Share

BAB 3 ~ Kecelakaan

"Sudah bangun kamu?" 

Elfara sedikit terlonjak mendengar suara bariton, saat dirinya baru saja siuman setelah tidak sadarkan diri selama satu jam. 

Insiden yang terjadi saat dia mencoba melarikan diri, nyaris membuatnya kehilangan nyawa. Elfara tertabrak mobil, ketika hendak menyeberang jalan. Itulah yang membuatnya pingsan dan terluka di bagian kaki, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. 

"Kenapa saya ada di sini?" Elfara mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. 

"Apa kejadian tadi membuatmu amnesia, Nona?" celetuk pria asing yang berdiri di sampingnya dengan tatapan serius, lalu tersenyum getir seolah-olah tidak merasa iba. 

Elfara bergeming sambil menundukkan kepala. Mengingat kembali kejadian yang terjadi sebelumnya. Sesaat kemudian, dia menatap kembali pria yang tengah mengamati wajahnya, seolah-olah sedang menunggu jawaban. 

Ya, wajar saja. Kecelakaan yang menimpa Elfara memang berhasil membuat pria itu ketar-ketir. Walau bagaimanapun dia memiliki andil atas kejadian tersebut. Andai saja tadi dia membiarkan wanita itu pergi, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Namun, dia juga tidak sepenuhnya salah, karena dia memang sedang menuntut pertanggungjawaban yang sudah menjadi haknya. 

Entah kesialan apa sehingga dia dipertemukan dengan wanita yang membuat harinya menjadi semakin buruk, setelah menghadapi kedua orang tua yang memaksanya untuk menemui seorang wanita yang akan dijodohkan dengannya. 

"Apa terjadi sesuatu dengan saya?" tanya Elfara dengan wajah polosnya. 

"Menurutmu?" balas pria itu dingin, sontak membuat Elfara sedikit geram. 

"Argh!" Elfara mengerang saat merasakan nyeri di bagian kakinya. 

Wanita itu menoleh, lalu membulatkan mata dengan sempurna saat mendapati lututnya yang sudah diperban. 

"Apa yang terjadi? Apa yang sudah kamu lakukan sampai kaki saya menjadi seperti itu, hah?" Tatapan Elfara menghunus tajam ke arah pria itu, terkesan sedang melemparkan tuduhan. 

"Kalau mau nuduh itu pikir-pikir dulu. Harusnya kamu berterima kasih, karena kalau bukan karena saya, kamu pasti sudah mati tertabrak mobil itu!" 

Elfara menciut melihat tatapan pria itu. Dia masih belum mengingat dengan jelas kejadian tadi, tetapi dia mengingat saat akan menyeberangi jalan dan tiba-tiba ada mobil putih yang melintas. Setelah itu, dia tidak mengingat apa pun lagi. Tentu salah jika langsung menuduh pria itu, saat dirinya tidak mengetahui apa pun yang telah terjadi padanya. 

"Kamu baru saja mengalami kecelakaan. Beruntung saya berhasil menarik tanganmu dan menghindari mobil itu, sehingga lukamu nggak terlalu parah," ujar pria itu menjelaskan. 

Merasa sangat bersalah karena telah menuduh sembarangan, Elfara menatap sayu wajah pria di sampingnya. Pun sebaliknya. Mereka pun tampak beradu pandang beberapa saat. 

"Nggak perlu bilang terima kasih, saya nggak butuh itu!" celetuk pria tampan berhidung mancung itu sedikit angkuh, seakan-akan menyadari jika Elfara akan mengucapkan sesuatu padanya. 

Mendapat tanggapan tidak menyenangkan, Elfara hanya menghela napas pendek. Dia berusaha untuk tidak memikirkan sikap dan ucapan pria di sampingnya, meski sedikit menyebalkan. 

"Saya akan mengganti rugi handphone kamu yang rusak," lirihnya sambil menundukkan kepala. Tidak lagi menatap pria yang masih setia memfokuskan pandangan ke arahnya sejak tadi. 

Tidak ada jawaban dari pria itu. Sedikit pun dia sudah tidak memikirkan ponselnya yang rusak. Meski sedikit kesal, tetapi melihat kondisi Elfara saat ini, dia tentu tidak tega jika harus terus-menerus menuntut wanita itu. 

Pria itu hanya mengamati wajah Elfara dari samping beberapa saat. Baru menyadari bahwa wanita yang menjadi objek pandangannya saat ini begitu cantik. 

'Ternyata dia sangat cantik. Sayang sekali, dia menyebalkan. Aku nggak tertarik padanya, cih!' gumam pria itu dalam hati. 

"Baiklah, karena kamu sudah siuman, saya bisa pergi sekarang. Saya sudah menghubungi keluargamu, mungkin sebentar lagi mereka akan datang. Maaf sudah menggunakan ponselmu tanpa izin," ucap pria itu sesaat sebelum meninggalkan ruangan itu. 

Sementara itu, Elfara tidak mengatakan apa pun lagi selain hanya mengangguk pelan, lalu menatap pria yang berjalan membelakanginya ke arah pintu ruangan. Membiarkan pria itu pergi begitu saja. 

"Astaga! Kenapa aku nggak tanya nama atau alamat rumahnya? Gimana aku mau mengganti handphone-nya yang rusak? Bahkan, nomor teleponnya pun aku nggak punya. Akh, bodoh banget!" umpat Elfara seraya memukul pelan kepalanya, sesaat setelah menyadari kebodohannya. 

"El Sayang, apa yang terjadi padamu?" 

Belum sempat Elfara mengakhiri kegiatannya, suara derit pintu diiringi suara wanita tidak asing membuatnya sedikit terkejut. Dengan sigap dia menoleh ke arah pintu. Benar saja kedua orang tuanya yang datang. Dia bisa melihat jelas raut kepanikan dari wajah wanita yang telah melahirkannya. 

"Mama," lirih Elfara seraya menatap mamanya. 

Sesaat kemudian wanita paruh baya itu memeluk Elfara dengan isak tangis yang pecah begitu saja. 

"Apa yang terjadi padamu, Sayang?" tanya Riyanti penuh kecemasan. 

"Aku baik-baik saja, Ma. Mama nggak usah khawatir dan nggak perlu berlebihan," balas Elfara santai. 

Mendengar jawaban itu, Riyanti langsung melepaskan pelukannya dan menatap sendu wajah putrinya yang tampak pucat. 

"Bagaimana bisa kamu meminta Mama untuk nggak khawatir, sedangkan Mama tahu kalau kamu baru saja kecelakaan. Lihatlah kakimu!" tukas Riyanti seraya menunjuk ke arah kaki Elfara. Dia sedikit kesal dan sedih melihat kondisi putrinya yang terluka. 

"Ma—"

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa kecelakaan seperti ini, El?" 

Elfara terlonjak saat pria paruh baya membuka suara dan memotong pembicaraannya. Dia mengalihkan pandangan ke arah Cakra Adhinata yang tak lain adalah ayah kandungnya. 

Tatapan pria berusia 60 tahun itu tampak serius dan sedikit tajam, seolah-olah ada sesuatu tidak beres yang dia rasakan terhadap putrinya. 

Hening. Elfara terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya dia menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada sang ayah. 

Meski sedikit ragu, wanita itu menceritakan semua kejadian tadi tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sebenarnya dia tidak ingin menceritakan perihal hubungannya dengan David, tetapi karena Cakra sudah mengetahui tempat kejadian peristiwa kecelakaan tadi dan langsung menuduh bahwa David penyebab utamanya, dia pun terpaksa mengatakan tentang pengkhianatan kekasih dan sahabatnya. 

"Sudah berapa kali Papa katakan, jangan pernah berhubungan lagi dengan pria itu! Dia jelas bukan pria yang baik, tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan apa kata Papa selama ini!" 

Mendengar cerita dari Elfara, Cakra pun terlihat semakin geram. Ternyata tidak salah selama ini dugaannya bahwa David bukan pria yang tepat untuk Elfara. Itulah mengapa dia tidak pernah setuju dengan hubungan yang dijalani putrinya dengan pria itu. 

"Maafkan aku, Pa. Aku menyesal. Harusnya dari awal aku tidak pernah percaya pada mereka," balas Elfara seraya menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Cakra. 

"Kalau saja kamu dengar apa kata Papa. Papa hanya minta kamu untuk bertemu dengan anak teman Papa, kenapa kamu malah menemui pria itu?" tukas Cakra penuh penekanan. 

Sedari dulu, pria paruh baya itu  memang memiliki watak yang cukup keras. Namun, tetap saja tidak membuat Elfara menyerah untuk mempertahankan hubungannya dengan David, meski sudah ditentang berulang kali. 

"Tapi, Pa—" 

"Tapi apa? Kamu pikir Papa rela melihat kamu disakiti oleh pria itu?" bentak Cakra seolah-olah tidak peduli dengan rasa sakit yang diderita Elfara saat ini. 

"Sudah, sudah, jangan bahas itu dulu. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan El," timpal Riyanti mencoba menengahi. 

"Papa akan beri perhitungan pada anak itu!" 

"Jangan, Pa!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status