Purnama menarik pergelangan sang istri, lalu mengajaknya sedikit menjauh dari riuhnya pesta yang digelar untuk memperingati ulang tahun pernikahan Yusuf.
"Jaga ucapanmu, jangan sampai Papa murka," bisik Purnama memperingati sang istri.Kamila bergeming. Sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal dengan perkataannya tadi. Bibirnya terbungkam karena otak tengah berpikir. Sementara di belakang keduanya, Jafar mengikuti pasangan tersebut dengan wajah penuh kecewa pada menantunya."Bawa istrimu menjauh dari pesta ini sebelum orang lain mendegar perkataannya yang tidak mengenakkan," titah sang kepala keluarga yang setiap ucapannya tidak bisa dibantah oleh siapa pun."Iya, Pa," jawab Purnama patuh. Setelah sang pemegang tahta tertinggi di keluarga Prayoga kembali pada Adhisti dan Yusuf. Barulah lelaki paruh baya itu membawa istrinya.Sang pemilik pesta tak menghiraukan perkataan Kamila tadi. Yusuf bahkan langsung disibukkan dengan banyaknya ucapan selamat dari para koleganya. Sama seperti Yusuf, sang istri pun mendapat ucapan selamat dari para tamu undangan sehingga keduanya tidak menyadari jika Kamila dan Purnama meninggalkan pesta."Ma, kamu apa-apaan?" tanya Purnama ketika mereka berada jauh dari riuhnya pesta ulang tahun pernikahan Yusuf. Wajahnya memerah menahan amarah pada sang istri. "Kita sudah menantikan kabar ini cukup lama. Apa kamu tidak ingat dengan ancaman Papa jika Yusuf tak kunjung memberikan keturunan. Sekarang, setelah Adhisti mengumumkan kehamilannya. Mengapa kamu terkesan menolak? Apa yang terjadi dengan dirimu sebenarnya?"Purnama menumpahkan kekesalan hatinya. Dia sudah menunggu sangat lama kabar bahagia itu, tetapi sang istri malah merusaknya dalam hitungan detik. Tidak akan dibiarkan seperti ini, tekad Purnama dalam hati.Sorot mata Kamila kosong. Tangannya bahkan bergetar hebat. Bukan takut akan perkataan kasar dan membentak sang suami. Namun, dia takut jika apa yang dia pikirkan benar terjadi. Tak ada seorang pun yang tahu, selain dirinya. Mengapa Yusuf sampai saat ini belum dikaruniai momongan."Ma, kamu mendengar apa yang aku ucap barusan, kan? Kenapa diam saja. Jangan sampai karena ucapanmu tadi, Papa marah pada kita." Lelaki itu mulai jengkel dan kesal pada sikap istrinya.Menghela napas, Kamila memberanikan diri menatap Purnama. Pikiran perempuan itu melanglang buana. Namun, dia sungguh takut jika apa yang bermain di kepala benar terjadi. Tidak terbayangkan bagaimana reaksi seluruh keluarga Prayoga."Kita pulang sekarang, Pa," ucap perempuan paruh baya yang selalu menyayangi Yusuf, tiba-tiba saja seluruh kesadaran dan ketakutan itu harus dia ungkap.Purnama mendelik. "Pikiranmu mulai tidak waras. Bagaimana bisa kita meninggalkan pesta putra semata wayang kita," gerutunya cukup keras."Mama akan menceritakan hal sebenarnya yang tidak ada seorang pun tahu, kecuali dokter dan aku sendiri." Kali ini, Kamila yang menyeret pergelangan tangan sang suami dengan gemetaran. Tekadnya sudah bulat untuk memberi tahu Purnama.Sudah saatnya Purnama mengetahui apa yang dia sembunyikan selama lebih lima tahun terakhir. Efek yang akan ditimbulkan setelah rahasia itu terkuak, Kamila sudah tak peduli lagi."Jangan nekat, Ma. Apa yang akan dipikirkan Papa jika kita sampai pulang sebelum pesta usai. Lagian, tidak baik meninggalkan pesta, sedangkan para undangan masih banyak di dalam."Kamila menghentikan langkah. Tatapannya kali ini, penuh permohonan pada sang suami. Masalah kehamilan Adhisti tidak bisa dianggap sumber kebahagiaan baginya."Pa, ini keadaan darurat, masalah kehamilan Adhisti jauh lebih penting. Jika, Papa ingin mengetahui kenapa Mama bisa sampai bicara seperti tadi. Ayo kita pulang sekarang. Semua akan terjawab dan perkataan Mama tadi tidak akan menjadi sebab kemarahanmu lagi." Kamila menggandeng tangan sang suami kembali. Mengajaknya melangkah walau lelaki itu masih saja enggan."Baiklah. Awas saja jika Mama sampai berbohong.""Mama tidak akan pernah membohongi Papa. Ayo," ajak Kamila. Sedikit tergesa, keduanya menuju basement.Sedikit tergesa, langkah Kamila dan suaminya saling berkejaran. Purnama bahkan melajukan mobilnya cukup kencang. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan dari keduanya. Kamila dengan segala pikiran buruk pada sang menantu dan Purnama dengan segala curiga pada istrinya.Kurang dari sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di kediaman utama keluarga Prayoga. Selain letak hotel yang tidak begitu jauh dari rumah mereka, suasana jalan ikut mendukung. Lalu lintas kendaraan tak sepadat di saat jam berangkat atau pulang kerja. Hari libur, kendaraan di jalanan tidak banyak yang keluar.Kamila turun terlebih dahulu tanpa mempedulikan suaminya. Berlari ke arah kamar dan tak menggubris sapaan para pembantu yang memberi sapaan. Perempuan paruh baya itu membuka pintu kamar dengan tidak sabar, sampai-sampai kunci terlepas dari genggamannya."Astagfirullah," ucap Kamila, "biarkan aku memberitahu suamiku. Supaya dia tahu bahwa apa yang aku ucapkan tadi cukup beralasan."Berhasil membuka pintu kamar, Kamila segera menuju brankas pribadinya. Di tempat itulah dia menyimpan semua barang-barang pribadi yang berharga miliknya. Termasuk apa yang ingin dia tunjukkan pada Purnama.Mengeluarkan selembar map, indera Kamila mulai menelusuri apa yang tertulis di sana. "Aku tidak salah dengan ucapannya tadi. Semua bukti ini, sudah jelas. Hasil tiga tes yang aku lakukan diam-diam juga mengatakan hal yang sama.Suara kenop pintu terdengar oleh indera Kamila. Menoleh, saat itu juga sang suami sudah berdiri di hadapannya. Sang istri bisa menaikkan garis bibirnya walau samar. Yakin jika suaminya akan memaklumi dan memaafkan ucapannya tadi. Menjulurkan map yang sudah dia baca dan diyakini bahwa Purnama pasti akan mengerti kejadian tadi."Baca ini baik-baik. Papa harus tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada putra kita. Mengapa Yusuf bertahun-tahun sampai tidak memiliki anak? Mengapa, Mama sampai berkata seperti tadi ketika Adhisti mengumumkan tentang kehamilannya.""Apa ini, Ma?""Papa baca saja, nanti pasti tahu apa isinya." Kamila menghela napas panjang. Duduk di tepi ranjang menanti reaksi selanjutnya dari Purnama.Lelaki itu mengambil map hitam dari tangan sang istri. Duduk, di sebelah perempuan yang sudah membersamainya puluhan tahun lalu. Membaca halaman pertama, mata sang lelaki membulat. Lalu, menoleh ke samping kiri."Kesalahan terbesar kita pada Yusuf adalah memaksanya menikah dengan Adhisti sehingga kecelakaan itu terjadi." Kamila mengusap wajahnya. "Andai kita tidak terlalu keras pada anak itu. Mungkin semua tidak akan pernah terjadi."Purnama mengabaikan perkataan istrinya. Dia lebih fokus membaca baris demi baris apa yang tertulis di kertas tersebut."Milik siapa rekam medis ini, Ma?""Menurut Papa? Siapa pemiliknya?""Tidak mungkin Yusuf mengalaminya?" kata Purnama. Lelaki itu bahkan sampai berdiri. Meletakkan map di ranjang dan memegang lengan sang istri dengan kuat. "Katakan bahwa laporan ini bukan milik putra kita.""Nyatanya, rekam medis itu memang miliknya, Pa.""Tidak!" Purnama melepas cengkeramannya. Lalu, terduduk lemas di tepian ranjang, "Kenapa bisa Yusuf mandul?"Happy Reading*****Kegagalan meneguk indahnya malam pertama setelah sekian lama keduanya terpisah membuat Bunga begitu canggung saat ini. Walau berkali-kali Yusuf mengatakan tidak masalah, tetapi tetap saja perempuan itu merasa bersalah. Di saat sang suami sedang berada di puncak gairahnya terpaksa harus padam karena tamu bulanan Bunga datang lebih awal."Sini, Sayang," panggil Yusuf menepuk bagian pahanya."Mas, ih. Aku kan nggak bisa itu.""Tidak masalah. Walau tidak bisa masak kamu mau jauhi Mas, Yang.""Maaf, ya, Mas. Aku sudah membuatmu kecewa.""Tidak masalah, Sayang. Kita bisa mengulangnya di lain waktu. Mau jalan-jalan ke luar? Besok, kita pasti sibuk dan tidak memiliki kesempatan untuk berduaan.""Gimana bisa keluar kalau kuncinya saja dibawa Mama, Mas."Yusuf menepuk kening. Lupa jika seluruh keluarganya telah mengurung mereka di kamar tersebut. "Jadi, apa yang harus kita lakukan saat ini.""Nggak ada," jawab Bunga. Perempuan itu sengaja menjauhi sang suami. Duduk di sofa,
Happy Reading*****Sore sekitar pukul enam, keluarga Prayoga sudah berada di kediaman mereka. Tak membuang waktu lagi, Yusuf dilarikan ke rumah sakit tempat sang dokter praktek. Ada banyak harapan dari seluruh anggota keluarga tersebut atas kesembuhan Yusuf. Pemeriksaa panjang dan melelahkan akan segera mereka hadapi setelah Yusuf masuk ke ruang sang dokter. "Unda, Ayah sebenarnya sakit apa?" tanya si mungil yang sejak tadi berusaha menahan rasa ingin tahunya karena semua orang dewasa sibuk membicarakan sang ayah. "Ayah nggak sakit, Sayang. Cuma kelelahan saja.""Apa Ayah bekerja terlalu berat? Bisakah Fatih membantu pekerjaan Ayah supaya nggak kelelahan lagi seperti sekarang?"Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir mungil itu terdengar oleh Purnama dan Jafar. Keduanya lantas tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. "Apa Ayah harus membawanya ke kantor sejak dini," ujar Jafar pada sang putra. "Lebih cepat lebih baik. Fatih itu persis Yusuf. Semangatnya untuk membantu p
Happy Reading*****Pletak .... Satu sentilan mendarat di kening sang direktur yang terkenal pandai dan selalu berhasil dalam bisnisnya. Namun, entah mengapa pikirannya menjadi buntu ketika dihadapkan pada persoalan asmara. "Apa?" kata Yusuf tak terima diperlakukan kurang ajar oleh sahabatnya."Kamu memang tidak mengingat tragedi pelecehan itu atau pura-pura bodoh. Mana mungkin aku menyukai istri sahabatku sendiri. Yang benar saja, tunanganku sekarang sudah amat sangat sempurna," seloroh Irsan. Dia masih mengawasi Bunga. Takut perempuan itu berbuat nekat jika langsung menolong.Yusuf terdiam beberapa saat, memaksa memorinya untuk mengingat semua kejadian yang telah terlewat. Berhasil, kenangan demi kenangan beberapa hari lalu serta seluruh kejadian bagaimana keluarganya mengenal Bunga hadir dalam ingatan. Namun, menit berikutnya lelaki itu merasakan kepalanya berputar."San, tolong!" ucap Yusuf lirih.Irsan menoleh pada sahabatnya dan segera berteriak sekencang mungkin memanggil nam
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, setelah melakukan salat subuh berjemaah dengan para sahabatnya. Yusuf dan Bunga dikejutkan dengan kehadiran Purnama beserta seluruh keluarga besar keluarga Prayoga termasuk putra mereka. Kemarin malam, setelah melakukan panggilan video dan mengetahui kondisi kesehatan Yusuf, mereka sekeluarga tidak bisa duduk diam ataupun tidur nyenyak.Jafar bahkan langsung meminta asisten pribadinya untuk memesan tiket penerbangan ke Bali. Malam itu juga, lewat tengah malam, mereka sekeluarga menyusul Bunga."Eyang, Papa?" ucap Yusuf dengan bola mata terbuka sempurna. Detik berikutnya, lelaki itu melirik sang istri. "Eyang, aku bisa jelaskan siapa Bunga."Yusuf mengajak rombongan keluarganya masuk dan duduk di sofa. Para sahabatnya melihat dari jarak yang tidak begitu jauh sambil menggelengkan kepala."Ayah, kenapa nggak mau nyapa? Fatih kangen." Bukannya Jafar atau Purnama yang menjawab pertanyaan lelaki tampan itu, tetapi seorang anak kecil. Yusuf mengerutkan
Happy Reading*****Bunga menatap panik pada sang suami. Dia telah berteriak minta tolong pada dua sahabat ayahnya Fatih. Namun, Yusuf masih tetap berteriak dan berjalan ke tengah pantai.Entah apa yang terjadi dengan sang suami. Padahal, Bunga cuma ingin mengambil kerang dan segera kembali ke sisi Yusuf saat ombak yang datang terlihat sangat besar. Akan tetapi, sng suami malah berteriak keras memperingatkan dan berlari ke tengah pantai."Berhenti, Suf. Ada apa denganmu?" tanya Fawas. Sekuat tenaga, lelaki itu mengejar. Irsan dan Shaqina bahkan menghentikan kegiatan pemotretan karena takut terjadi sesuatu dengan sahabatnya."Ya Allah, Mas. Kamu kenapa sebenarnya?" kata Bunga. Dia terus berteriak memanggil Yusuf. Pergerakannya kalah cepat karena tubuh mungil si wanita.Ombak yang begitu besar menghantam Yusuf. Beruntung, Fawas sudah memegang tangan lelaki itu. Mereka berdua terseret beberapa meter ke tengah pantai. "Suf, sadar," ucap Fawas. Lelaki itu terpaksa menampar sahabatnya. Pan
Happy Reading*****Kelima rombongan Aghista pun melihat ke arah pandang ibu satu anak tersebut. Yusuf bahkan dengan cepat menutup mata sang istri dengan tangannya, sedangkan Shaqina terpaksa harus memalingkan muka. Malu sekali dengan adegan dua orng dewasa di depan mereka saat ini. "Cih, belum ada satu menit mengatakan akan melindungi Bunga dari gangguan lelaki manapun, tapi kelakuannya yang sekarang sungguh memalukan," kata Irsan. "Namanya bajingan, selamanya tidak akan pernah berubah," tambah Shaqina cukup keras hingga dua orang yang sedang melakukan adegan dewasa berciuman tersebut menoleh. Mata Damar membulat sempurna bahkan dia langsung mendorong perempuan yang tadi menjadi partner ya berciuman. "Jangan salah paham Bunga," kata Damar, "kamu tahu siapa dia. Sejak dulu, dia sudah mengejarku. Entah bagaimana dia bisa tahu, aku sedang ada kerjaan di sini.""Untuk apa kamu menjelaskan semua itu pada kekasihku?" tanya Yusuf. Tangannya sudah disingkirkan dari wajah sang istri."Mas
Happy Reading*****Bunga menatap suaminya yang tersenyum ketika melihat ekspresi terkejut Damar. "Mas, kamu nggak melakukan hal-hal menakutkan seperti janjimu tadi, kan?" tanya Bunga. Dia, hanya ingin memastikan bahwa suaminya tidak bertindak apa pun juga saat ini. Sungguh, keluarga Prayoga itu sangat menakutkan jika sudah merasa disakiti atau terancam. Seperti kasus Yudhistira dan Adhisti. Sepupu Yusuf itu, tega memasukkan si ibu hamil ke penjara berserta ayahnya sendiri. Padahal jelas-jelas mereka sudah meminta maaf. Kejadian pelecehan beberapa waktu lalu juga membuat Jafar marah besar. Lelaki sepuh tersebut bahkan meminta putrinya untuk bercerai dengan Iskandar. Tidak ada toleransi jika menyangkut nama baik dan rasa sakit yang dialami keluarga Prayoga. Semua harus dibayar sepadan. Sungguh, melihat wajah semringah sang suami. Bunga khawatir dengan keadaan Damar. Bukan karena dia menaruh hati pada lelaki tersebut, tetapi lebih kepada rasa kemanusiaan. "Hal-hal menakutkan gimana
Happy Reading*****"Kekanakan bagaimana?" jawab Damar, "aku cuma ingin melindungimu dari lelaki tidak baik ini."Kalimat Damar membuat Yusuf membulatkan mata. "Kita baru sekali bertemu. Jangan menyimpulkan sesuatu yang belum kamu ketahui kebenarannya," ucap suami Bunga. "Kebenaran apalagi yang perlu aku ketahui. Ekspresi wajah Bunga, jelas sangat tidak nyaman dengan perlakuanmu," jawab Damar. Masih kukuh dengan pendapat awal yang dilihatnya tadi. "Diam, Mar. Kamu terlalu jauh mencampuri urusan pribadiku," sahut Bunga. Kilat amarah itu jelas ditampakkan olehnya pada lelaki yang sejak tadi berusaha mendekatinya."Hah!" ucap sang lelaki sedikit terkejut dengan protes yang Bunga lakukan. "Kamu tidak perlu takut seperti itu, Bunga. Aku selalu siap ketika ada lelaki yang mengganggumu." Suara Damar mulai meninggi membuat orang-orang di dalam pesawat melihat ke arah mereka bertiga.Shaqina yang duduk dua kursi di belakang Yusuf dan Bunga, meminta ijin pada Irsan. "Permisi, Mas.""Mau ke ma
Happy Reading*****"Hai, Sayang. Kenapa berhenti?" ucap Yusuf tak tahan melihat sikap si lelaki yang cari-cari perhatian pada istrinya.Bunga tersenyum menatap sang suami. "Mas, kenalkan. Ini sahabat kami bertiga pas masih SMA dulu.""Hmm," jawab Yusuf tanpa berniat untuk berjabat tangan. Bunga menyadari sikap tidak suka yang ditunjukkan sang suami. Dia pun menggandeng tangan Yusuf posesif. "Mar, kenalin dia ini ....""Saya calon suaminya," ucap Yusuf. Tampang sengaja dibuat mode dingin. "Oh, rupanya sudah punya clon suami. Aku kira kamu masih sendiri." Sengaja mengedipkan sebelah mata, lelaki itu seakan memancing emosi Yusuf. "Kenalkan, saya Damar. Salah satu direksi sekaligus Direktur dari Akasurya Grup."Fawas menarik garis bibir. Seolah mengejek nama perusahaan yang disebutkan barusan. "Jika kamu mengaku direktur Akasurya Grup, lalu siapa Ganandra?""Nah, benar. Tidak perlu sok ngaku-ngaku, deh. Ganandra itu adalah direktur utama Akasurya Grup," tambah Irsan. Dia sengaja merapa