Nio mengangguk. “Selama kau tetap di sisiku, aku akan berdiri.”
Pintu ruang rapat terbuka. Di dalam, para direksi sudah duduk dengan ekspresi serius. Robert terlihat sedang membaca berkas di tangannya, sedangkan Dharma yang duduk dua kursi dari ujung kanan memperlihatkan raut wajah gelisah saat melihat Nio masuk bersama Ruby.Keduanya melangkah masuk, Nio menuju tempat yang telah disiapkan di depan layar presentasi, sementara Ruby duduk di kursi utama presiden direktur. Aura kepemimpinan yang kuat langsung memenuhi ruangan. Para direksi menoleh dan mulai memperhatikan.“Selamat pagi,” ujar Ruby tegas namun tenang. “Hari ini, seperti yang sudah dijadwalkan, kita akan mendengar laporan penutup dari kepala gudang pusat mengenai evaluasi sistem produksi.”Nio menatap seluruh ruangan. Ia tahu, setiap pasang mata ini akan menghakiminya, mengukur nilai dan keberaniannya. Tapi ia juga tahu kebenaran tak bisa dibungkam.Ia menekan tombol pada remoTuan Ashaki kembali mengangkat cangkir tehnya, kali ini dengan ekspresi lega. “Bagus. Jadi kita punya dua hal untuk dirayakan pesta ulang tahun pernikahan kalian, dan doa agar cucu pertama segera datang.”Nyonya Ashaki mengangguk setuju. “Kami akan mendukung kalian sepenuhnya. Apapun yang kalian butuhkan, katakan saja.”Ruby akhirnya menghela napas, pasrah pada alur pembicaraan. Meski masih ingin mengeluh, hatinya tak bisa mengabaikan tatapan bahagia orang tuanya. Ia pun menunduk, menghirup teh hangat itu perlahan, mencoba menenangkan hatinya. Sementara di sampingnya, Nio tetap duduk dengan wajah tenang, menatap ke depan dengan keyakinan bahwa apa yang ia lakukan barusan adalah langkah terbaik.Usai percakapan panjang itu, suasana di ruang tamu mulai mereda. Tuan Ashaki tampak puas dengan apa yang ia dengar, sementara Nyonya Ashaki dengan wajah lembut kembali menuangkan teh ke cangkir Nio dan Ruby. Malam semakin larut, dan meski hangatnya kebersamaan begit
Nio menatap langsung, tenang, “Syukurlah, berjalan cukup baik. Banyak tantangan, tapi saya menikmati setiap prosesnya. Ruby juga sangat membantu, meski ia tidak menyadarinya.”Ruby tersipu mendengar itu, membuat ibunya tersenyum bangga. Tuan Ashaki hanya mengangguk singkat, namun ada kilatan rasa puas di matanya.Seiring waktu, tawa mulai terdengar di meja makan. Suasana yang semula kaku berubah menjadi hangat. Nyonya Ashaki bahkan menceritakan sedikit kenangan masa kecil Ruby, membuat Ruby menutup wajahnya karena malu sementara Nio menahan tawa.Setelah makan malam selesai, mereka berpindah ke ruang tamu. Suasana jauh lebih santai, lampu hangat menerangi ruangan, dan aroma teh hijau yang baru diseduh menyebar lembut. Nyonya Ashaki menuangkan teh ke dalam cangkir keramik, lalu menyerahkannya pada masing-masing.Ruby duduk di sisi Nio, sementara Tuan Ashaki bersandar di kursinya, menatap mereka dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Ia mengangkat cangkirnya sejenak, menyeruput perl
Ruby duduk di seberang meja kerja Nio, ia menarik napas dalam-dalam lalu berkata pelan, “Nio… aku ingin mengajakmu menemui Papa.”Nio yang baru saja membuka dokumen di laptopnya langsung menghentikan gerakan jarinya. Ia mengangkat kepala, menatap Ruby dengan heran. “Papamu? Maksudmu… malam ini?”Ruby mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan keraguan yang sama. “Iya. Tadi siang Papa menelponku, katanya beliau ingin mengundang kita makan malam bersama. Sejujurnya aku juga kaget, mendadak sekali. Tapi… kurasa sebaiknya kita pergi. Aku tidak ingin mengecewakan Papa.”Nio bersandar di kursinya, mencoba mencerna perkataan Ruby. Undangan mendadak itu jelas mengejutkannya, apalagi mengingat hubungan yang selama ini agak kaku antara dirinya dan ayah mertuanya. “Makan malam bersama keluarga? Begitu saja tanpa ada alasan?” tanyanya hati-hati.Ruby menggeleng, meski keraguannya tampak jelas. “Aku juga tidak tahu apa tujuannya, mungkin hanya ingin bertemu. Lagipula… sudah lama kita tidak makan bersa
Nio bisa membayangkan betapa bahagianya Ruby di sini, di tempat terbuka dengan suasana hangat dan akrab.Destinasi ketiga adalah sebuah pantai pribadi yang cukup eksklusif. Jalan menuju ke sana agak jauh, namun ketika mobil berhenti dan Nio turun, semua lelah perjalanan terbayar lunas. Hamparan pasir putih membentang luas, ombak bergulung perlahan, dan suara laut menjadi musik alami yang menenangkan.Clara tersenyum, seolah tahu reaksi Nio. “Ini lokasi favorit untuk beach wedding. Bisa dilakukan sore menjelang senja, ketika matahari terbenam. Bayangkan, pelaminan kecil dengan latar belakang laut, kursi tamu berderet rapi di pasir, dan janji suci diucapkan dengan suara ombak sebagai saksi.”Nio berjalan pelan ke arah bibir pantai, membiarkan pasir menyentuh sepatunya. Ia memandang jauh ke cakrawala, membayangkan Ruby berdiri di sampingnya, gaunnya tertiup angin laut, cahaya keemasan senja memeluk wajahnya.“Indah sekali,” ucapnya lirih. Ia tersenyu
Setelah pertemuan selesai dan kliennya berpamitan, Nio tetap duduk sebentar di kursi, membiarkan pikirannya berkelana. Ia membayangkan senyumnya Ruby, tatapan matanya saat mencoba gaun pengantin di butik tadi siang. Ia ingin memberi Ruby sesuatu yang lebih dari sekadar perayaan. Ia ingin membuat momen yang hanya milik mereka, bukan sekadar formalitas hukum atau pesta besar yang penuh hiruk-pikuk.“Di mana, ya?” batinnya bertanya. “Pantai? Taman yang penuh bunga? Atau tempat yang dekat dengan hati Ruby?”***Nio kembali ke kantornya setelah pertemuan dengan klien. Sesampainya di ruangannya, ia melepas jas dan duduk di kursi kulit yang empuk, menatap sejenak keluar jendela. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menerobos kaca gedung tinggi itu dengan lembut. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima sore, masih ada waktu sebelum jam kerja benar-benar usai.Nio meraih pena dan menunduk pada kalender meja yang tergeletak rapi di sudut meja ke
Ruby melangkah kembali ke dalam gedung kantornya dengan langkah ringan. Setelah siang yang penuh kejutan di butik, ia masih merasakan sisa hangat kebahagiaan yang begitu nyata. Jemari tangannya sesekali menyentuh pipi sendiri, seakan tak percaya bahwa ia benar-benar baru saja mencoba gaun pengantin, gaun yang akan ia kenakan dalam sebuah hari yang kembali menjadi miliknya dan Nio.Setelah menekan tombol lift dan naik ke lantai tempat ruangannya berada, Ruby menghela napas panjang. Saat pintu terbuka, ia segera berbaur dengan kesibukan kantor yang kembali menyambutnya. Beberapa rekan kerja menyapa singkat, lalu berlalu dengan tumpukan berkas di tangan. Ruby masuk ke ruangannya, menutup pintu perlahan, dan kembali duduk di depan meja. Dokumen yang tadi ia tinggalkan masih menunggu. Senyum kecil masih menempel di wajahnya, meski kini ia berusaha memfokuskan diri pada pekerjaan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Nio muncul di layar, membuat jantungnya berdebar seketika. Ruby segera menga