Share

10. Surat Rahasia

Purnama menarik pergelangan sang istri, lalu mengajaknya sedikit menjauh dari riuhnya pesta yang digelar untuk memperingati ulang tahun pernikahan Yusuf.

"Jaga ucapanmu, jangan sampai Papa murka," bisik Purnama memperingati sang istri.

Kamila bergeming. Sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal dengan perkataannya tadi. Bibirnya terbungkam karena otak tengah berpikir. Sementara di belakang keduanya, Jafar mengikuti pasangan tersebut dengan wajah penuh kecewa pada menantunya.

"Bawa istrimu menjauh dari pesta ini sebelum orang lain mendegar perkataannya yang tidak mengenakkan," titah sang kepala keluarga yang setiap ucapannya tidak bisa dibantah oleh siapa pun.

"Iya, Pa," jawab Purnama patuh. Setelah sang pemegang tahta tertinggi di keluarga Prayoga kembali pada Adhisti dan Yusuf. Barulah lelaki paruh baya itu membawa istrinya.

Sang pemilik pesta tak menghiraukan perkataan Kamila tadi. Yusuf bahkan langsung disibukkan dengan banyaknya ucapan selamat dari para koleganya. Sama seperti Yusuf, sang istri pun mendapat ucapan selamat dari para tamu undangan sehingga keduanya tidak menyadari jika Kamila dan Purnama meninggalkan pesta.

"Ma, kamu apa-apaan?" tanya Purnama ketika mereka berada jauh dari riuhnya pesta ulang tahun pernikahan Yusuf. Wajahnya memerah menahan amarah pada sang istri. "Kita sudah menantikan kabar ini cukup lama. Apa kamu tidak ingat dengan ancaman Papa jika Yusuf tak kunjung memberikan keturunan. Sekarang, setelah Adhisti mengumumkan kehamilannya. Mengapa kamu terkesan menolak? Apa yang terjadi dengan dirimu sebenarnya?"

Purnama menumpahkan kekesalan hatinya. Dia sudah menunggu sangat lama kabar bahagia itu, tetapi sang istri malah merusaknya dalam hitungan detik. Tidak akan dibiarkan seperti ini, tekad Purnama dalam hati.

Sorot mata Kamila kosong. Tangannya bahkan bergetar hebat. Bukan takut akan perkataan kasar dan membentak sang suami. Namun, dia takut jika apa yang dia pikirkan benar terjadi. Tak ada seorang pun yang tahu, selain dirinya. Mengapa Yusuf sampai saat ini belum dikaruniai momongan.

"Ma, kamu mendengar apa yang aku ucap barusan, kan? Kenapa diam saja. Jangan sampai karena ucapanmu tadi, Papa marah pada kita." Lelaki itu mulai jengkel dan kesal pada sikap istrinya.

Menghela napas, Kamila memberanikan diri menatap Purnama. Pikiran perempuan itu melanglang buana. Namun, dia sungguh takut jika apa yang bermain di kepala benar terjadi. Tidak terbayangkan bagaimana reaksi seluruh keluarga Prayoga.

"Kita pulang sekarang, Pa," ucap perempuan paruh baya yang selalu menyayangi Yusuf, tiba-tiba saja seluruh kesadaran dan ketakutan itu harus dia ungkap.

Purnama mendelik. "Pikiranmu mulai tidak waras. Bagaimana bisa kita meninggalkan pesta putra semata wayang kita," gerutunya cukup keras.

"Mama akan menceritakan hal sebenarnya yang tidak ada seorang pun tahu, kecuali dokter dan aku sendiri." Kali ini, Kamila yang menyeret pergelangan tangan sang suami dengan gemetaran. Tekadnya sudah bulat untuk memberi tahu Purnama.

Sudah saatnya Purnama mengetahui apa yang dia sembunyikan selama lebih lima tahun terakhir. Efek yang akan ditimbulkan setelah rahasia itu terkuak, Kamila sudah tak peduli lagi.

"Jangan nekat, Ma. Apa yang akan dipikirkan Papa jika kita sampai pulang sebelum pesta usai. Lagian, tidak baik meninggalkan pesta, sedangkan para undangan masih banyak di dalam."

Kamila menghentikan langkah. Tatapannya kali ini, penuh permohonan pada sang suami. Masalah kehamilan Adhisti tidak bisa dianggap sumber kebahagiaan baginya.

"Pa, ini keadaan darurat, masalah kehamilan Adhisti jauh lebih penting. Jika, Papa ingin  mengetahui kenapa Mama bisa sampai bicara seperti tadi. Ayo kita pulang sekarang. Semua akan terjawab dan perkataan Mama tadi tidak akan menjadi sebab kemarahanmu lagi." Kamila menggandeng tangan sang suami kembali. Mengajaknya melangkah walau lelaki itu masih saja enggan.

"Baiklah. Awas saja jika Mama sampai berbohong."

"Mama tidak akan pernah membohongi Papa. Ayo," ajak Kamila. Sedikit tergesa, keduanya menuju basement.

Sedikit tergesa, langkah Kamila dan suaminya saling berkejaran. Purnama bahkan melajukan mobilnya cukup kencang. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan dari keduanya. Kamila dengan segala pikiran buruk pada sang menantu dan Purnama dengan segala curiga pada istrinya.

Kurang dari sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di kediaman utama keluarga Prayoga. Selain letak hotel yang tidak begitu jauh dari rumah mereka, suasana jalan ikut mendukung. Lalu lintas kendaraan tak sepadat di saat jam berangkat atau pulang kerja. Hari libur, kendaraan di jalanan tidak banyak yang keluar.

Kamila turun terlebih dahulu tanpa mempedulikan suaminya. Berlari ke arah kamar dan tak menggubris sapaan para pembantu yang memberi sapaan. Perempuan paruh baya itu membuka pintu kamar dengan tidak sabar, sampai-sampai kunci terlepas dari genggamannya.

"Astagfirullah," ucap Kamila, "biarkan  aku memberitahu suamiku. Supaya dia tahu bahwa apa yang aku ucapkan tadi cukup beralasan."

Berhasil membuka pintu kamar, Kamila segera menuju brankas pribadinya. Di tempat itulah dia menyimpan semua barang-barang pribadi yang berharga miliknya. Termasuk apa yang ingin dia tunjukkan pada Purnama.

Mengeluarkan selembar map, indera Kamila mulai menelusuri apa yang tertulis di sana. "Aku tidak salah dengan ucapannya tadi. Semua bukti ini, sudah jelas. Hasil tiga tes yang aku lakukan diam-diam juga mengatakan hal yang sama.

Suara kenop pintu terdengar oleh indera Kamila. Menoleh, saat itu juga sang suami sudah berdiri di hadapannya. Sang istri bisa menaikkan garis bibirnya walau samar. Yakin jika suaminya akan memaklumi dan memaafkan ucapannya tadi. Menjulurkan map yang sudah dia baca dan diyakini bahwa Purnama pasti akan mengerti kejadian tadi.

"Baca ini baik-baik. Papa harus tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada putra kita. Mengapa Yusuf  bertahun-tahun sampai tidak memiliki anak? Mengapa, Mama sampai berkata seperti tadi ketika Adhisti mengumumkan tentang kehamilannya."

"Apa ini, Ma?"

"Papa baca saja, nanti pasti tahu apa isinya." Kamila menghela napas panjang. Duduk di tepi ranjang menanti reaksi selanjutnya dari Purnama.

Lelaki itu mengambil map hitam dari tangan sang istri. Duduk, di sebelah perempuan yang sudah membersamainya puluhan tahun lalu. Membaca halaman pertama, mata sang lelaki membulat. Lalu, menoleh ke samping kiri.

"Kesalahan terbesar kita pada Yusuf adalah memaksanya menikah dengan Adhisti sehingga  kecelakaan itu terjadi." Kamila mengusap wajahnya. "Andai kita tidak terlalu keras pada anak itu. Mungkin semua tidak akan pernah terjadi."

Purnama mengabaikan perkataan istrinya. Dia lebih fokus membaca baris demi baris apa yang tertulis di kertas tersebut.

"Milik siapa rekam medis ini, Ma?"

"Menurut Papa? Siapa pemiliknya?"

"Tidak mungkin Yusuf mengalaminya?" kata Purnama. Lelaki itu bahkan sampai berdiri. Meletakkan map di ranjang dan memegang lengan sang istri dengan kuat. "Katakan bahwa laporan ini bukan milik putra kita."

"Nyatanya, rekam medis itu memang miliknya, Pa."

"Tidak!" Purnama melepas cengkeramannya. Lalu, terduduk lemas di tepian ranjang, "Kenapa bisa Yusuf mandul?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status