Jam 5 sore hari ini Purnama bersiap pulang. Ia tidak perlu lembur lagi karena proyek yang ditangani kantornya telah selesai. Kali ini Bintang menjemputnya ke kantor.
Bintang menunggu di pelataran kantor sambil merokok. Kaos oblong warna hitam dan jeans belel adalah pakaian favoritnya. Ia berdiri di samping Avanza hitam miliknya.
Purnama keluar dari kantor bersama beberapa karyawan lain. Ia sudah tahu bahwa Bintang telah menunggunya di pelataran kantor.
"Gue udah dijemput nih." kata Purnama pada Dewi rekan kerjanya.
"Mana yang jemput lu?" tanya Dewi dan Purnama menjawab dengan menunjuk ke arah Bintang.
"Taksi online?"
Purnama menggeleng, "Itu laki gue."
"Owh, kucel amat." ucap Dewi jujur, Purnama merasa sedikit tersinggung.
"Dah ah, gue balik. Bye!"
Bintang membuang puntung rokoknya begitu memasuki mobil, tidak mungkin ia merokok karena mobil itu berpendingin. Purnama duduk di sebelah Bintang, ia merasa senang sang suami bisa menjemputnya.
Selama perjalanan tidak ada kata yang terucap di antara mereka, keduanya asik dengan pikiran masing-masing. Sampai di belokan tidak jauh dari rumah mereka, Purnama meminta Bintang untuk menepi.
"Beli sate dulu ya, Mas. Buat makan malam."
"Iya."
Purnama keluar dari mobil dan memesan 2 porsi sate ayam untuk makan malam mereka. Bintang tetap menunggu di dalam mobil sambil merokok, jendela mobil dibukanya. Purnama membayar sate itu begitu pesanannya matang.
Mobil langsung dimasukkan ke dalam garasi begitu mereka sampai. Rumah mertuanya sepertinya ramai. Ibu mertua dan adik iparnya sedang bercengkrama di teras. Purnama masuk dan menaruh satenya di atas meja makan.
Tubuh lelah dan lengket membuat Purnama ingin segera mandi. Diambilnya handuk dan melesat ke kamar mandi.
Setelah mandi, tubuh terasa segar Purnama memakai pakaian rumahannya. Daster berwarna marun dengan corak bunga-bunga kecil favoritnya. Setelah menyisir, Purnama keluar kamar untuk makan perutnya terasa keroncongan.
Di meja makan, kedua mertuanya, sang suami dan adik iparnya sedang menyantap sate yang dibelinya. Purnama hanya terdiam melihat itu semua.
"Kak, satenya enak. Kakak belinya cuma dua porsi jadi kita satu berdua deh." Awan adik Bintang berkata sambil menyuapkan tusukan sate terakhirnya.
"Lain kali beli sesuai jumlah orang dong biar gak satu berdua gini." keluh sang ibu mertua.
"Iya." jawab Purnama sambil menunduk. Satenya telah habis dan tak satu tusuk pun disisakan untuknya.
Purnama pergi ke dapur dan menggoreng sebuah telor untuk menu makan malamnya. Untunglah masih ada nasi tersisa di magic jar-nya.
Di saat perut lapar apa pun terasa nikmat. Secentong nasi dengan satu ceplok telor amat disyukuri Purnama sebagai menu makan malamnya.
"Ini buat belanja." Bintang menghampiri Purnama yang sedang makan sambil memberikan selembar uang berwarna merah padanya.
"Makasih, Mas." Purnama menerima uang itu, terakhir tiga minggu lalu ia menerima uang dengan jumlah yang sama.
"Aku ke rumah si Jono dulu." "Iya."
Bintang pergi dengan motornya menuju ke rumah sahabatnya.
Malam sudah larut, Purnama berniat tidur. Namun sebelumnya ia harus menutup gorden dan mengunci pintu terlebih dahulu. Saat ia akan menutup pagar, Noni sang ibu mertua menghampiri.
"Purnama, hand phone yang tiga jutaan tapi bagus merk apa ya?"
"Banyak, Mi. Dengan harga segitu banyak handphone
bagus kok. Ke tokonya aja, Mami bisa pilih."
"Bintang nih, Mami bilang beliin hand phone aja kalo proyeknya gol eh malah ngasih uang."
"Proyek?"
"Mobil yang dia modif kan laku 2 kali lipat dari harga modalnya. Kamu gak tahu?"
"Nggak tahu, Mi."
"Kamu dikasi duit’kan sama Bintang?"
Purnama terdiam sejenak. "Dikasi, Mi."
"Yaudah deh, kamu tidur gih Mami juga mau tidur."
"Iya, Mi."
Ada rasa sesak di hati Purnama mendengar cerita ibu mertuanya. Begitu besar uang yang diperoleh sang suami namun hanya selembar uang berwarna merah yang diberikan padanya. Untuk urusan nafkah berupa uang belanja Bintang memang selalu memberi tetapi tidak lebih dari 200 ribu rupiah tiap bulannya semenjak mereka menikah.
Dari awal mereka menikah, Purnama berusaha bersabar menghadapi semua. Ia pun tidak mengeluh manakala uang gajinya habis untuk keperluan sehari-hari. Namun malam ini ada rasa sesak saat tahu dari ibu mertuanya begitu besar uang yang diperoleh suaminya.
"Mungkin Mas Bintang butuh uang untuk modal." gumam Purnama meyakinkan hatinya.
Malam sudah sangat larut saat Bintang kembali ke rumah.
Tok! Tok! Tok!
"Purnama!"
Purnama yang sedang lelap terbangun. Sejenak ia lihat jam di dinding, pukul 2.30 dini hari. Masih dalam keadaan mengantuk, ia berjalan ke arah pintu dan membuka kuncinya. Bintang berdiri di depannya, mulutnya bau alkohol.
"Mas mabuk?"
"Suami pulang bukannya dilayani malah diinterogasi!"
"Maaf, Mas."
Bintang masuk ke dalam kamar lalu merebahkan dirinya di ranjang, hanya dalam hitungan menit ia sudah terlelap sementara Purnama masuk ke kamar mandi. Karena telah terbangun saat dini hari, Purnama memutuskan untuk melakukan shalat tahajud. Ia berdoa cukup lama setelah sholat, untuk dirinya, suaminya, dan orang-orang yang dicintainya didoakan.
Jam menunjukkan pukul 3.15 setelah Purnama selesai dengan ibadahnya. Dengkuran halus Bintang terdengar jelas, Purnama menatap suaminya. Ia berinisiatif mengganti baju suaminya agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Perlahan Purnama melepaskan baju suaminya, tanpa disadarinya Bintang terbangun.
"Kamu ngapain?" Tangan Bintang menahan tangan Purnama yang hendak memakaikannya baju.
"Gantiin baju kamu."
"Kamu bangunin yang lain."
"Maksud, Mas?"
"Aku mau kamu." Suara serak penuh hasrat terucap dari bibir Bintang.
Purnama tahu maksud suaminya, ia mengangguk memberi izin Bintang melakukan tugasnya sebagai suami. Kali ini Bintang melakukan dengan lembut tidak seperti terakhir kali. Purnama menikmati kegiatannya kali ini, ini seperti ketika awal mereka menikah. Setelah keduanya mencapai klimaks, Bintang lalu tertidur sementara Purnama bergegas ke kamar mandi karena adzan Subuh telah berkumandang.
Selesai mandi, Purnama melaksanakan shalat Subuh lalu menuju ke dapur. Hari libur berarti masak lebih banyak karena kedua mertua beserta adik ipar Purnama dapat dipastikan akan sarapan bersama di rumah Purnama.
Purnama membuat nasi uduk beserta telur dadar dan bihun goreng untuk sarapan. Begitu semua selesai dimasak, kedua mertua Purnama datang. Mereka seakan memiliki radar yang bisa mendeteksi bahwa sarapan telah siap.
Purnama membangunkan Bintang untuk sarapan bersama, "Mas, bangun! Ayo sarapan, mami sama papi udah di meja makan tuh."
"Hoam ... bentar aku cuci muka dulu."
"Ditunggu di ruang makan ya, Mas!"
"Hm."
Purnama menunggu Bintang di meja makan. Nasi uduk dan lauk jatah Bintang telah disiapkan. Kedua mertuanya telah mulai makan lebih dulu. Purnama berusaha menghormati suaminya hingga akan makan jika suaminya telah mulai makan.
Bintang datang dengan wajah yang terlihat masih mengantuk. Ia duduk di samping Purnama lalu menikmati sarapannya.
"Nanti jam 10 kita berangkat ke rumah Om Wisman ya?" Mami berkata sambil mengunyah nasi uduknya.
"Ada acara apa, Mi?" Purnama bertanya.
"Aqiqahan cucunya."
"Udah lahiran toh mantunya Mas Wisman?" Papi ikut nimbrung. Mereka semua sedang sarapan bersama di ruang makan Bintang.
"Udah sebulan lalu." ucap Mami sambil terus mengunyah.
"Beruntung banget ya Mas Wisman, belum setahun anaknya nikah udah dapet cucu. "
"Kita kapan ya, Pi, dapet cucu?"
"Menurut kamu kapan Purnama?" Papi melempar pertanyaan pada Purnama.
"Gak tau, Mi. Anak kan anugerah Allah, entah kapan dikasihnya kita gak tahu."
"Usaha dong biar cepet dapet."
"Usaha sih terus, Mi tapi mungkin belum rejeki kami." Purnama menjawab, dilihatnya sang suami asyik makan tanpa membantunya menjawab.
Purnama merasa tidak nyaman dengan ucapan mertuanya. Ia juga amat menginginkan buah hati tapi Tuhan belum juga memberinya kepercayaan.
Tepat jam 10 mereka berangkat menuju rumah om Wisman. Menggunakan Avanza milik Bintang membelah kota Jakarta. Rumah Om Wisman tidak jauh dari perumahan mewah yang sangat ternama.
Rumah-rumah besar bergaya Mediterania dan Eropa klasik mereka lewati. Purnama duduk di samping ibu mertuanya yang asyik mengamati rumah-rumah mewah itu.
"Enak ya kalo punya menantu yang rumahnya segede gitu." ucap ibu mertuanya.
"Enaknya apa, Mi?" Papi yang duduk di samping Bintang bertanya tanpa menengok ke belakang.
"Rumah sebelah bisa kita kontrakin, jadi nambah pemasukan ‘kan." jawab Mami tanpa beban.
Deg!
Purnama merasa tersindir. Ia berasal dari keluarga sederhana hingga setelah menikah ia rela tinggal di samping rumah mertuanya.
Rumah Om Wisman sudah ramai dengan anggota keluarga yang berdatangan. Pengajian untuk aqiqah akan segera dimulai. Purnama duduk di halaman belakang rumah bersama anggota keluarga lain.
"Kapan nyusul?" tanya istri OmWisman.
"Nyusul apa, Tan?" Purnama yang sedang melihat ke arah lain segera menoleh.
"Punya anak lah kayak menantu tante."
"Belum dikasi kayaknya, Tan."
"Jangan-jangan kamu ada masalah?"
"Kalo Bintang sih pasti subur." ucap mami yang duduk di sebelah Purnama.
"Ke dokter deh, dicek terus ikut program biar cepet hamil."
Purnama mengambil nafas berat, ia tidak menyukai tema pembicaraan ini namun ia berusaha menimpali dengan cara yang paling wajar.
Purnama tidak banyak bicara sampai acara berakhir. Pernikahannya memang belum dikaruniai keturunan dan Purnama tidak tahu siapa yang bermasalah, dia atau suaminya karena memang keduanya belum pernah melakukan pengecekan. Selama ini Purnama selalu beranggapan bahwa Allah memang belum memberi mereka kepercayaan bukan masalah siapa yang bermasalah.Selama perjalanan pulang, Purnama berfikir untuk mempertimbangkan usul Tante Wisman agar memeriksakan diri ke dokter.Purnama ingin membicarakan hal ini dengan suaminya setelah mereka tiba di rumah. Ia memikirkan waktu yang tepat untuk bicara dengan suaminya.Sesampainya di rumah, makan malam Purnama siapkan. Ia tidak memasak hanya menghangatkan makanan yang diberikan oleh Tante Wisman.Bintang menikmati hidangan dengan lahap bersama istrinya. Selesai makan, Bintang duduk di sofa sambil menonton TV. Purnama yang sejak tadi duduk di sampingnya mencari kesempatan untuk bicara."Mas," panggil Purnama lembut.
Purnama ingin membuat masakan kesukaan suaminya begitu sampai di rumah, untunglah bahan-bahan telah tersedia di dalam kulkas. Ia ingin momen ketika suaminya tahu ia hamil menjadi amat spesial.Ayam, tempe, sayuran dan bumbu-bumbu dikeluarkannya dari kulkas. Sejak kecil Purnama terbiasa membantu ibunya memasak hingga ia sudah mahir mengolah berbagai jenis masakan.Ayam yang sudah dibersihkan lalu diungkep dengan bumbu racikannya. Tempe pun digoreng.Sambil menunggu masakannya matang, Purnama mengabari suaminya.[Mas aku sudah di rumah, ada kejutan loh ♥]Tanpa menunggu jawaban dari suaminya, Purnama kembali memasak. Ayam goreng serundeng, tempe goreng, sambal dan lalapan disiapkan Purnama.Masakan telah ditata di atas meja makan, Purnama bergegas mandi dan bersiap sebelum suaminya pulang.Bintang masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Purnama mendengar pintu terbuka menghentikan kegiatan menyisirnya. Ia berdiri lalu berjalan
"Apa perlu ke dokter?" tanya Bintang sambil duduk di sebelah Purnama.Purnama menoleh ke arah suaminya. Sejak tadi ia berbaring dan Bintang meninggalkannya entah untuk keperluan apa."Nggak usah, Mas. Ini biasa bagi orang hamil. Morning sicknes.""Tapi kamu lemes gitu, dari tadi tiduran terus.""Cuma pusing sedikit, nanti juga reda.""Ada obat yang dikasi dokter?""Ada. Vitamin sama obat mual.""Udah diminum?""Udah."Bintang memperbaiki posisi selimut Purnama, lalu diusapnya kepala Purnama."Purnama!" seru kedua mertua Purnama, mereka berdiri di pintu kamar."Bintang bilang kamu hamil?" "Iya, Mi.""Alhamdulillah ya, mudah-mudahan anaknya laki-laki.""Papi juga pengen cucu laki-laki.""Laki-laki atau perempuan yang penting sehat, Mi." jawab Purnama sambil mengelus perutnya yang masih rata."Orang hamil jangan suka males, biar bayinya j
Purnama benar-benar kesal dengan ulah suaminya. Ia mengusap perutnya perlahan sambil berbisik, "Jangan kamu tiru kelakuan ayahmu!"Ia berharap anaknya hanya mewarisi hal-hal baik dari kedua orang tuanya.Purnama membereskan rumah, menyapu dan mengepelnya. Begitu sampai di bagian dapur ia melihat persediaan berasnya menipis. Ia juga teringat dengan saldo ATM-nya yang nyaris 0 rupiah.Aku harus berbuat sesuatu!Selesai membersihkan rumahnya, Purnama menyalakan laptopnya. Ia berselancar di dunia maya mencari lowongan pekerjaan. Beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya dan berlokasi tidak jauh dari rumahnya ia simpan.Purnama mulai membuat surat lamaran pekerjaan dan mengirimkannya.Bismillah, semoga keterima. Aamiin.***Selama berhari-hari Purnama menunggu jawaban dari lamaran yang ia kirimkan namun tiap kali mengecek email tidak ada jawaban yang ia harapkan. Sementara itu persediaan beras ma
Hati Purnama benar-benar sakit, ia pulang menggunakan taksi yang lewat di sekitar aula tersebut.Sebisa mungkin ia menahan air matanya selama di perjalanan namun hal itu terasa amat sulit. Air mata Purnama akhirnya menetes. Sang supir memperhatikan Purnama dari kaca."Apa pun masalah yang Ibu hadapi, Allah berikan itu agar Ibu kuat. Penderitaan dan rasa sakit akan menguatkan mental kita."Purnama tidak menjawab ucapan sang supir yang usianya mungkin sekitar usia ayahnya. Ucapan sang supir cukup mengena di hati Purnama, ia harus kuat demi dirinya dan demi calon buah hatinya.Sampai di rumah, Purnama segera masuk ke dalam kamarnya. Ia lelah lahir dan batin.Gawai Purnama berbunyi saat ia baru saja membersihkan diri. Ia melihat nama yang tertera di gawainya. Hatinya bersorak melihat nama sang ibu."Assalamualaikum,""Waalaikum salam,""Ibu, Nama kangen." ucap Purnama begitu mendengar suara ibunya. Di titik terendah, mende
Purnama mengingat betul perkataan ibunya, ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Bintang atau pulang jika sudah tak sanggup lagi.Sampai di rumah waktu sudah hampir tengah malam. Ingin sekali ia berbicara serius dengan suaminya namun Bintang terlihat lelah dan masih kesal.Pagi hari setelah Bintang sarapan, Purnama sudah menyiapkan kata-kata untuk disampaikan pada suaminya.Segelas air putih ditaruh Purnama tepat di depan Bintang. "Mas, kita harus bicara serius.""Ada apa? Soal orang tua kamu?""Bukan, ini tentang rumah tangga kita.""Memangnya rumah tangga kita kenapa?" tanya Bintang tanpa rasa bersalah."Banyak hal yang harus kamu perbaiki, Mas, sebagai seorang suami.""Memangnya aku kenapa?" Bintang menatap Purnama.Ada kesal di hati Purnama, suaminya tidak merasa bersalah sedikit pun."Sebagai kepala rumah tangga seharusnya Mas lebih bertanggung jawab.""Owh, jadi maksud kamu aku gak bertanggung jawab
Purnama menahan tangisnya selama di dalam taksi. Ia sangat butuh dukungan saat ini. Diambilnya gawai di dalam tas. Ia menelpon sang ibu. Di dering pertama ibunya langsung menjawab."Assalamualaikum.""Waalaikum salam. Nama gimana kabar kamu?""Baik, Bu. Nama … mau lahiran, Bu.""Udah mules?" Suara ibu terdengar panik."Belum tapi mau diinduksi, Bu."“Kok induksi?”“Iya, udah lewat waktu,”"Sekarang udah di rumah sakit?""Masih di jalan, Bu.""Kasih ibu alamat rumah sakitnya nanti ibu sama ayah ke sana.""Iya, Bu."Setelah menelpon ibunya, Purnama merasa sedikit tenang. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobil sambil mengusap perut buncitnya.Sampai di rumah sakit, sang dokter langsung menangani dirinya. Memberi infus yang berisi obat induksi.Purnama berbaring di ranjang rumah sakit. Ia pasrah menyerahkan nasibnya pada Yang Maha Kuasa.Satu jam berla
"Maaf ya Purnama, mami sama papi baru sempet ke sini." ucap Mami sambil menaruh sekantung buah di nakas."Iya, Mi.""Ibu Purnama udah lama di sini?" Mami bertanya pada sang besan.Pertanyaan basa basi, batin Purnama bicara."Ibu saya menemani sejak sebelum melahirkan dan belum pulang sampai saat ini." jawab Purnama ketus.Melihat gelagat yang tak baik, ibu Purnama menggendong cucunya yang telah lelap di dekapan Purnama lalu menaruhnya di dalam box bayi."Sorry ya, Sayang, aku gak nemenin kamu. Bengkel lagi rame." Bintang ikut bicara."Mau rame mau nggak, istri lahiran harusnya didampingin suami. Jangan mau bikinnya aja," Ibu menjawab dengan tidak kalah ketus.Mami mendekati box bayi dan memperhatikan wajah cucunya."Bin, mirip banget sama kamu,""Iya, Mi. Bintang tau, kemarin Bintang udah liat." Bintang keceplosan.Mendengar ucapan suaminya, Purnama terkejut. "Kamu kemarin ke sini