Renata menatap lurus jasad kasarnya yang terbaring tenang di ranjang besar.
Sesaat setelah rohnya dibawa paksa, Samudera Biru segera memerintahkan Lucas untuk membawa tubuhnya pulang ke mansion.
Perasaan aneh hinggap tanpa diminta berbarengan dengan rasa asing, bingung dan tak percaya. Apakah mereka yang mati merasakan hal seperti ini juga?
Renata menggeleng kuat, mengusir pemikiran konyolnya jauh-jauh. Samudera Biru yang melihat tersenyum.
“Kelak kau akan terbiasa,” ucapnya lembut.
“Terbiasa?”
“Ya, kau pemilik jiwa lotus. Rohmu bisa keluar masuk dengan mudah tanpa perlu menguasai ilmu apa pun lagi.”
“Begitu ya,” Renata meringis.
Samudera Biru mengangguk. “Cepat masuk, rohmu masih belum bisa terlalu lama berada di luar tubuhmu.”
“Caranya?” tanya gadis itu bingung.
“Tinggal masuk saja.”
Samudera mendorong Renata mendekat ke a
‘Sejauh apa kita pergi, tanah, air dan udara di mana kita lahir selalu punya cara untuk memanggil pulang’Pulau kecil itu sangat indah dan bertabur cahaya matahari tenggelam. Karang dengan ceruk-ceruk dalam dan tumbuhan khas pantai terpahat anggun di sekitarnya.“Apa ini raja ampat?” tanya Renata sambil melepas helm. Pasir putih menyapa kaki kecilnya saat turun dari punggung Samudera Biru.“Pulau ini tak bernama, tak ada dalam peta dan tak bisa dilihat oleh manusia biasa.”“Maksudmu pulau gaib?”“Bukan, hanya pulau bertuah,” jawab Samudera Biru sambil meniup helm, menyingkirkan benda bulat itu entah ke mana. “Sagara, kau tahu dengan baik pulau apa ini bukan?”Hyang Sagara mengangguk membuat Samudera Biru tersenyum sinis.“Dan kau percaya wanita itu tak memiliki kekuatan apa-apa? Ck, sepertinya cinta membuatmu tumpul.”Hyang Sagara meringis pasra
“Trakk!!”Tusuk rambut terlepas dari genggaman, patah terhantam gelas perak aromaterapi.Cyrila menoleh, menatap nyalang Samudera Biru dan Hyang Sagara yang sudah berdiri di sudut kamar. Ia menggeram, kembali menyerang Renata dengan tusuk rambut lain namun gagal karena Hyang Sagara sudah lebih dulu berkelebat, memukul lengan dan dadanya hingga terhuyung.“Sadarlah!” teriak lelaki itu sambil menotok beberapa bagian tubuh Cyrila hingga tak leluasa bergerak.Samudera Biru biru melangkah tenang menuju tepi ranjang, mengeluarkan botol kristal kecil lalu menyentuhkan dua jari ke kening Renata. Asap sangat tipis mengepul dari hidung gadis itu, masuk ke dalam botol secara perlahan.Setelah menutup botol Samudera Biru menatap lembut Renata yang mulai terjaga.“A ... apa yang terjadi? Dia kenapa?” tanyanya bingung saat melihat Cyrila yang melotot dengan pupil seputih kertas.“Terkena tenung dan me
Aroma masakan menyebar ke penjuru rumah. Renata dan Cyrila tampak sibuk membuat sarapan. Tak ada kecanggungan di antara mereka seolah malam tadi tak pernah terjadi apa-apa.“Dapurmu sangat lengkap,” puji Renata melihat peralatan masak dan stok bahan makanan yang tersedia di sana.“Sebulan sekali aku keluar untuk berbelanja,” jelas Cyrila menjawab nada heran yang terselip dalam kalimat Renata.“Kau benar-benar berbelanja sendiri?”“Hanya mataku yang buta, keterampilanku yang lain masih bagus.”Renata mengangguk-angguk. Benar, bagaimanapun Cyrila bukan wanita biasa.“Nona Renata, maaf untuk kejadian semalam.”“Tidak, seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah menyeretmu ke dalam bahaya.”“Bisa melakukan sesuatu untukmu dan Tuan Singgih adalah sebuah kehormatan. Hanya saja ternyata aku tidak cukup kuat, aku sangat menyesal.”“Sudahl
“Aku belum mau mati!!”Renata berteriak panik saat mereka terlempar keluar dari sampan yang menukik ke tengah pusaran.“Tidak akan! Kau dilarang mati sebelum menikahiku!”Samudera Biru membalas. Ia menyambar tubuh Renata yang tampak kesulitan menahan gravitasi.“Yaa!! Aku juga tidak mau mati dalam keadaan jomblo!!”Renata membelit Samudera Biru, melingkarkan sebelah lengan di lehernya dengan mata terpejam, menahan ngeri melihat inti pusaran yang seperti tak memiliki dasar.“Aku akan menagih ucapanmu!”Samudera Biru tertawa, memeluk pinggang gadis itu erat.“Kalian sungguh tidak tahu situasi!” rutuk Hyang Sagara sambil menatap Cyrila yang berada jauh di depannya.Beberapa menit kemudian, saat sensasi berdebar jantungnya menghilang, saat wajahnya tak lagi merasakan terpaan angin Renata membuka mata.Ia terlongong.Mereka kini berdiri di tepi pantai b
Samudera Biru menatap Renata yang termangu.Sejak meninggalkan istana duyung, gadis itu belum bersuara sama sekali. Bahkan, saat mereka melewati pintu keluar berupa dinding air setinggi puluhan meter, ia tetap diam. Padahal biasanya selalu antusias jika menemukan hal di luar nalarnya.“Aku tak menyangka Ratu Elaine meminta ekstrasi darah ibumu,” ucap Hyang Sagara mencairkan sepi.Samudera Biru hanya menyeringai.“Padahal dia sudah sangat cantik, awet muda dan berumur panjang. Apa itu masih kurang?”“Dia ingin abadi,” jawab Cyrila sembari tersenyum.“Ck, apa bagusnya hidup abadi? Melihat dunia terus berubah, ditinggalkan orang terdekat satu per satu. Bagiku itu sebuah siksaan.”“Tidak semua memiliki pemikiran yang sama dengan Anda, Pangeran,” balas Cyrila tenang tapi cukup menohok, membuat Hyang Sagara terdiam.Renata yang mendengar hanya menarik napas. Ternyata beberap
Beberapa hari kemudian, seusai sarapan, Samudera Biru memberi Renata setumpuk kitab.“Banyak sekali,” keluhnya cemberut.“Itu belum seberapa. Katanya ingin cepat sakti?” Renata berdecak, membuka-buka kitab secara acak lalu menutup kembali tanpa minat.Belakangan ini ia tak bisa tidur nyenyak. Selalu memikirkan keadaan ayahnya.Seribu khawatir bersarang di hatinya seperti kutu. Mengganggu dan gatal. Membuatnya tidak sabar. Terus saja membahas masalah itu di setiap kesempatan, seperti saat ini.“Mm ... Pangeran.”“Hem,” jawab Samudera Biru tanpa mengalihkan fokus dari perkamen yang dibacanya.“Apa kau sudah menemukan cara untuk membebaskan ayahku?”Renata menggigit bibir. Sedikit malu sudah menanyakan hal yang sama berulang kali.Samudera Biru menaruh perkamen dan menatap wajah gelisahnya.“Belum.”“Apa kau tidak bisa
Renata merasakan napas hangat dan harum menyentuh kulit wajahnya. Seperti Samudera Biru, darahnya pun berdesir dan jantungnya bertalu dengan hebat. Ia tahu ini salah. Namun rasa mendamba yang kuat membuatnya menjadi linglung. Sejenak lupa jika berbeda alam.Hanya tinggal sedikit lagi bibir mereka akan bertaut tiba-tiba pintu diketuk dari luar.“Yang Mulia, hamba membawa informasi yang Anda minta.”Suara Ratansa dalam sekejap menyentak kesadaran Renata. Menghancurkan atmosfer intim yang tercipta di antara mereka berdua.Renata mendorong Samudera Biru. Sialnya karena terlalu gugup ia menggunakan sedikit energi lotus sehingga peri itu terjengkang menabrak walk in closet, menghasilkan suara berdebam kencang.“Astaga!” seru Renata panik.Meski pada dasarnya kamar itu kedap suara namun telinga sensitif Ratansa masih bisa mendengar keributan di dalam secara sayup-sayup.“Yang Mulia, Anda tidak apa-
“Apakah Kenzio Timoer bekerja di sini?”Satu alis Renata terangkat. Menyadari sesuatu.Benar, wajah lelaki ini mirip dengan Ken.“Anda siapa?” tanya Renata dengan mata menyipit.Meski mereka mirip Renata tak ingin gegabah. Selama jam kerja maka Ken alias Kenzio Timoer adalah tanggung jawabnya.“Ah, maaf. Perkenalkan saya Lintang Timoer, Kakak Kenzio.” Lelaki itu mengulurkan lengan.Ken punya kakak sekaya ini?Rasanya Renata sedikit tidak percaya, mengingat anak itu selalu bersikap seperti anak kekurangan materi. Ia tak ragu membungkus pulang sisa makanan yang Renata beli dan tak pernah menolak uang jajan pemberiannya yang tak seberapa.Apa dia kabur dari rumah?Renata mengerjap. Menyimpan sementara pikirannya. Menyambut tangan yang terasa sangat lembut seperti tangan bayi.“Saya Renata,” balas Renata lalu buru-buru menarik kembali lengannya, sedikit malu oleh telapak