Share

Bab 4. Waktu

Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.

“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. 

Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. 

“Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, melihat sebuah pintu kaca dimana Dirga berdiri. Tidak ada kata yang terucap, Amira menghela nafasnya dalam kemudian kembali.

Layaknya laki-laki jantan bertanggung jawab Dirga membukakan pintu untuknya. Menunggu sampai sang tuan putri masuk dan memastikan keselamatannya.

Pemandangan hijau di area gedung menyapa kedatangan mereka. Indah! Satu pujian untuk tempat ini. Siapa sangka di lantai dua belas terdapat taman yang cukup luas dilengkapi berbagai macam tumbuhan dan juga bunga hias. Bahkan ada pula pohon cemara kecil di dalam sebuah pot cukup besar.

“Eh, disini ada taman?” ucap Amira untuk pertama kalinya, kesempatan yang bagus bagi Dirga memperpanjang obrolan mereka.

“Kamu inget gak? Dulu om Robi sengaja bikin taman ini buat kamu.” jelasnya berjalan santai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dirga tahu, bermain kontak mata adalah pilihan yang salah, dia pun sadar Amira tidak menyukainya. Dan benar saja, usahanya membuahkan hasil. Sebab Amira memperlihatkan rasa tertarik dengan cara berjalan mendekatinya.

“Beneran? Papa bikin taman ini buat aku?” ulang Amira sekali lagi, 

“Ayo duduk dulu! Kalo berdiri terus takutnya kamu capek.” Dirga tanpa menyentuhnya menuntun berjalan lebih dulu, meletakkan bokongnya di atas kursi kayu yang berjajar di sana. Sedikit Amira ragu, tetapi dia tidak ingin mendapatkan perintah yang sama untuk kedua kalinya. Alhasil dia pun duduk di kursi yang berbeda namun letaknya masih dalam posisi sejajar. Sama sekali Dirga tidak tersinggung atas pilihannya duduk menjauh darinya. Sikapnya tenang tampak menerima dan menyandarkan kepalanya di bahu kursi.

“Waktu kecil kita sering ketemu. Lebih tepatnya sih aku yang sering banget minta Papaku buat anter ke sini biar bisa ketemu sama kamu.” kata Dirga mengulum salivanya, geli rasanya bila mengingat kejadian dulu. Saat bocah berumur lima tahun sudah memiliki rasa ketertarikan terhadap lawan jenis layaknya orang dewasa. Lagi-lagi ceritanya berhasil membuat Amira masuk ke dalam suasana, sampai wajahnya tampak serius menantikan bagaimana cerita selanjutnya. 

“Umur kita selisih lima tahun, aku sering jaga kamu waktu orang tua kita lagi sibuk meeting. Bahkan pernah ada loh kejadian lucu,”

“Apa emangnya?” timpal Amira langsung, tak sabar menunggu cerita hingga sempurna. Mengundang kekehan Dirga atas sikap tidak sabarnya itu.

“Aku pernah mau bikin kamu hampir mati, saking senangnya aku dorong stroller kamu kenceng banget. Eh, karena waktu itu aku juga masih kecil. Gak tahu di depan ada kursi ini, yaudah deh nabrak terus kamunya lompat gelinding di atas rumput.” jelasnya membuat Amira membelalakkan matanya.

“Terus aku gimana?” tanyanya.

“Hehe, ya jatuh. Hebatnya kamu sama sekali gak nangis loh. Untung aja waktu itu rumputnya tebel bisa jadi pelindung. Terus ya… lebih parahnya lagi aku gak panggil papa buat nolongin, asal nekat aja angkat kamu macem tikus got. Dan anehnya kamu malah ketawa seneng banget, bikin takutku ilang” 

“Enak aja! Masak aku dikatain kayak tikus got.” sungut Amira tidak terima dengan perumpamaan hewan yang dianggap kotor dan menjijikan itu.

“He… iya maaf-maaf. Mana ada tikus got secantik kamu.” 

Blush

Rona merah jambu tergambar jelas di kedua pipi Amira. Mendapatkan pujian secara langsung tanpa terhalang apapun.

Keakraban masih berlanjut, Amira mulai terbiasa dan mau bertanya lebih banyak lagi.

*

Suasana ramai di tempat pengepul. Rehan bersama keluarganya sibuk melayani para penjual menimbang hasil di timbangan gantung. Membayarkan sejumlah uang sesuai dengan timbangan.

Dirman datang seperti biasa setiap satu bulan dia datang menjual cabai hasil panennya disini. 

“Ah, kalo karena gak kepepet mana sudi aku kesini.” Dirman tidak memiliki pilihan lain karena Rehan adalah satu-satunya pengepul di desanya. Ditambah terhimpit kebutuhan memaksa Dirman untuk menjual hasil panenan demi mendapatkan sejumlah uang memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Eh, Mang Dirman… kumaha damang?” sapa Rehan basa-basi, meminta karung dari tangannya.

“Baik kok. Walaupun sempat sesak nafas karena bersihin abu di tempat sampah yang baunya kayak mayat manusia.” balas Dirman sangat mengandung kesengajaan.

Deg!

Bimo kebetulan berdiri tak jauh, matanya berkerut dengan air keringat mengucur deras. Gelagatnya panik menimbulkan perhatian Santika yang duduk di kursi kasir.

“Pak? Ada apa?” tanyanya, Bimo mengangkat wajahnya dadanya terlihat kembang kempis. Tubuhnya bereaksi atas ketakutan yang melanda, tidak bisa dipungkiri. Setelah kejadian malam itu sekalipun Bimo tidak pernah bisa tidur nyenyak dan sering begadang sampai pagi harinya. Dan sekarang perkataan Dirman semakin menambah kegelisahannya saja. Melihat kepanikan di wajah sang bapak, mengubah sikap ramah Rehan menjadi kecemasan. Sebisa mungkin menyembunyikan raut wajahnya itu seolah tak mengerti. Selesainya di timbang Rehan menuangkan cabai ke dalam wadahnya. 

“Mang Dirman kok ngomongnya ngaco banget sih? Mana ada mayat di bakar?” katanya berusaha menepis praduga Dirman sejauh mungkin. Tetapi tentu tidak semudah itu, bagai udang dibalik batu. Kejahatan mereka sudah lama diendusnya. Dirman tidak akan berhenti sampai disini, masih ada beberapa cara yang belum dikeluarkan.

Melihat Rehan menyerahkan catatan hasil timbangan kepada Santika. Langkah selanjutnya adalah mengambil uang pembayaran. Dirman berpindah tempat untuk mengambil uang itu di meja kasir.

“Kayaknya saya gak mungkin salah deh Rey. Orang kemarin saya lihat ada tulang gede banget kok. Macem tulang tangan manusia, terus saya masukin deh ke karung... rencananya mau saya bawa ke kantor polisi buat diperiksa.” jelas Dirman sangat mengada-ada, sejujurnya bibirnya ingin sekali tertawa tetapi demi melancarkan aksinya, Dirman pun tetap harus berakting.

Kali ini tidak hanya Bimo, Rehan dan Santika mengalami kecemasan yang sama. Mereka saling lempar tatapan satu sama lain, 

“Uangnya udah pas. Makasih yak,” seru Dirman memastikan uang yang disepakati sudah sesuai. Kemudian berjalan membelakangi tiga pelaku dengan senyuman teramat puas sekali “Gimana serangan pertama? Oke kan? Tunggu aja! Ini sih belum seberapa.” gumam Dirman lirih tak terdengar meninggalkan tempat pengepul.

Brakk

Lemas seketika tubuh Bimo tersungkur di atas lantai karena ulah Dirman barusan. Rehan terkejut berlari memberikan bantuan, 

“Pak, tenang dong! Gak usah panik nanti kalo sampe dilihat orang gimana?” protes Rehan, benar-benar buta rasa iba. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu kepada Bimo. Meskipun di dalam hatinya merasa sama takutnya. 

“Gimana ini Bu? Kalo ternyata tulang itu beneran punya Amira?” 

Pertanyaan Bimo sama sekali tidak pernah dibayangkan akan terjadi. Lalu, apa yang akan mereka lakukan sekarang?

*

Di dalam gedung kerja milik sang papa. Amira melihat kegigihan Dirga dalam ikut serta membantu misi balas dendamnya terhadap keluarga suaminya. 

“Dari mana kamu dapetin semua informasi ini Dirga?” tanyanya melihat informasi dari data pribadi lengkap dengan pekerjaan, letak tata rumah beserta tempat pengepul juga tertera disini.

“Puji Dirga dong! Dia cuma butuh waktu satu jam aja lho Arina cari semua data ini.” sela Robi meminta anak semata wayangnya untuk memberikan apresiasi. Amira tersenyum simpul, mulutnya mana bisa melakukan hal semacam itu.

“Emh, makasih ya Dir.” Seperti inilah kalimat terbaik yang bisa dia katakan. Itupun Amira harus mengerahkan semua keberaniannya.

Dirga mengangguk, menambahnya dengan senyuman manisnya.

“Oke, sekarang kita mulai aja. Kamu mau kan dengerin semua rencanaku?” 

“Iya, aku mau.” Amira bersedia siap mendengarkan segala rencana yang telah diatur sebaik mungkin oleh Dirgantara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status