Share

BAB 4 ~ Rencana Perjodohan

"Bagaimana? Apa kamu sudah menemui wanita itu, Er?"

Pria jangkung yang baru saja masuk ke sebuah rumah bergaya eropa itu tampak menghela napas pendek, begitu mendapat sambutan tidak menyenangkan dari mamanya.

Ya, bagaimana tidak? Setiap kali bertatap muka dengan kedua orang tuanya, sudah pasti mereka akan membahas wanita yang akan dijodohkan dengannya. Entah siapa wanita itu.

Dia menatap kesal wajah sang mama yang tengah menatapnya balik sambil menunggu jawaban. Namun, sesaat kemudian tatapannya berubah sayu. Selalu saja merasa tidak tega jika harus membuat wanita yang melahirkannya itu bersedih.

Suara helaan napas pendek kembali terdengar, sesaat sebelum pria itu menjawab pertanyaan dari wanita paruh baya yang berdiri di depannya.

"Maafkan aku, Ma. Aku belum sempat menemui wanita itu. Tadi ada insiden kecil. Handphone-ku terjatuh dan mati total. Aku belum sempat melihat foto wanita yang Mama kirim tadi," jelas pria itu seraya memegang kedua bahu mamanya.

"Kamu tidak sedang mencari alasan 'kan, Erlan?"

Suara bariton mengalihkan perhatian sepasang ibu dan anak itu. Tampak pria paruh baya berbadan tegap dan berisi tengah berjalan menghampiri mereka.

"Papa tidak percaya sama aku?" tanya Erlan seraya menatap serius wajah papanya. "Lihat ini! Apa menurut Papa aku berbohong?" imbuhnya seraya mengeluarkan ponsel dengan layar yang sudah rusak dan mati total.

Haris Gusmara melirik sejenak ke arah ponsel itu, lalu menatap kembali wajah putranya yang tengah menatap penuh keyakinan.

"Kamu ceroboh sekali, Er. Seperti anak kecil saja!" ledek Haris sesaat sebelum menghela napas pendek.

Sementara itu, Erlan hanya mengedikkan bahunya tanpan berkomentar apa pun. Sebenarnya dia ingin sekali menceritakan kejadian yang sebenarnya, tetapi setelah dipikir lagi semua itu tidak penting bagi kedua orang tuanya. Dia pun memilih untuk meninggalkan kedua orang tua yang tampak sedikit kecewa lantaran dirinya tidak berhasil menemui wanita yang dimaksud.

"Baiklah, aku permisi ke kamar dulu, Pa, Ma," ucap Erland dingin, lalu melangkahkan kakinya menuju tangga yang tidak jauh dari tempat mereka berbincang.

"Jangan lupa besok temui gadis itu!" teriak Haris sambil menatap Erlan yang berjalan membelakanginya.

Belum sempat mendapat jawaban, tiba-tiba suara dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Dia pun segera merogoh saku celananya dan menerima panggilan masuk itu.

Sementara itu, Erlan melanjutkan kembali langkahnya, menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di dalam kamar, dia langsung meraih ponselnya yang lain dari atas nakas dan segera menghubungi seorang teman dekat, yang sebetulnya hari ini sudah memiliki janji bertemu dengannya. Hanya saja terpaksa dibatalkan lantaran insiden tadi.

"Sorry, Dav ... tadi gue udah sampai di apartemen lo, tapi karena ada insiden, gue terpaksa harus putar balik. Maybe next time gue ke apartemen lo," ucap Erlan kepada seseorang di seberang sana.

"It's okay, Er. Gue juga lagi ada problem sama cewek gue. Kayaknya nggak bakalan bisa temenin lo sekarang karena gue harus segera menemui El."

"Lo nggak mau cerita ke gue? Siapa tahu bisa bantu," pinta Erlan penuh simpatik.

"Next time." Suara di seberang sana terdengar santai. "Eh, tapi lo baik-baik aja kan, Bro?" imbuhnya sedikit cemas.

"Not sure," balas Erlan seraya mendengkus kesal. "Lo tahu sendiri bokap gue. Beliau masih saja maksa gue buat nemuin cewek itu," imbuhnya.

Suara tawa di seberang sana membuat Erlan berdecak kesal, lalu memalingkan wajahnya. Dia tahu betul jika David sengaja menertawakannya.

"Sialan lo!" umpat Erlan, kesal.

"Temui aja dulu. Siapa tahu cewek itu cantik dan sesuai dengan kriteria lo," saran David masih sedikit terkekeh.

Erlan lagi-lagi mendengkus kesal, menanggapi saran dari sahabatnya yang sudah dua tahun tidak bertemu lantaran dirinya yang selama ini tinggal di London.

Tidak berlangsung lama, sambungan telepon pun berakhir. Erlan segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia memikirkan banyak hal, termasuk rencana perjodohannya dengan wanita yang sampai detik ini tidak diketahui batang hidungnya seperti apa.

"Gimana ya caranya agar bisa menghindari permintaan Papa?" gumamnya sambil menatap langit-langit kamar berwarna putih.

Hari ini Erlan memang tidak berencana untuk menemui wanita yang setiap hari dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Meski sang papa sudah berulang kali memaksa, tetapi dia masih saja belum bersedia untuk menemui wanita itu. Dia justru lebih tertarik bertemu dengan David, sahabat baiknya. Namun, sial. Semua rencananya gagal karena wanita asing itu.

Belum selesai dia mengakhiri lamunannya, suara derit pintu dibuka seketika menyadarkan dan membuatnya mengalihkan perhatian. Dia menoleh ke arah pintu. Tampak Papanya yang muncul di sana.

"Om Cakra meminta pertemuan kalian dibatalakan untuk sementara waktu, sampai putrinya sehat kembali."

Mendengar kalimat itu, Erlan langsung mengelus dadanya sambil menghela napas lega, sesaat setelah mengubah posisinya menjadi duduk. Meski kabar tersebut belum tentu akan membuatnya terlepas dari rencana perjodohan, setidaknya dia masih memiliki waktu luang untuk tidak terus memikirkan bagaimana rupa wanita yang akan dijodohkan dengannya.

"Senang kamu!" celetuk Haris yang sontak membuat Erlan langsung terkejut dan mengakhiri suka citanya.

"Bu-bukan beg—"

"Ingat! Sampai kapan pun perjodohan itu akan tetap ada. Jangan pernah berpikir kalau kamu akan terbebas dari perjodohan ini!" pungkas Haris tidak memberi Erlan kesempatan untuk mengelak.

"Pa, ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya. Masa masih ada perjodohan? Bagaimana kalau putrinya Om Cakra juga nggak setuju dengan perjodohan ini. Apa kami akan mampu menjalani rumah tangga tanpa memiliki rasa saling mencintai satu sama lain?" tutur Erlan dengan nada bicara yang sangat hati-hati.

Haris tampak memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana yang dia kenakan, berdiri sambil menatap serius ke arah Erlan yang tengah duduk tepat di depannya.

"Kalau kamu memprioritaskan cinta, lantas bagaimana dengan pasangan yang menikah karena cinta, tetapi kemudian bercerai?" tukas Haris tidak ingin kalah.

Erlan lagi-lagi dibuat menciut oleh ucapan papanya. Sebagai sosok yang belum punya pengalaman dalam berumah tangga, tentu dia merasa sedikit kesulitan dalam menentang perkataan papanya. Untuk yang ke sekian kalinya dia kalah debat dengan pria yang selama ini menjadi panutannya.

"Ingat, Erlan ... cinta itu tidak bisa dijadikan jaminan untuk kebahagiaan seseorang. Buktinya banyak yang menikah tanpa saling mencintai, bahkan belum saling mengenal sebelumnya, tetapi mereka bisa hidup bahagia bersama dalam satu atap. Sebaliknya, banyak pula yang menikah setelah menjalin hubungan sebagai kekasih bertahun-tahun, tetapi usia pernikahannya jauh lebih singkat. Silakan, kamu pilih yang mana?" jelas Haris panjang lebar, sementara Erlan masih diam.

"Aku hanya ragu dengan sesuatu yang dipaksakan, Pa," lirih Erlan seraya menundukkan kepalanya. Sekeras apa pun watak yang dia miliki, tetap saja tidak akan berani melawan sang papa.

Haris menatap sendu wajah putranya. Dia paham betul dengan perasaan Erlan saat ini. Namun, dia juga merasa yakin bahwa keputusannya adalah jalan terbaik untuk Erlan.

"Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua yang Papa dan Mama lakukan adalah demi kebaikan kamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status