Share

3-4

Jam 5 sore hari ini Purnama bersiap pulang. Ia tidak perlu lembur lagi karena proyek yang ditangani kantornya telah selesai. Kali ini Bintang menjemputnya ke kantor.

Bintang menunggu di pelataran kantor sambil merokok. Kaos oblong warna hitam dan jeans belel adalah pakaian favoritnya. Ia berdiri di samping Avanza hitam miliknya.

Purnama keluar dari kantor bersama beberapa karyawan lain. Ia sudah tahu bahwa Bintang telah menunggunya di pelataran kantor.

"Gue udah dijemput nih." kata Purnama pada Dewi rekan kerjanya.

"Mana yang jemput lu?" tanya Dewi dan Purnama menjawab dengan menunjuk ke arah Bintang.

"Taksi online?"

Purnama menggeleng, "Itu laki gue."

"Owh, kucel amat." ucap Dewi jujur, Purnama merasa sedikit tersinggung.

"Dah ah, gue balik. Bye!"

Bintang membuang puntung rokoknya begitu memasuki mobil, tidak mungkin ia merokok karena mobil itu berpendingin. Purnama duduk di sebelah Bintang, ia merasa senang sang suami bisa menjemputnya.

Selama perjalanan tidak ada kata yang terucap di antara mereka, keduanya asik dengan pikiran masing-masing. Sampai di belokan tidak jauh dari rumah mereka, Purnama meminta Bintang untuk menepi.

"Beli sate dulu ya, Mas. Buat makan malam."

"Iya."

Purnama keluar dari mobil dan memesan 2 porsi sate ayam untuk makan malam mereka. Bintang tetap menunggu di dalam mobil sambil merokok, jendela mobil dibukanya. Purnama membayar sate itu begitu pesanannya matang.

Mobil langsung dimasukkan ke dalam garasi begitu mereka sampai. Rumah mertuanya sepertinya ramai. Ibu mertua dan adik iparnya sedang bercengkrama di teras. Purnama masuk dan menaruh satenya di atas meja makan.

Tubuh lelah dan lengket membuat Purnama ingin segera mandi. Diambilnya handuk dan melesat ke kamar mandi.

Setelah mandi, tubuh terasa segar Purnama memakai pakaian rumahannya. Daster berwarna marun dengan corak bunga-bunga kecil favoritnya. Setelah menyisir, Purnama keluar kamar untuk makan perutnya terasa keroncongan.

Di meja makan, kedua mertuanya, sang suami dan adik iparnya sedang menyantap sate yang dibelinya. Purnama hanya terdiam melihat itu semua.

"Kak, satenya enak. Kakak belinya cuma dua porsi jadi kita satu berdua deh." Awan adik Bintang berkata sambil menyuapkan tusukan sate terakhirnya.

"Lain kali beli sesuai jumlah orang dong biar gak satu berdua gini." keluh sang ibu mertua.

"Iya." jawab Purnama sambil menunduk. Satenya telah habis dan tak satu tusuk pun disisakan untuknya.

Purnama pergi ke dapur dan menggoreng sebuah telor untuk menu makan malamnya. Untunglah masih ada nasi tersisa di magic jar-nya.

Di saat perut lapar apa pun terasa nikmat. Secentong nasi dengan satu ceplok telor amat disyukuri Purnama sebagai menu makan malamnya.

"Ini buat belanja." Bintang menghampiri Purnama yang sedang makan sambil memberikan selembar uang berwarna merah padanya.

"Makasih, Mas." Purnama menerima uang itu, terakhir tiga minggu lalu ia menerima uang dengan jumlah yang sama.

"Aku ke rumah si Jono dulu." "Iya."

Bintang pergi dengan motornya menuju ke rumah sahabatnya.

Malam sudah larut, Purnama berniat tidur. Namun sebelumnya ia harus menutup gorden dan mengunci pintu terlebih dahulu. Saat ia akan menutup pagar, Noni sang ibu mertua menghampiri.

"Purnama, hand phone yang tiga jutaan tapi bagus merk apa ya?"

"Banyak, Mi. Dengan harga segitu banyak handphone

bagus kok. Ke tokonya aja, Mami bisa pilih."

"Bintang nih, Mami bilang beliin hand phone aja kalo proyeknya gol eh malah ngasih uang."

"Proyek?"

"Mobil yang dia modif kan laku 2 kali lipat dari harga modalnya. Kamu gak tahu?"

"Nggak tahu, Mi."

"Kamu dikasi duit’kan sama Bintang?"

Purnama terdiam sejenak. "Dikasi, Mi."

"Yaudah deh, kamu tidur gih Mami juga mau tidur."

"Iya, Mi."

Ada rasa sesak di hati Purnama mendengar cerita ibu mertuanya. Begitu besar uang yang diperoleh sang suami namun hanya selembar uang berwarna merah yang diberikan padanya. Untuk urusan nafkah berupa uang belanja Bintang memang selalu memberi tetapi tidak lebih dari 200 ribu rupiah tiap bulannya semenjak mereka menikah.

Dari awal mereka menikah, Purnama berusaha bersabar menghadapi semua. Ia pun tidak mengeluh manakala uang gajinya habis untuk keperluan sehari-hari. Namun malam ini ada rasa sesak saat tahu dari ibu mertuanya begitu besar uang yang diperoleh suaminya.

"Mungkin Mas Bintang butuh uang untuk modal." gumam Purnama meyakinkan hatinya.

Malam sudah sangat larut saat Bintang kembali ke rumah.

Tok! Tok! Tok!

"Purnama!"

Purnama yang sedang lelap terbangun. Sejenak ia lihat jam di dinding, pukul 2.30 dini hari. Masih dalam keadaan mengantuk, ia berjalan ke arah pintu dan membuka kuncinya. Bintang berdiri di depannya, mulutnya bau alkohol.

"Mas mabuk?"

"Suami pulang bukannya dilayani malah diinterogasi!"

"Maaf, Mas."

Bintang masuk ke dalam kamar lalu merebahkan dirinya di ranjang, hanya dalam hitungan menit ia sudah terlelap sementara Purnama masuk ke kamar mandi. Karena telah terbangun saat dini hari, Purnama memutuskan untuk melakukan shalat tahajud. Ia berdoa cukup lama setelah sholat, untuk dirinya, suaminya, dan orang-orang yang dicintainya didoakan.

Jam menunjukkan pukul 3.15 setelah Purnama selesai dengan ibadahnya. Dengkuran halus Bintang terdengar jelas, Purnama menatap suaminya. Ia berinisiatif mengganti baju suaminya agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Perlahan Purnama melepaskan baju suaminya, tanpa disadarinya Bintang terbangun.

"Kamu ngapain?" Tangan Bintang menahan tangan Purnama yang hendak memakaikannya baju.

"Gantiin baju kamu."

"Kamu bangunin yang lain."

"Maksud, Mas?"

"Aku mau kamu." Suara serak penuh hasrat terucap dari bibir Bintang.

Purnama tahu maksud suaminya, ia mengangguk memberi izin Bintang melakukan tugasnya sebagai suami. Kali ini Bintang melakukan dengan lembut tidak seperti terakhir kali. Purnama menikmati kegiatannya kali ini, ini seperti ketika awal mereka menikah. Setelah keduanya mencapai klimaks, Bintang lalu tertidur sementara Purnama bergegas ke kamar mandi karena adzan Subuh telah berkumandang.

Selesai mandi, Purnama melaksanakan shalat Subuh lalu menuju ke dapur. Hari libur berarti masak lebih banyak karena kedua mertua beserta adik ipar Purnama dapat dipastikan akan sarapan bersama di rumah Purnama.

Purnama membuat nasi uduk beserta telur dadar dan bihun goreng untuk sarapan. Begitu semua selesai dimasak, kedua mertua Purnama datang. Mereka seakan memiliki radar yang bisa mendeteksi bahwa sarapan telah siap.

Purnama membangunkan Bintang untuk sarapan bersama, "Mas, bangun! Ayo sarapan, mami sama papi udah di meja makan tuh."

"Hoam ... bentar aku cuci muka dulu."

"Ditunggu di ruang makan ya, Mas!"

"Hm."

Purnama menunggu Bintang di meja makan. Nasi uduk dan lauk jatah Bintang telah disiapkan. Kedua mertuanya telah mulai makan lebih dulu. Purnama berusaha menghormati suaminya hingga akan makan jika suaminya telah mulai makan.

Bintang datang dengan wajah yang terlihat masih mengantuk. Ia duduk di samping Purnama lalu menikmati sarapannya.

"Nanti jam 10 kita berangkat ke rumah Om Wisman ya?" Mami berkata sambil mengunyah nasi uduknya.

"Ada acara apa, Mi?" Purnama bertanya.

"Aqiqahan cucunya."

"Udah lahiran toh mantunya Mas Wisman?" Papi ikut nimbrung. Mereka semua sedang sarapan bersama di ruang makan Bintang.

"Udah sebulan lalu." ucap Mami sambil terus mengunyah.

"Beruntung banget ya Mas Wisman, belum setahun anaknya nikah udah dapet cucu. "

"Kita kapan ya, Pi, dapet cucu?"

"Menurut kamu kapan Purnama?" Papi melempar pertanyaan pada Purnama.

"Gak tau, Mi. Anak kan anugerah Allah, entah kapan dikasihnya kita gak tahu."

"Usaha dong biar cepet dapet."

"Usaha sih terus, Mi tapi mungkin belum rejeki kami." Purnama menjawab, dilihatnya sang suami asyik makan tanpa membantunya menjawab.

Purnama merasa tidak nyaman dengan ucapan mertuanya. Ia juga amat menginginkan buah hati tapi Tuhan belum juga memberinya kepercayaan.

Tepat jam 10 mereka berangkat menuju rumah om Wisman. Menggunakan Avanza milik Bintang membelah kota Jakarta. Rumah Om Wisman tidak jauh dari perumahan mewah yang sangat ternama.

Rumah-rumah besar bergaya Mediterania dan Eropa klasik mereka lewati. Purnama duduk di samping ibu mertuanya yang asyik mengamati rumah-rumah mewah itu.

"Enak ya kalo punya menantu yang rumahnya segede gitu." ucap ibu mertuanya.

"Enaknya apa, Mi?" Papi yang duduk di samping Bintang bertanya tanpa menengok ke belakang.

"Rumah sebelah bisa kita kontrakin, jadi nambah pemasukan ‘kan." jawab Mami tanpa beban.

Deg!

Purnama merasa tersindir. Ia berasal dari keluarga sederhana hingga setelah menikah ia rela tinggal di samping rumah mertuanya.

Rumah Om Wisman sudah ramai dengan anggota keluarga yang berdatangan. Pengajian untuk aqiqah akan segera dimulai. Purnama duduk di halaman belakang rumah bersama anggota keluarga lain.

"Kapan nyusul?" tanya istri OmWisman.

"Nyusul apa, Tan?" Purnama yang sedang melihat ke arah lain segera menoleh.

"Punya anak lah kayak menantu tante."

"Belum dikasi kayaknya, Tan."

"Jangan-jangan kamu ada masalah?"

"Kalo Bintang sih pasti subur." ucap mami yang duduk di sebelah Purnama.

"Ke dokter deh, dicek terus ikut program biar cepet hamil."

Purnama mengambil nafas berat, ia tidak menyukai tema pembicaraan ini namun ia berusaha menimpali dengan cara yang paling wajar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status