Toko bunga kecil di sudut Via delle Magnolie itu selalu sibuk saat jam makan siang. Aroma segar dari mawar, lili, dan baby’s breath membaur di udara, menarik pejalan kaki dan pegawai kantor yang butuh secercah keindahan di tengah rutinitas. Namun, bukan hanya bunga yang membuat toko itu begitu ramai. Desas-desus yang beredar sejak lama menyebut sang penjaga toko adalah wanita cantik yang misterius—sosok yang membuat pria-pria mampir hanya untuk membeli sebatang mawar, atau mencari alasan agar bisa berlama-lama di toko itu.
Yuta.
Begitulah nama yang mereka bisikkan. Wanita bermata tajam dan dingin, rambut hitam legam digulung rapi, dan senyum yang nyaris tak pernah terlihat.
“Hey, tersenyumlah sedikit,” ucap Geisha, sahabat sekaligus rekan kerjanya, yang sedang mengikat celemek di pinggangnya. Rambut cokelat muda Geisha diikat tinggi, dan wajahnya polos tanpa riasan.
“Aku tidak menjual senyuman di toko ini. Jadi, tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mendapatkannya,” jawab Yuta datar, tangannya tak berhenti merangkai bunga.
Gerakannya cepat dan terampil. Jarang sekali matanya terangkat menanggapi pelanggan. Dunia Yuta adalah bunga-bunga di hadapannya—dan diam.
“Satu rangkaian mawar. Silakan, Tuan. Totalnya tiga belas dolar,” katanya tenang kepada seorang pria yang justru mematung, lebih tertarik mengagumi wajahnya ketimbang membayar.
“Tuan, kami tidak sedang memberikan rangkaian bunga secara cuma-cuma. Segera bayar atau silakan keluar,” lanjutnya, tetap tanpa emosi.
Pria itu tersadar, tersenyum gugup. “Anda selalu tampak cantik dan menarik, Nona Yuta.”
“Terima kasih. Tapi saya tidak dibayar untuk menerima pujian Anda. Jadi, silakan pergi,” ujarnya, nadanya dingin namun tajam. Geisha hanya bisa mengelus dada.
“Yuta! Kamu berulah lagi,” tegur Geisha, menatap kesal.
“Come on, Geisha. Toko ini menjual bunga, bukan makan siang romantis. Mereka terlalu sering datang hanya untuk mengajak kita keluar. Menjijikkan, bukan?” Yuta menggerutu, pandangannya masih tertuju ke pintu toko yang baru saja tertutup.
“Ya, ya, ya... aku bosan mendengar keluhanmu,” sahut Geisha. Ia melangkah ke depan, menggantungkan papan Tutup Sementara. Waktu istirahat mereka sudah lewat, dan pelanggan yang datang hari ini cukup royal membeli buket mahal.
“Malam ini aku ada tugas. Kamu bisa pulang sendiri, kan?” tanya Yuta.
Geisha mengangguk pelan. “Kamu tak ingin berhenti dari pekerjaan berbahaya itu?”
Yuta memandangi bunga di hadapannya, matanya kosong. “Entahlah. Aku belum bisa.”
“Apa yang kamu kejar? Kebenaran? Mereka tidak akan senang melihatmu hidup seperti ini.”
“Lalu aku harus hidup seperti apa? Aku bahkan tak tahu cara menikmati hidup lagi,” balas Yuta lirih. Bayangan kematian saudara kembarnya masih melekat kuat di benaknya.
“Yuta, kamu bisa—”
“Bisa apa? Hidup seperti orang normal? Aku tak bisa, Geisha. Hari saat aku melihat keluargaku dihancurkan tanpa alasan... itu sudah cukup membuatku masuk ke dunia itu.”
“Yuta…”
“Sudahlah. Aku hanya perlu menyelesaikan semua ini, lalu aku bisa ikut mereka.” Yuta menatap Geisha sesaat. “Maaf, aku pulang lebih awal. Gajiku kamu potong saja.”
“Toko bunga ini milikmu, bodoh!” seru Geisha, namun Yuta sudah melangkah pergi.
Geisha teringat hari ketika ia pertama kali bertemu Yuta. Wanita itu hendak bunuh diri. Butuh waktu sebulan penuh untuk menariknya keluar dari jurang gelap. Tapi setelah itu, Yuta menghilang selama setahun. Saat kembali, ada luka menganga di perutnya, dan tatapannya tak lagi sama.
Kini Geisha tahu—Yuta adalah agen rahasia. Seorang pemburu dalam bayang-bayang, berusaha mengungkap siapa yang menghancurkan keluarganya. Tapi tak ada yang bisa menghentikan Yuta. Bahkan rasa peduli dari satu-satunya sahabat yang ia miliki.
Malam itu, Yuta menerima pesan di ponselnya. Sebuah tugas.
Transaksi gelap. Hanya tugas pengawasan. Tapi di balik semua itu, ia tahu akan ada informasi penting mengenai orang yang membunuh keluarganya.
“Hey, kamu yakin ingin mengambil pekerjaan ini?” tanya seorang pria yang baru saja masuk ke apartemennya.
“Tentu saja. Bayarannya menarik.”
“Bukan bayaran yang kamu kejar, tapi informasi dari pertemuan mafia itu, kan?” tanya pria berambut abu-abu dengan potongan rapi.
“Aku hanya perlu mengawasi. Jika ada yang mengganggu, aku bunuh. Sederhana.”
“Aku merasa misi ini tak akan semulus itu. Batalkan saja. Kamu sudah tahu siapa pelakunya.”
“Jangan khawatir, Wil. Aku bisa menyelesaikannya. Kamu tahu aku tak pernah gagal.”
“Tapi kali ini... aku tidak yakin,” gumam Wil, menatap punggung Yuta yang pergi tanpa menoleh.
Yuta mengendarai motor besarnya melintasi jalanan kota Roma yang basah selepas hujan. Senjata tersembunyi di balik jaket kulitnya. Tujuannya: bangunan tua di pinggir kota—tempat ideal untuk bisnis kotor.
Ia tiba, mengambil posisi, dan menunggu.
Dari balik pengintai, Yuta melihat seorang pria tampan masuk, diikuti seorang lainnya. Mereka bertemu kelompok bersenjata membawa peti besar.
Namun, bukan senjata itu yang membuat napas Yuta tercekat.
“Giovandro Chris Thomson…” gumamnya. Jantungnya berdegup tak karuan.
Seseorang dari dalam menarik pelatuk.
Dor.
Lembut, nyaris seperti bisikan angin, tangan Gio menyusuri rambut Yuta. Sentuhan itu menyadarkannya dari lamunan. Perlahan ia mendongakkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dalam, penuh sejarah yang tak pernah benar-benar selesai.Setetes air mata jatuh di pipi Yuta—tak diminta, tak disadari. Hanya kenangan yang datang tanpa diundang. Gio tertegun, lalu memutar tubuh Yuta hingga keduanya saling berhadapan.“Apa yang membuatmu menangis?” tanyanya lirih, menyentuh wajah wanita itu dengan hati-hati seolah takut menyakitinya.Yuta menggeleng pelan. “Hanya... kenangan buruk yang datang tiba-tiba.”Suara Gio melembut, seperti sedang berbicara dengan bayangan masa lalu. “Honey... kamu tahu aku tidak pernah menduakanmu, bukan? Wanita itu... hanya pion. Suruhan seseorang yang ingin menjebak kita berdua.”Yuta tersenyum samar, getir. “Aku tahu, Gio. Beberapa tahun lalu, aku menemukan fakta itu. Tapi saat itu... rasanya aku malu untuk sekadar menatap matamu. Aku harusnya percaya padamu... bukan?”
Senyum seorang pria terbit saat ia selesai membaca sebuah dokumen yang baru saja diantar oleh bawahannya. Ia menyesap cerutunya, menyandarkan tubuh pada kursi, dan menatap ruang kosong yang ditempatinya—sebuah ruang kerja yang dipenuhi senjata favorit dan didominasi warna hitam di setiap sudutnya."Aku tidak menyangka wanita itu masih hidup," gumamnya, tatapannya mengarah pada sebuah potret yang terpajang di meja kerjanya. "Ternyata kamu sudah besar."Sebuah ketukan pelan mengembalikannya dari lamunan. Seseorang masuk ke dalam ruangannya. Tak sepatah kata pun keluar dari pria itu sampai bawahannya memulai pembicaraan."Kami sudah menemukan keberadaan keduanya, Tuan," ucap si pria sambil menunduk dalam-dalam. Tatapan tajam atasannya membuat bulu kuduknya meremang. Ia tahu, suasana hati tuannya sedang buruk."Biarkan mereka bersenang-senang dahulu. Aku suka mempermainkan peliharaanku. Setelah itu, pastikan kau menangkap wanita itu. Aku tak sabar bertemu dengan kelinci manisku," ucapnya,
Yuta tidak pernah merasakan pagi yang seindah ini sejak kejadian itu terjadi. Ia selalu sulit tidur dan bangun dalam keadaan sangat lelah. Tapi pagi ini, ia tidak lagi merasakan hal itu. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu. Apakah sebesar itu pengaruh keberadaan Gio dalam hidupnya? Kedua matanya menatap pria yang sedang tidur di sampingnya. Kedua tangan besar memeluknya begitu erat. Tak ada jarak yang memisahkan keduanya. Sekarang, ia bisa menikmati pemandangan indah di hadapannya. Napas pria itu menghembus ke wajahnya.Seharusnya ia berteriak dan memarahi pria itu karena telah lancang masuk ke dalam kamarnya di vila milik Gio. Tapi biarlah, untuk kali ini ia ingin merasakan kehangatan yang telah hilang beberapa tahun ini. Rasanya semua bebannya menghilang begitu saja. Rasa rindu yang ia pendam selama ini telah terbayar. Tangannya bermain di wajah pria itu, dari alis yang sangat tebal dan berbentuk indah, berlanjut pada kelopak mata dengan bulu mata hitam yang begitu lentik, hidung
Yuta mengejar pelaku penembakan beberapa waktu lalu. Hampir saja dia mencapainya tapi orang itu berbalik dari melepaskan tembakan. Beruntungnya dia memiliki reflek yang baik. Peluru itu memang tidak melukainnya. Waktu bersamaan kap bergoyang karena gelombang air laut. Saat itu waktu seakan berlambat, tubuhnya terlempar dari kapal akibat kakinya yang tak seimbang. Apakah keinginannya terwujud dalam waktu dekat sebelum kebenaran terungkap sepenuhnya. Saat itu muncul rasa kesal karena dia belum bisa membalaskan dendamnya. Tapi seakan takdir sedang mempermainkannya. Tubuhnya terlempar kedalam gelombang air laut yang sedang berkecambuk. Hal yang paling dirinya hindari ialah air karena dia tidak bisa berenang. Apakah ajalnya akan datang dengan seperti ini. Rasannya dia ingin menyesal karena belum bisa mengucapkan perasaanya pada pria itu. Sekarang dia malah ingat seluruh kenangan indah dengan pria manis itu. Padahal seluruh orang disekitarnya mengatakan pria itu dingin dan sedikit bicara.
Sebuah tangan memeluk pinggangnya dan tangan lain menutup mulutnya yang hampir saja berteriak. Dia menyadari sosok pria yang membisikan dirinya. Pertanyaan mengisi isi kepalanya, dia bertanya-tanya bagaimana pria itu bisa mengetahui rencananya malam ini. Tubuhnya dibutar dan akhirnya sekarang keduanya saling bertatapan. Sesaat kedua mata mereka bertatapan. Tak ada satu kata yang keluar dari keduannya. Mereka saling terpesona dengan penampilan satu sama lain. Hingga pria itu mendekatkan dirinya ke telinga wanita. "Kamu sangat cantik, aku tidak lera membiarkan pria-pria itu menikmati keindahanmu." ucap pria itu yang berhasil membuat rona merah muncul di wajah wanita itu. Dia mengakui penampilan pria dihadapannya sangat menawan. Tapi dia lupa kalau pria ini memang selalu berpenampilan menawan. Rasa tak lela bila pria itu bersanding dengan wanita lain. "Tampan bukan? tanya pria itu dengan diakhiri kedipan mata pada wanita dihadapannya yang membuatnya tersadar. "Biasa saja." sambil memb
Yuta membuang nafas kasar saat melihat tingkah laku pria dihadapannya. Bagaimana tidak pria itu membuat satu rumah sakit tegang karena ancamannya. Pria itu memintanya mengikuti pemeriksaan padahal dia tidak mendapatkan luka parah selain memar pada tempat tembakan. Peluru itu menancap pada pelindung yang dirinya selalu gunakan setelah kejadian beberapa tahun lalu. "Berhenti Gio, aku tidak apa-apa." ucap Yuta yang dibalas dengan tatapan tajam pria. Walaupun dia tahu wanita di depan tidak mengalami luka parah. Tapi dia tetap khawatir. Rasa takutnya melingkupinya saat ini. "Diam dan ikuti saja setiap prosedur, atau kamu tidak boleh lagi keluar dari mansion." ancam Gio yang membuat wanita itu menatap sebal pria itu. Dia tidak memiliki keberanian untuk melawan ancaman pria. Yuta sangat tahu sikap pria itu saat sedang marah. Yuta sangat ingat saat hubungan keduanya saat menjadi sepasang kekasih. Pria itu bukan tipe yang mudah marah untuk sikapnya yang menyebalkan. Tapi sekali pria itu mar