LOGINKanaya terbangun dengan kepala berat—seolah ada barbel satu kilogram yang dijatuhkan tepat di atas tengkoraknya. Kelopak matanya terasa lengket, tubuhnya nyeri dari ujung kaki sampai bahu, seperti habis dilindas semalam.
“Ah… sakit...” gumamnya, suara serak.
Refleks ia melirik ke sisi kanan tempat tidur. Sagara tidak ada. Yang tertinggal hanyalah sprei berantakan dan noda samar darah yang mengering, saksi bisu betapa kacau dan intensnya malam mereka.
Kanaya menutup wajah dengan kedua tangan.
“Okay, Naya... sekarang kamu dalam masalah besar...” gumamnya pada diri sendiri, napasnya menggantung.
Ia memejamkan mata, mengingat potongan-potongan malam yang serba kabur.
“Kamu bukan cuma tidur sama sahabat tunangan kamu...tapi dia juga atasan kamu di kantor...” lanjutnya lirih, seakan mengulang dosa.
Ia meraih kertas itu.
[Dimakan sarapannya. Kamu bisa libur hari ini, tidak perlu ke kantor. Besok saya tunggu di kantor.]
Kanaya memejamkan mata lebih lama. Tangannya meremas kertas itu sampai kusut. Siangnya, ia mampir sebentar ke apotek dekat apartemennya.
Ia menatap pantulan dirinya di kaca mobil—mata sembab, wajah pucat, dan tubuh yang masih terasa letih. Dengan gerakan cepat, ia meraih masker hitam, mengenakannya, lalu memasang kacamata gelap.
Setelah itu ia menutup kepalanya dengan hoodie, menyembunyikan hampir seluruh wajahnya.
Dengan napas panjang, ia melangkah masuk.
Begitu pintu apotek terbuka, aroma antiseptik langsung menusuk hidungnya. Ia mendekat ke meja kasir.
“Mbak, emergency pills satu ya,” ucap Kanaya singkat, suaranya nyaris bergetar namun ia tutupi.
Petugas apotek hanya mengangguk. Ia berbalik, mengambil kotak kecil berwarna putih-biru dari rak obat di belakangnya.
Setibanya di apartemen, Kanaya baru benar-benar bisa menarik napas lega. Ia menutup pintu, bersandar sejenak, lalu melepas masker, kacamata, dan hoodie dengan gerakan terburu-buru.
Wajahnya tampak lelah sekaligus tegang—beban pikiran menumpuk seperti batu di dadanya.
Ia membuka kotak emergency pills itu, mengambil blister kecilnya.
Baru saja ia hendak menelan pil itu—
Klik.
Pintu apartemennya terbuka dari luar.
“Sayang.” Suara Gavin memenuhi ruang tamu.
Kanaya menegang.
Ia menatap pil itu, lalu ke arah pintu. Pelan-pelan ia memejamkan mata. Ia tak buru-buru mengganti passcode.
Pil itu ia letakkan begitu saja di meja.
Dengan langkah berat, ia meninggalkan dapur dan menghampiri Gavin yang baru masuk dengan senyum lega, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Kanaya dengan nada datar.
Gavin langsung mendekat, membuka tangannya seakan ingin memeluknya.
“Sayang... aku cuma—”
Namun Kanaya menahan dadanya dengan telapak tangan. “Pergi kamu.”
“Kita udah sejauh ini, Nay... kita udah tunangan.”
Wajah Kanaya mengeras. Kanaya menyeringai getir, menahan emosi di tenggorokan. Ia mengangkat telapaknya tepat di depan wajah Gavin, meminta dia diam.
“Sonia nggak sedeket itu sama kamu, Gavin. Dia bukan tipe cewek yang tiba-tiba ada di apartemen kamu—kecuali memang kalian udah lama ngelakuinnya.”
Gavin terdiam, tatapannya goyah.
Kanaya menarik napas panjang, mencoba menahan suaranya agar tidak pecah.
Tanpa memberi kesempatan bagi Gavin bicara, Kanaya mendorong tubuh laki-laki itu mundur sampai ke ambang pintu. Gavin sempat menahan, tapi dia tahu... Ini bukan waktu yang tepat untuk membuat Kanaya lebih kesal dari sekarang.
Pintu tertutup keras.
Dan ia langsung memutar kunci.
Gavin masih berteriak—memanggil namanya, memohon.
Kanaya memejamkan mata, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga.
“Saya lihat kamu jalan seperti menahan sakit. Kemungkinan saya lupa kalau saya terlalu keras tadi malam.”“Paaak!!!” seru Kanaya spontan, wajahnya langsung merah padam. Ia tahu persis arah pembicaraan Sagara. Ia ingat baik-baik apa yang terjadi malam itu—dan nyeri yang masih terasa pagi tadi. “Saya... permisi dulu, Pak. Terima kasih obatnya.” ucap Kanaya terbata-bata, buru-buru menunduk sopan lalu kabur keluar dari ruangan seperti dikejar. Begitu pintu tertutup, Sagara menyandarkan tubuhnya sambil tersenyum kecil. “Lucu sekali kalau kamu sedang salah tingkah seperti itu, Naya...” gumamnya sambil mengibas pelan berkas di tangannya. Sementara itu, di luar ruangan, Kanaya menatap plastik obat di tangannya sambil menggerutu pelan. “Astaga, bisa-bisanya dia bahas masalah itu... bikin tambah malu aja...” omelnya sambil berjalan cepat kembali ke kubikelnya, wajahnya masih panas karena malu sendiri. ••• Setelah seharian merasa gagal total menjalankan misi menghindari Sagara, akhirnya
Dalam perjalanan menuju kantor, bukan rasa tenang yang ia dapatkan. Justru jantungnya berdegup semakin keras. Setiap lampu merah terasa seperti jeda yang memaksa pikirannya kembali menayangkan kejadian semalam—dan setiap kali itu terjadi, perutnya terasa mual.“Please... jangan sampai ketemu dia dulu,” desahnya, menggigit bibir bawahnya.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Kanaya akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran gedung G Holding—perusahaan milik Sagara tempat ia bekerja.Begitu keluar dari mobil, ia langsung berjalan cepat menuju lift, berharap bisa segera naik tanpa bertemu siapapun.Saat pintu lift karyawan hampir menutup, ia berlari kecil, namun tetap terlambat. Lift itu menutup dan naik, meninggalkan Kanaya sendirian di depan lorong.“Sial...” bisiknya, menarik napas panjang.Tak ada pilihan selain menunggu lift berikutnya.Langkah kaki terdengar dari arah lobi belakang yang terhubung ke basement. Kanaya merasakan bulu kuduknya berdiri bahkan sebelum ia
Kanaya terbangun dengan kepala berat—seolah ada barbel satu kilogram yang dijatuhkan tepat di atas tengkoraknya. Kelopak matanya terasa lengket, tubuhnya nyeri dari ujung kaki sampai bahu, seperti habis dilindas semalam.“Ah… sakit...” gumamnya, suara serak.Refleks ia melirik ke sisi kanan tempat tidur. Sagara tidak ada. Yang tertinggal hanyalah sprei berantakan dan noda samar darah yang mengering, saksi bisu betapa kacau dan intensnya malam mereka.Kanaya menutup wajah dengan kedua tangan.“Okay, Naya... sekarang kamu dalam masalah besar...” gumamnya pada diri sendiri, napasnya menggantung.Ia memejamkan mata, mengingat potongan-potongan malam yang serba kabur.“Kamu bukan cuma tidur sama sahabat tunangan kamu...tapi dia juga atasan kamu di kantor...” lanjutnya lirih, seakan mengulang dosa.Ia meraih kertas itu.[Dimakan sarapannya. Kamu bisa libur hari ini, tidak perlu ke kantor. Besok saya tunggu di kantor.]Kanaya memejamkan mata lebih lama. Tangannya meremas kertas itu sampai ku
Kanaya mengecup bibir Sagara terlebih dahulu. Ciumannya terasa sedikit terburu-buru—entah karena alkohol yang masih menghangat di tenggorokannya.Semula pria itu tak menjawab sahutan bibirnya.Ia membeku keras.Namun saat tangan Kanaya jatuh ke bagian tengkuk dan deru nafas di bagian telinga. Ia mulai mengaduh.“Saya masih gak menarik juga, Pak?”Lalu saat tangannya turun menuntun resleting celana bahannya turun. Desahannya lolos.“Kamu tidak boleh menyesalinya besok pagi.” ucap Sagara membalas bibirnya.Lelaki itu membalas ciuman itu dengan cara yang membuat lutut Kanaya lemas. Ada ketertarikan lama yang akhirnya menemukan celah untuk keluar, seperti oasis yang terasa tiba-tiba muncul di tengah gurun pasir. Setiap gerakan bibirnya seakan mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak pernah ia ucapkan. Tanpa memutus tautan bibir mereka, Sagara bergerak. Tangannya melingkari pinggang Kanaya, lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan mudah.Kanaya spontan melingkarkan kakinya di pinggang Sa
Sagara melangkah masuk sebelum dipersilahkan. Tatapannya bergerak menyapu ruangan—apartemen sederhana satu kamar, dengan dapur kecil menyatu dengan ruang tamu. Jauh dari kata mewah jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya sendiri.Sementara itu, di sofa, Sagara hanya diam—tapi matanya tidak pernah lepas dari punggung Kanaya. Ada sesuatu dalam tatapannya... sesuatu yang bukan sekadar rasa iba.Sesuatu yang bahkan Kanaya sendiri belum menyadarinya.Kanaya berdiri beberapa detik di dapur, menatap dua gelas bening yang kini ada di tangannya. Jemarinya bahkan sedikit bergetar. Dari sudut mata, dia melirik ke arah Sagara—pria itu sedang sibuk membuka segel botol alkohol, ekspresinya tetap datar dan rapi seperti biasa. Dengan tarikan napas panjang, Kanaya kembali melangkah ke ruang tengah. Dua gelas itu ia letakkan di meja, sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di sisi Sagara. Jarak mereka begitu dekat, tapi justru kesunyian yang menggantung terasa jauh lebih menyiksa.
Derap langkah Kanaya Paramitha terdengar keras saat ia melangkah keluar dari lift, menuju unit apartemen milik tunangannya selama empat tahun, Gavin Bagaskara.Di tangannya, ia membawa sebuah kotak cake dengan tulisan 7th Anniversary Naya–Gavin yang sudah ia pesan khusus sejak seminggu lalu.Tiga tahun berpacaran, empat tahun bertunangan.Tujuh tahun total bersama.Dan selama itu, Kanaya tetap setia—meski Gavin tak pernah benar-benar memberi kepastian kapan mereka akan mengesahkan pernikahan mereka.Ia tetap bertahan, tetap berharap, tetap percaya bahwa laki-laki itu hanya menunggu waktu yang tepat.Kanaya berhenti tepat di depan pintu unit Gavin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.Setelah memasukkan PIN– pintu terbuka perlahan.“Vin...” panggil Kanaya sembari mencondongkan tubuh sedikit ke dalam ruangan yang remang.Apartemen itu sunyi. Terlalu sunyi.Kanaya menatap jam di pergelangan tangannya. “Jam dela