Mereka bertiga berkumpul di sofa. Asya meremas tangan Dina menenangkan kecemasan sepupunya setelah mendengar penjelasan Raka. Lambung Elan memang lemah, mudah timbul tukak yang menyebabkan nyeri jika makanan yang ekstrem masuk ke perutnya.
"Biarkan dia istirahat dulu beberapa hari. Kelelahan juga salah satu faktor yang memengaruhi daya tahannya." Ujar Raka sembari membetulkan lengan kemejanya. Selalu tampan dan karismatik sesuai dengan profesinya.
"Kok bisa sih aku lupa kalau Kak Elan tidak bisa makan pedas.." Wajah Dina mengerut, rautnya membentuk rasa bersalah. "Seharusnya aku melarangnya makan bakso itu, bukan malah dia yang melarangku."
"Sudah terjadi, tidak apa Din, nanti juga baikan kok. Dengan begini kamu akan selalu ingat kalau lambung Kak Elan memang sensitif dengan makanan. Makanya dia tidak pernah melewatkan jam makan, juga lebih suka membuat makanannya sendiri. Lagipula, Kak Elan makan baksonya atas keinginan sendiri, jadi ya buk
vote dan komentar ya say, makasih
"Satu ronde!" "Jangan! Kamu masih sakit." Tolak Dina sebisa mungkin. "Yang di bawah lebih sakit kalau tidak dijepit." Tanpa berlama-lama Elan segera menggendong Dina bangkit daribathtub. Memepetnya ke dinding, mengapitkan kakinya ke pinggang, lalu dengan lancang menyusupkan miliknya yang keras sempurna ke dalam istrinya. Tatapan mereka berjumpa. Satu garang, satu penuh harapan. Elan tersenyum menemukan sebuah harapan di wajah Dina. Pertanda gadis itu juga menginginkan sentuhan tubuhnya. "Kok senyum?" "Istriku sangat cantik.." "Gombal!" Dina mulai mendesah ringan karena gerakan maju mundur lawan mainnya. Pertemuan dua kulit mereka di dalam memenuhi haus raga. Menggelora, banyak, kaya, dan penuh cita rasa. Terutama karena kedua tangan Elan tak henti menggerayangi dadanya. Segala centi demi centi area sensitifnya hingga kemungkinan untuk menolak ditekan ke titik terendah. Elan kembali tersenyum. Puas
Ting tong ting tong.. "Kak!" Sergah Dina dilanda panik. Berusaha menyadarkan lelaki yang sedang menyantapnya dengan memukuli pundaknya kuat-kuat. Elan tak lagi peduli tamu yang baginya 'sialan' itu berani-beraninya datang mengganggu, di saat tiang benderanya menjulang siap membuat lawan mengibarkan bendera putih. Ia masih saja melancarkan serangan atas bawah. "Kakk! Ada orang!" Elan masih belum ingin melepaskan hidangan pembukanya. Ia justru mengecupi perut Dina hampir rata. Lalu mengilik pusarnya dengan ujung lidah. "Geliihh.." Dina berteriak tanpa sadar. "Ada tamuuuu!!" "Masa bodoh! Tamu sialan! Siapa suruh datang di saat tanggung begini. Aku sedang sangat menginginkanmu istri manisku.." Umpat Elan bersungut. Dina memekik menahan jerit saat Elan mulai berkuasa di area bawah. Susah payah ia mengembalikan kesadaran dengan meremas punggung sofa kuat-kuat. Mata Dina merem melek. Berulang kali menelan ludahn
Dina masih menahan langkahnya saat dokter cantik itu mempersilahkannya rebah di ranjang periksa untuk melakukan USG. Setelah sebelumnya ia diminta menampungurine-nya oleh perawat atas instruksi dokter. Ia juga ditanya perihal keterlambatan haidnya. Ia melirik Elan, mengisyaratkan keberatan dalam kegamangan sorot matanya. Sesungguhnya takut jika ketahuan hamil. Ia menerawang kecemasan di wajah suaminya. Meskipun sedari tadi Elan terus menghibur rengekan demi rengekannya untuk pulang, tapi Dina bisa melihat kekhawatiran Elan akan hasil pemeriksaannya. Ia tahu, Elan tak menginginkan adanya kehamilan sebagaimana yang diucapkan semalam. Berulang kali Elan membuang nafas berat setiap kali Dina enggan meneruskan langkah. Ia sudah tak sabar ingin Dina segera di USG tapi sikap istrinya semakin mempermainkan suasana hatinya. Tak ada pilihan selain memasang wajah dingin yang memaksa Dina. Dengan berat hati dan ragu, Dina merebahkan tubuhnya ke ranjang per
Seorang gadis cilik menggugu di bawah tangga rumahnya. Hatinya terluka karena keinginannya tidak terwujud. Seseorang yang ia harap mewujudkan impiannya tak mau turut serta. Ia bermimpi memiliki pabrik permen sebagaimana sepupunya. Sejak perjalanan pulang, di dalam mobil Dina kecil tak henti merengek-rengek protes. Ia ingin pulang ke Jakarta bersama Elan. Sebagaimana kesepakatannya bersama Asya bahwa mereka akan bertukar saudara. Ranti cenderung membiarkan putri kecilnya tersedu. Bukan cara didikannya membujuk anak dengan segala hal agar berhenti menangis. Ia tidak mau putrinya terbentuk sebagai gadis yang lemah hanya karena orang lain tak mau menuruti kemauannya. Lain Ranti lain pula Raka. Ia tak tega membiarkan adiknya terisak-isak tanpa ada yang menolong. Sedari dalam mobil Raka tak henti menghibur adiknya, yang kemudian berujung pada sasaran omel ibunya pula. Raka mendekati Dina yang menyudutkan diri di bawah
Elan meredam emosinya sendiri saat melihat kotak bento yang tengkurap, semua isinya tercecer di lantai. Ingin marah tapi tak seharusnya. Ingin teriak di depan Dina tapi tak tega. Baru kali ini ada wanita yang memperlakukannya serendah ini. Tapi kali ini ia tidak boleh memandang Dina hanya sebagai wanita, melainkan sebagai calon ibu dari anaknya yang mungkin kini bergantung di tubuh belia Dina. Jika biasanya ia menggunakan jasa beres-beres rumah tiap dua hari sekali, tidak demikian kali ini. Ia harus turun tangan langsung membereskan ulah Dina. Sekejam apapun Dina berulah, ia menjaga emosinya, sadar, semua ini karena salahnya. Tak boleh gegabah untuk marah. Ia harus sabar sekalipun Dina nanti akan lebih keterlaluan. Seperti yang ia baca, ibu hamil punya emosi yang tidak stabil, sebentar manja, sebentar marah, sebentar lagi bahagia. Meskipun ia tak ingin Dina buru-buru hamil agar tak menyusahkan kuliahnya, tapi semakin hari ia semakin yakin
"Baiklah.. Siapkan tenaga untuk melayani suamimu.." Sikap dominannya dalam bercinta seharusnya membuatku was-was tapi entah mengapa justru hal itu yang mendorong rasa penasaranku setiap kali kami hendak memadu kasih. Sentuhannya selalu bisa membuat aku takluk. Sepertinya ia tahu di titik mana aku akan membisu lalu mendesah tak lama kemudian. Bibirnya mulai menjalari telingaku. Mengulumnya lengket dan hangat. Lidahnya menelusuri setiap lekukan daun telinga hingga membuatku menggelinjang karena tak siap. Kecupan dan hisapan mulai ku rasakan di leherku yang kata orang jenjang. Dia mulai mengusap-usap perutku, menyingkaptshirt-ku lalu menyusupkan jari-jari besarnya di area kenyal dadaku. Ia lalu berbisik lirih memancing birahiku. "Sudah sangat ingin disentuh Sayang?" Ah kalimat-kalimat provokasinya selalu saja membelai kupingku. Nakal dan membangkitkan saraf-saraf refleksku untuk berbuat sesuatu. Aku meneliti setiap centi wa
"Ceraikan aku! Hiks.." Elan menyergap tubuh Dina. Menggendong lalu merebahkan ke ranjang. Kalimat perintah yang baru saja ia dengar membuatnya geram, tapi ia tetap tak boleh emosional. Sekalipun ia benci Dina mengatakan kalimat itu. Dina menyipitkan matanya bingung karena Elan kini menindihnya, melucuti pakaiannya kasar tapi tetap tersenyum. Bibirnya mulai dikecup, dikulum, lalu lidah suaminya bahkan mengorek hampir seluruh permukaan rongga mulutnya. Ia menepuk-nepuk lengan Elan kala merasa nafasnya mulai terbatas. Tak dihiraukan. Ia mencoba mendorong berulang kali tapi Elan masih saja mencium seolah akan menggerogoti mulutnya. "Haaahhh!! Hahh!!" Dina membuang nafas tersengal setelah Elan melepaskan cumbuannya. Seperti baru dientas dari dasar kolam. Elan tersenyum sembari menggigit bibir bawahnya sendiri. Gemas sekaligus lucu melihat tingkah Dina mengendurkan nafas. "Aku bisa mati Kak!" Protes Dina marah. "Kakak suka ya aku mati?? Teru
Hampir seluruh siswa peserta pengarahan mulai berhamburan keluar aula saat Dina dan Bryan, yang sama-sama malas berdesakan, lebih memilih duduk diam bersabar dengan manisnya. Tidak ada yang memburu jadi kenapa harus buru-buru, pikir mereka. "Serius Bry, aku tidak menyangka dia berani menunjukkan muka di hadapanku. Kamu lihat tatapannya tadi? Berani-beraninya.. Ugh!" "Tidak." Jawab Bryan culas. "Ingat wahai calon ibu, Om Elan lagi cari uang untukmu dan bayimu." "Apaan sih Bry?!" Dina mendelik tak terima dianggap hamil. "Aku masih mau kuliah terus jalan sama kamu kesana kemari, menghabiskan duit suamiku hahaha.. Ibu-ibu?? Oh tidak!!" "Terserah deh, intinya jangan terpesona sama lelaki lain lagi. Apalagi yang sudah terang-terangan menghianati." "Ya ampun Bry, sakit hatiku saja belum hilang. Sinting kali aku kalau masih mau sama dia. Suamikubetterkemana-mana." Bryan memutar bola matanya jengah. Ya ya ya ia sud