Seperginya Bang Hasan dan Ibunya dari rumahku. Segera aku mandi dan membersihkan diri. Hari ini yang aku lewati rasanya luar biasa.Usai mandi, segeraku ke dapur untuk membuat teh, yang kiranya bisa menenangkanku.Suara gelas beradu dengan sendok terdengar nyaring di telinga, hingga tanpa sadar aku mengabaikan dering ponselku.Entahlah sekarang, aku merasa bukan hanya jiwaku yang perlahan rusak karena Ibu, bahkan kini gendang telingaku pun rasanya ikut bermasalah karena selalu mendengar teriakan, makian, dan umpatannya.Ponselku kembali berdering. Entah makhluk apa yang kini ikut mengganggu ketenanganku.Aku mengernyitkan dahi, heran.Terlihat nomor baru di tampilan layar ponsel.Baru saja hendak mengangkatnya sudah terputus.+6285220000111[Mira, bagaimana keadaan kamu saat ini?]Segera kuketik pesan balasan,[Anda, siapa?][Kamu tidak melihatnya?]Orang gila ini, pikirku. Kembali kuaduk tehku.[Lihat photo profil saya] balasnya lagi.Awalnya aku ingin mengabaikan, tapi ternyata rasa
"Halo Bang, di mana?" tanyaku di telpon pada Bang Hasan. "Di rumah Ibu, kenapa, Mir?" "Hm, bisa pulang Bang? Ada yang mau aku tanyakan," pintaku pada Bang Hasan. "Ada apa Mir?" tanyanya lagi. "Hm, pulang lah Bang," kuhela napasku, "ada yang ingin aku tanyakan, aku tunggu." Klik, kuakhiri telpon itu sepihak. Rasanya perasaanku kini berkecamuk. Rasa cemas ini bahkan melebihi rasa cemas saat awal aku menikah dengan Bang Hasan, dan akan bertemu Ibu. Kembali kupandangi sekeliling kamar. Kini entah seperti apa bentuk kamarku. Pakaian, sepatu, kosmetik, tas, aksesoris telah menjadi satu, berhamburan dan bertumpuk di lantai. Entah bagaimana caraku nanti menyusunnya, tapi yang lebih membingungkan, entah bagaimana lagi caraku menemukan cincin berlian Ibu. Apa cincin itu tidak terbawaku dari rumah Nenek? Tapi saat resepsi aku mengenakannya. Aku yakin cincin itu bersatu dengan semua perhiasan pemberian Nenek dan Ibu. Kepalaku terasa berdenyut memikirkannya. "Mira ... Mira," suara panggila
Pov Hasan Selama membereskan pakaian, dan barang yang berhamburan ke lantai, tak hentinya aku memandangi wajah Mira. Perempuan yang baru kunikahi tujuh bulan ini, kini tampak berbeda dan berubah. Tak lagi ada kelembutan dan ceria di wajahnya, berganti dengan ketegasan dan sifat pendiam. Amira, aku sungguh merindukan sosokmu yang dulu. "Mir, boleh Abang bertanya?" "Hm," jawab Mira singkat sembari menggantungkan pakaian ke hanger. "Siapa lelaki di mobil hitam tadi?" "Yang mana?" tanya Mira kembali. "Yang tadi ada di antara kerumunan tetangga. Lelaki dengan mobil hitam mewah di seberang," aku menjelaskan. "Aku tidak tahu," jawab Mira. Sangat terlihat penuh kebohongan. "Abang tahu dia siapa. Tidak perlu menutupinya Mir. Kenapa secepat itu kamu hadirkan dia dalam rumah tangga kita?" Mata Mira membulat sempurna. "Apa maksudmu, Bang?" "Jangan pura-pura Mira. Lelaki itu pengacaramu, kan? Pengacara yang kamu bayar untuk mengurus perceraian kita. Apa separah itu kesalahanku hingga k
LelahPagi ini aku bangun dengan semangat. Tak terasa sudah sebulan aku bekerja kembali di pabrik. Hari ini, adalah hari gaji pertamaku.Tersenyum-senyum aku membayangkan menerimanya. Aku ingin menyimpannya guna peganganku jika suatu hari aku membutuhkannya.Cepat aku mandi dan bersiap. Ratih sebentar lagi akan datang menjemputku.Suara klakson terdengar nyaring di telinga saat aku sedang memasangkan hijab di kepalaku.Klakson motor Ratih yang sengaja ia modifikasi menjadi sekuat klakson tronton. Aku pernah memprotes kelakuan Ratih ini, tapi dia membela diri dengan berdalih agar cepat sampai di tujuan, sebab kendaraan di depannya akan langsung meminggir jika ia membunyikan klakson."Sabarlah. Nggak bisa konsentrasi Nyonya berdandan," protesku sembari mengunci pintu."Lama bener. Kudu semangat, gajian ini hari."Ucapannya spontan membuat kami tertawa bersamaan."Jadi gimana cincin berlian, Ibumu Mir? Udah ketemu?" tanyanya saat motor mulai melaju.Aku memang sudah menceritakan hal hil
Pov Ibu "Apa itu Lin?" tanyaku pada Lina, yang baru saja pulang dengan membawa sebuah map. "Ini, Bu?" "Iya, map apa itu?" "Map yang berisi brosur dan penjelasan mengenai akademi kebidanan yang Lina mau, Bu. Bang Hasan mau lihat brosurnya," jawab Lina senang. "Hasan? Kamu sudah bilang ke Mas-mu soal itu?" "Sudah, Bu. Katanya, Mas Hasan akan mendukung apapun keinginanku. Makanya Mas Hasan minta brosurnya biar dicari uangnya," jelas Lina. "Oh syukurlah. Coba Ibu lihat, sini Lin," pintaku pada Lina mengulurkan tangan. Mataku rasanya hendak keluar. Brosur itu memampangkan dengan jelas biaya yang harus dibayar untuk akademi kebidanan Lina dengan total Rp 60.000.000,00. Bahkan kata Lina itu belum termasuk jika nanti ada beberapa alat praktek yang harus di beli. Nominal itu hanya untuk biaya pendidikannya selama tiga tahun, uang pembangunan, baju dinas, dan uang asrama. Dapat dicicil, namun jika dibayar tunai, akan dapat potongan 10% dari total keseluruhan. Sesak nafasku membayangka
Pov IbuSudah sepuluh hari, Lina mendiamkanku sejak kami menolak pelan keinginan Lina untuk mendaftar di akademi kebidanan. Pun, Hasan juga meminta Lina untuk kuliah umum saja. Hasan pun tidak sanggup untuk membiayai pendidikan Lina di akademi kebidanan baik secara cicil maupun lunas.Setelah di total, untuk tiga tahun mengenyam pendidikan di akademi tersebut bisa menghabiskan biaya sampai dengan delapan puluh juta rupiah.Sungguh itu hanya mimpi dan angan-angan saja. Uang sebanyak itu sudah bisa membeli satu unit mobil second, atau membangun sebuah rumah minimalis. Jika Hasan atau aku memiliki uang sebanyak itu, pastinya lebih baik kujadikan modal usaha saja. Hidup kami kini benar-benar terancam. Susah sekali bagiku kini membagi gaji Hasan yang pas-pasan.Jam di dinding sudah menunjukan pukul 15.30.Sebentar lagi Hasan akan pulang, sedang aku belum masak apapun. Ke dapur aku untuk memeriksa bahan apa yang ada, niatnya aku akan memasak dengan bahan seadanya saja. Tapi ternyata cabai,
Pov HasanEntah bagaimana lagi aku menutupi semua kebutuhan Ibu, dan Lina.Padahal seharusnya gaji yang kudapat bekerja sangat cukup untuk membuat pikiranku tenang.Benar kata pepatah, hiduplah sesuai dengan yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Pak Satpam tempat aku bekerja, gajinya hanya setengah dari gajiku, tapi menurut pengakuannya cukup untuk rumah tangganya dengan dua orang anak yang bersekolah di tingkat sd dan smp. Bisa makan, bahkan bisa menabung lima ratus ribu setiap bulannya.Kuhela napasku, sesak. Setelah menerima telpon dari Ibu. Masalah yang tak kunjung selesai. Uang. Dan hari ini kulepaskan satu masalah, setelah mempertimbangkan dengan matang, kuputuskan untuk mengembalikan motor pada Mira. Biarlah motor ini kembali pada pemiliknya semula, daripada harus ditarik paksa leasing sedang hanya beberapa bulan lagi lunas.Setelah kukembalikan satu permasalahan selesai. Tinggal dua, kuliah Lina, dan arisan Ibu.Untuk
Suara ketukan pintu dan salam terdengar di antara derasnya hujan dan gemuruh petir.Kembali aku menajamkan pendengaran. Memastikan bahwa pintu rumahku lah yang diketuk. Setelah yakin ada orang disebalik pintu, pelan aku beranjak. Jam di dinding sudah menunjukan pukul 00.30 dini hari.Setengah mengantuk dan setengah sempoyongan aku berjalan membuka pintu, dari siang aku memang merasa sudah tidak enak badan. Sedikit aku menyibak gorden jendela, untuk mengintip ke luar. Bang Hasan, berdiri diluar sana dengan tubuh basah kuyup dan gemetar. Ragu aku antara membuka kan pintu atau membiarkannya saja.Bagiku, aku memang bukan lagi istrinya, tapi menurut hukum dan agama. Kami masih sah sebagai suami istri. Berlawanan antara perasaan dan logika. Akhirnya aku memilih menggunakan perasaan. Perasaan sebagai manusia yang berakal. Tidak mungkin aku membiarkan manusia lainnya di luar rumahku dalam keadaan basah kuyup di tengah malam buta begini.Aku memang kesal dan benc