tahu persis arah pembicaraan Sagara. Ia ingat baik-baik apa yang terjadi malam itu—dan nyeri yang masih terasa pagi tadi. “Saya... permisi dulu, Pak. Terima kasih obatnya.” ucap Kanaya terbata-bata, buru-buru menunduk sopan lalu kabur keluar dari ruangan seperti dikejar. Begitu pintu tertutup, Sagara menyandarkan tubuhnya sambil tersenyum kecil. “Lucu sekali kalau kamu sedang salah tingkah seperti itu, Naya...” gumamnya sambil mengibas pelan berkas di tangannya. Sementara itu, di luar ruangan, Kanaya menatap plastik obat di tangannya sambil menggerutu pelan. “Astaga, bisa-bisanya dia bahas masalah itu... bikin tambah malu aja...” omelnya sambil berjalan cepat kembali ke kubikelnya, wajahnya masih panas karena malu sendiri. ••• Setelah seharian merasa gagal total menjalankan misi menghindari Sagara, akhirnya
Dalam perjalanan menuju kantor, bukan rasa tenang yang ia dapatkan. Justru jantungnya berdegup semakin keras. Setiap lampu merah terasa seperti jeda yang memaksa pikirannya kembali menayangkan kejadian semalam—dan setiap kali itu terjadi, perutnya terasa mual.“Please... jangan sampai ketemu dia dulu,” desahnya, menggigit bibir bawahnya.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Kanaya akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran gedung G Holding—perusahaan milik Sagara tempat ia bekerja.Begitu keluar dari mobil, ia langsung berjalan cepat menuju lift, berharap bisa segera naik tanpa bertemu siapapun.Saat pintu lift karyawan hampir menutup, ia berlari kecil, namun tetap terlambat. Lift itu menutup dan naik, meninggalkan Kanaya sendirian di depan lorong.“Sial...” bisiknya, menarik napas panjang.Tak ada pilihan selain menunggu lift berikutnya.Langkah kaki terdengar dari arah lobi belakang yang terhubung ke basement. Kanaya merasakan bulu kuduknya berdiri bahkan sebelum ia
Kanaya terbangun dengan kepala berat—seolah ada barbel satu kilogram yang dijatuhkan tepat di atas tengkoraknya. Kelopak matanya terasa lengket, tubuhnya nyeri dari ujung kaki sampai bahu, seperti habis dilindas semalam.“Ah… sakit...” gumamnya, suara serak.Refleks ia melirik ke sisi kanan tempat tidur. Sagara tidak ada. Yang tertinggal hanyalah sprei berantakan dan noda samar darah yang mengering, saksi bisu betapa kacau dan intensnya malam mereka.Kanaya menutup wajah dengan kedua tangan.“Okay, Naya... sekarang kamu dalam masalah besar...” gumamnya pada diri sendiri, napasnya menggantung.Ia memejamkan mata, mengingat potongan-potongan malam yang serba kabur.“Kamu bukan cuma tidur sama sahabat tunangan kamu...tapi dia juga atasan kamu di kantor...” lanjutnya lirih, seakan mengulang dosa.Ia meraih kertas itu.[Dimakan sarapannya. Kamu bisa libur hari ini, tidak perlu ke kantor. Besok saya tunggu di kantor.]Kanaya memejamkan mata lebih lama. Tangannya meremas kertas itu sampai ku
Kanaya mengecup bibir Sagara terlebih dahulu. Ciumannya terasa sedikit terburu-buru—entah karena alkohol yang masih menghangat di tenggorokannya.Semula pria itu tak menjawab sahutan bibirnya.Ia membeku keras.Namun saat tangan Kanaya jatuh ke bagian tengkuk dan deru nafas di bagian telinga. Ia mulai mengaduh.“Saya masih gak menarik juga, Pak?”Lalu saat tangannya turun menuntun resleting celana bahannya turun. Desahannya lolos.“Kamu tidak boleh menyesalinya besok pagi.” ucap Sagara membalas bibirnya.Lelaki itu membalas ciuman itu dengan cara yang membuat lutut Kanaya lemas. Ada ketertarikan lama yang akhirnya menemukan celah untuk keluar, seperti oasis yang terasa tiba-tiba muncul di tengah gurun pasir. Setiap gerakan bibirnya seakan mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak pernah ia ucapkan. Tanpa memutus tautan bibir mereka, Sagara bergerak. Tangannya melingkari pinggang Kanaya, lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan mudah.Kanaya spontan melingkarkan kakinya di pinggang Sa
Sagara melangkah masuk sebelum dipersilahkan. Tatapannya bergerak menyapu ruangan—apartemen sederhana satu kamar, dengan dapur kecil menyatu dengan ruang tamu. Jauh dari kata mewah jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya sendiri.Sementara itu, di sofa, Sagara hanya diam—tapi matanya tidak pernah lepas dari punggung Kanaya. Ada sesuatu dalam tatapannya... sesuatu yang bukan sekadar rasa iba.Sesuatu yang bahkan Kanaya sendiri belum menyadarinya.Kanaya berdiri beberapa detik di dapur, menatap dua gelas bening yang kini ada di tangannya. Jemarinya bahkan sedikit bergetar. Dari sudut mata, dia melirik ke arah Sagara—pria itu sedang sibuk membuka segel botol alkohol, ekspresinya tetap datar dan rapi seperti biasa. Dengan tarikan napas panjang, Kanaya kembali melangkah ke ruang tengah. Dua gelas itu ia letakkan di meja, sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di sisi Sagara. Jarak mereka begitu dekat, tapi justru kesunyian yang menggantung terasa jauh lebih menyiksa.
Derap langkah Kanaya Paramitha terdengar keras saat ia melangkah keluar dari lift, menuju unit apartemen milik tunangannya selama empat tahun, Gavin Bagaskara.Di tangannya, ia membawa sebuah kotak cake dengan tulisan 7th Anniversary Naya–Gavin yang sudah ia pesan khusus sejak seminggu lalu.Tiga tahun berpacaran, empat tahun bertunangan.Tujuh tahun total bersama.Dan selama itu, Kanaya tetap setia—meski Gavin tak pernah benar-benar memberi kepastian kapan mereka akan mengesahkan pernikahan mereka.Ia tetap bertahan, tetap berharap, tetap percaya bahwa laki-laki itu hanya menunggu waktu yang tepat.Kanaya berhenti tepat di depan pintu unit Gavin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.Setelah memasukkan PIN– pintu terbuka perlahan.“Vin...” panggil Kanaya sembari mencondongkan tubuh sedikit ke dalam ruangan yang remang.Apartemen itu sunyi. Terlalu sunyi.Kanaya menatap jam di pergelangan tangannya. “Jam dela