Sudah sekitar tiga hari ini aku tak masuk sekolah, bertemu dengan teman-teman sebayaku. Selama itu pula, aku hanya tahu kondisi Panji melalui Bapaknya yang tak lain adalah kekasihku juga.
Awalnya aku memang hanya berpacaran dengan Panji saja. Di mana sesekali dia membawaku ke rumahnya untuk sekedar belajar bersama dan di saat itu pulalah, aku bertemu dengan Bapaknya.
Aku tak langsung tertarik pada Bapaknya Panji, kadang aku merasa risih, karena sesekali pria tua itu seperti mengamatiku dari atas hingga bawah.
Namun, pada akhirnya aku luluh juga. Di mana Bapaknya Panji ternyata jauh lebih romantis dari anaknya dan yang membuatku semakin terpesona padanya, adalah sikapnya yang begitu royal padaku. Sehingga tak ragu untuk menuruti semua kemauanku.
Dari situlah, aku dan Mas Alif mulai menjalin hubungan, hingga tanpa ragu aku pun berani menyerahkan mahkota yang aku miliki padanya.
Panji sudah keluar dari rumah sakit, kondisinya sudah mulai membaik. Tetapi, ada satu hal yang tak dia inginkan, yaitu tinggal satu atap dengan Mas Alif.Aku sendiri tak bisa berbuat banyak, selain membawa Alif tinggal di rumah bibinya yang sudah lama kosong. Untung saja, saat aku sampai ke rumah ini, kondisinya sudah cukup bersih, tinggal menempati saja."Nak, mau makan apa siang ini?" tanyaku seraya menyentuh pundak Panji, mengelusnya perlahan.Panji menoleh, seulas senyuman tercipta di bibirnya yang cukup merah. Karena setahuku Panji belum pernah mencoba rokok, meskipun Mas Alif pernah meminta Panji untuk merasakannya. Hanya saja, anakku itu suka menolak permintaan Bapaknya, terlebih lagi karena memang aku melarangnya juga."Aku mau makan ayam goreng sama sayur asem buatan Ibu. Aku merindukannya. Sudah lama tak menyantapnya.""Akan Ibu buatkan!" balasku seraya mengusap puncak kepala Panji. Seulas senyuman terlukis di bibirku."Terima kasih, Bu. Lebih baik aku hidup berdua saja den
"Pergilah! Tak usah jauh-jauh datang kemari, sebab semuanya akan sia-sia saja, Amel," tegasku pada Amel.Namun, anak gadis itu sama sekali tak menghiraukan ucapanku. Buktinya dia langsung melangkah ke hadapanku, memaksa untuk masuk ke rumah."Tante, saya mohon. Ijinkan saya untuk menemui, Panji. Tidak akan lama, Tan. Karena--""Apa kamu tak punya telinga?!" teriakku dengan nyaring, mataku pun ikut membulat sempurna.Amel yang kebetulan berada tak jauh dari hadapanku, kembali terisak kecil. Wajahnya tampak putus asa dan penuh tekanan.Meskipun begitu, hati nuraniku sudah terlanjur buta. Tak ada kata maaf yang akan terucap dari bibirku dan Panji, semuanya sudah terlambat. Aku dan Panji terlanjur sakit hati."Tante, aku mohon. Apa Tante tak kasihan padaku?"Sontak, satu sudut bibirku terangkat ke atas, tak luput aku pun sampai memalingkan wajah. "Apa saya tak salah dengar?""Maksud, Tante?" Amel malah balik bertanya seraya mengusap sudut matanya yang masih di penuhi linangan cairan ben
[Mel, bisa datang ke rumah Mas tidak? Sudah hampir seminggu kamu tak ke sini.] Kukirimkan sebuah pesan singkat pada Amel. Aku tak merindukannya, hanya saja ada sesuatu yang ingin segera aku tuntaskan, makanya aku meminta Amel untuk segera datang ke rumah. Karena pada nyatanya, aku sedikit merindukan Melda dan Panji. Meskipun Melda memang tak sesegar Amel, tetapi kami sudah hidup bersama dengan cukup lama. Jadi, saat dia tak ada di sisiku, aku merasa begitu kesepian. Drrt ... drrt .... Gegas aku menatap layar gawai, memperhatikan sebuah pesan yang baru masuk. Akan tetapi, aku langsung menghela napas panjang, kala membaca balasan dari Amel. [Maaf, Mas. Aku tak bisa ke sana hari ini. Aku sedang mengerjakan tugas.] [Ayolah, Mel. Ini tak akan lama, kok. Biar Mas jemput, ya!] Aku masih bersikeras membujuk Amel. Aku harap anak ingusan itu akan luluh olehku. [Tidak bisa, Mas. Tugasku harus dikumpulkan esok hari, aku sudah ketinggalan banyak!] Lagi-lagi aku menghela napas panjang, kem
Hari ini aku akan pergi ke rumah, berniat mengambil barang-barang milikku dan Panji yang memang belum sempat kami bawa ke rumah baru.Maka dari itu, sengaja aku menitipkan Panji pada Ibuku. Sementara itu, aku dan Rifky berniat pergi ke rumah berdua saja.Aku memang membawa kunci cadangan rumah, aku harap juga bila Mas Alif tak ada di rumah ketika aku sampai di sana. Aku malas bertatap muka dengannya."Mbak, kamu benar-benar akan pergi?" tanya Rifky ketika aku baru saja masuk ke mobil. Dari pandangan matanya, Rifky tampak ragu dengan keputusanku."Ya, aku benar-benar akan pergi. Kenapa?"Rifky menggeleng pelan, tak ada ciri-ciri kalau kami akan segera berangkat. Mengingat Rifky justru terdiam dengan raut wajah gusar."Ayo, cepat! Kenapa kamu malah terdiam?" tanyaku pada Rifky yang tak kunjung bergerak."Lebih baik Mbak tak usah pergi saja,
Setelah meninggalkan pasangan yang tengah dimabuk asmara. Aku pun segera bergegas berjalan menuju kamar Panji yang letaknya cukup jauh dari kamarku.Akan tetapi, saat aku melewati ruang kerja Mas Alif, aku sempat berhenti sejenak, menimang-nimang untuk masuk atau tidak."Ada apa, Mbak?"Aku menggeleng pelan, kemudian menyerahkan beberapa buah benda pada Rifky yang tengah memegang koper berukuran besar."Tadi Mbak tak melihat, bila laptop Mas Alif ada di kamar, kemungkinan ada di ruang kerjanya!"Kedua bola mata Rifky tak kalah berbinar, adikku itu langsung mengangguk seraya menoleh, mengamati sekeliling."Ya, sudah, cepat Mbak masuk! Aku akan berjaga di sini, takut tiba-tiba Alif datang!""Baiklah."Gegas aku meraih handle pintu, mendorongnya secara perlahan, sehingga menimbulkan suara decitan kecil.&nbs
Beberapa saat setelah Rifky meringkuk Amel, tiba-tiba saja Mas Alif datang, pria itu tak banyak bicara, bahkan ketika Amel meminta pertolongan sekalipun.Mas Alif seperti orang yang tengah bimbang. Antara menolong Amel atau justru sebaliknya, karena memang raut wajahnya seperti mengatakan hal tersebut."Mas, tolong, Mas ... tolong!" pinta Amel dengan wajah memelas, derai air mata kembali membanjiri pipinya.Akan tetapi, Mas Alif justru diam saja. Pria itu tak berkutik sedikitpun, dia malah menggaruk tengkuknya dengan bibir yang seperti ragu-ragu untuk dia buka."Mas, kok, diam saja? Apa kamu tak berniat menolongku?! Mas, katanya kamu cinta padaku. Tetapi, kenapa kamu malah begini!"Amel terus saja meraung, meminta pertolongan pada Mas Alif. Tetapi, pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu masih saja tak bergeming.Hingga tiba-tiba pagar rumahku terbuka, menampilkan dua orang ibu-ibu dengan raut wajah penasaran."Ada apa ini?" tanya Santi--salah satu tetanggaku. Aku dan Santi cuku
"Bu, kok, lama?" tanya Panji dengan setengah berteriak.Aku yang baru turun dari mobil, segera menarik kedua sudut bibirku ke atas, kemudian menggendong sebuah tas hitam yang aku bawa dari rumah."Soalnya banyak barang yang harus Ibu dan pamanmu bereskan. Jadi, kami berada di rumah dengan cukup lama."Panji yang tengah duduk di salah satu kursi yang terletak di teras rumah, sedikit mencondongkan badannya dengan mata memicing."Tetapi, tak ada sesuatu yang terjadi di rumah, 'kan?""Tidak ada, Nak!" dalihku, berusaha menyembunyikan semuanya dari Panji.Aku tak ingin, bila Panji justru semakin kepikiran, seandainya aku menceritakan semuanya padanya.Ya, meskipun masalah ini sedikit sepele, tetap saja aku rasa Panji tak harus tahu, kondisinya belum sepenuhnya pulih."Ibu, tak bohong, 'kan?" tanya Panji dengan mata m
Aku sedang memasak di dapur, menyiapkan makanan untuk makan siang Panji dan diriku sendiri.Karena kami hanya tinggal berdua saja. Jadi, aku memasak tak terlalu banyak makanan, takut tak habis dan malah terbuang, sayang sekali, 'kan?Sementara itu, Panji sedang berada di teras rumah. Katanya ingin menikmati hembusan angin di temani secangkir teh hangat.Akan tetapi, saat aku hendak menggoreng ikan, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari luar rumah."Pergi kamu dari sini!"Gegas aku mematikan kompor, kemudian berlari keluar rumah, berniat menghampiri Panji."Ada apa, Nak?" tanyaku setengah berteriak. Meskipun hanya berlari sedikit saja, tetapi dadaku begitu sesak. Aku sampai ngos-ngosan dibuatnya.Namun, seketika saja aku tertegun di tempat, pandanganku terpaku pada satu sosok yang tengah berdiri tak jauh dariku.