로그인"Apakah ini nyata? Kekaisaran serius membuka pintu bagi rakyat biasa?" pertanyaan tak percaya menjalar dari mulut ke mulut.
Di antara kerumunan, mata Lin Qian menangkap setiap kalimat seolah tiap hurufnya mengandung takdir. Matanya membulat dan binar bahagia terpancar terang dari hatinya. "Ujian ini akan dilaksanakan tiga hari lagi di Ibukota dengan tiga tahap seleksi! Cukup membawa seritifikat medis dan surat kelulusan. Hadiahnya berupa kedudukan, emas, dan kehormatan." Sinar pagi memantul dari lembaran sutra, seolah takdir itu sendiri sedang berpihak padanya. Dewa telah membuka jalan untuk Lin Qian. Ia tidak bisa melewatkan kesempatan emas ini dan segera membulatkan keputusan gilanya. "Ini..jalan kita! Dewa takdir mendengar doaku!" seru Lin Qian dengan suara bergetar antara terlalu senang dan yakin. Lin Yuan menoleh cepat dengan wajah kebingungan, merasakan firasat yang tidak enak terhadap adiknya yang terlihat sangat bersemangat melihat pengumuman ini. Membuat pikirannya melayang kemana-mana. "Aku akan ikut ujian ini dengan menyamar sebagai laki-laki." bisik Lin Qian pelan tepat di depan telinga kakaknya. "Apa?! Gila ya kau?!" seru Lin Yuan tidak bisa bisa menahan rasa terkejutnya, suaranya panik. Firasatnya benar, sesuatu yang tidak ia harapkan benar terjadi. Lin Qian selalu dengan pemikirannya yang luar biasa. Kalau Lin Qian sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mencegahnya. Sebelum Lin Yuan melanjutkan ocehannya, Lin Qian memotong ucapannya terlebih dahulu. "Sstt! Kalau aku tidak coba sekarang, kita akan tetap hidup seperti ini selamanya." Sorot mata Lin Qian sudah lebih dari cukup untuk menandakan bahwa keputusan itu sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Ia tahu jalan ini tidak mudah. Tapi seumur hidupnya, tidak pernah Lin Qian melihat secercah cahaya sejelas ini. Keesokan paginya, udara desa masih basah oleh embun ketika Lin Yuan membantu mengikat rambut Lin Qian menjadi sanggul pria. Tangannya sedikit gemetar karena perasaannya yang berat ia tahan sendiri. Lin Yuan merias Lin Qian agar semirip mungkin dengan laki-laki. Lin Qian berdiri di depan cermin tembaga, gadis bernama Lin Qian itu lenyap dibalik pakaian pria. Yang tampak di pantulan hanyalah seorang pemuda kecil dengan sorot mata teguh. "Jangan melepaskan topi hanfu ini di depan orang lain!" perintah kakaknya menggenggam kedua bahu Lin Qian, merasa khawatir kalau ada melihat seluruh bentuk wajahnya. Lin Yuan sebenarnya tidak rela membiarkan adiknya pergi menuju tempat berbahaya seperti istana. Tapi demi impian adiknya dan juga kesejahteraan mereka dengan terpaksa Lin Yuan menyetujuinya. Lagipula dia pasti akan tetap pergi diam-diam walaupun tanpa persetujuan dari Lin Yuan. Lin Qian mengangguk. "Kalau aku gagal, aku akan pulang membawa malu untuk keluarga ini. Tapi kalau aku berhasil..." "Bawa kita keluar dari tempat ini," sahut Lin Yuan mengeratkan genggamannya. Setelah menyiapkan semua perbekalan dan ramuan penguat tenaga, Lin Qian memulai perjalanan menuju Ibukota Wangjing dengan penuh keyakinan. Di punggungnya tergantung tas kain berisi beberapa pakaian dan catatan ramuan miliknya. Perjalanan ke ibukota membutuhkan waktu dua hari, langit masih kelabu saat Lin Qian melangkah menyusuri jalanan berbatu. Setiap langkah membawanya menjauh dari rumah, menuju dunia yang belum pernah ia lihat, namun telah ia mimpikan sejak kecil. "Jika tubuhmu gemetar saat ujian, ingat pasien yang nyawanya tergantung di tanganmu." perkataan Shifu Xu tiba-tiba melintas di kepalanya saat Lin Qian mulai merasakan gugup. Langit malam menyibak bintang seperti taburan mutiara di atas permadani gelap. Lin Qian menatap satu bintang jatuh yang menyelinap diam-diam dalam gelap. "Ayah, Ibu...aku akan berjuang dan membuat kalian bangga." bisiknya, menahan embun di pelupuk. Sehari kemudian, gerbang Wangjing akhirnya terlihat. Kota itu berdiri megah bagaikan naga tidur yang membentangkan punggungnya ke langit. Dindingnya menjulang tinggi, dihiasi lambang Kekaisaran berupa naga bersayap dengan mata giok. Lin Qian menegakkan tubuhnya. Napasnya tercekat oleh rasa kagum. "ini.. Wangjing." Gerbang dijaga prajurit bersenjata lengkap. Kerumunan peserta ujian berbaris, masing-masing menyerahkan surat pendaftaran yang dicap resmi desa. Lin Qian menyelip di antara mereka, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Nama?" tanya seorang penjaga dengan nada datar. "Lin Yuan." jawab Lin Qian mantap. Prajurit meneliti wajahnya sejenak, lalu mengangguk dan mempersilakan lewat. Lin Qian menghela napas lega. Saat ia menjejakkan kaki ke dalam ibukota, segalanya sangat berbeda. Jalanan lebar dan rapih, kios-kios penuh rempah dan kertas sutra, suara lonceng kuil meramaikan suasana. Aroma tinta dan dupa memenuhi udara. Lin Qian berjalan mengikuti rombongan hingga tiba di sebuah halaman luas dengan gerbang batu raksasa mewah bertuliskan 'Balai Medis Kekaisaran'. Matanya berbinar senang tidak menyangka ia akan benar-benar menginjakkan kaki di istana. Ia tidak tahu bahwa Dewa takdir sedang membawanya ke jalan yang rumit. "Peserta ujian harap berbaris sesuai urutan wilayah!" seru seorang petugas. Lin Qian masuk dalam barisan wilayah utara. Di sekelilingnya penuh pemuda degan tatapan tajam dan langkah pasti. Sebagian mengobrol dan menyendiri. Ia berdiri di ujung barisan. Tangannya menggenggam surat seleksi, tapi telapak tangannya basah oleh keringat. Meski ia sudah hebat dalam medis, hafal ratusan ramuan, dan berbagai pengalaman, tapi ada satu hal membuatnya resah. "Bagaimana jika mereka tahu aku bukan laki-laki? Aku tidak akan dihukum penggal kan?" bisiknya dalam hati, merasa gugup. Namun belum sempat Lin Qian menenangkan diri, suara berat dari sisi gerbang menggema. "Mulai hari ini, semua kelemahan akan terbongkar. Yang tidak siap dan layak, dipersilakan untuk pulang."Enam hari menjelang Festival Dongzhi, suasana Istana tampak tenang di permukaan, namun arus bawahnya bergolak seperti sungai musim hujan. Kaisar Wang Rui berdiri di paviliun belakang, menatap hamparan taman beku yang memantulkan cahaya matahari pucat. Di balik ketenangan wajahnya, pikirannya bekerja tanpa henti. Ia sudah mengetahui betapa jauh Ibu Suri dan Bai Hua bergerak, dan ancaman mengenai Lin Qian masih menggantung seperti pedang tipis di atas lehernya. Karena itu, pagi itu ia memanggil seseorang yang jarang muncul kecuali pada urusan terpenting.Pintu geser terbuka perlahan, dan Panglima Han Sheng melangkah masuk, membawa hawa dingin tajam dari luar. Pria itu menunduk hormat, namun matanya langsung menangkap perubahan sikap sang Kaisar. Wang Rui tidak menunggu lama. Ia memulai pembicaraan dengan suara rendah dan terkontrol, memastikan tidak ada mata dan telinga tersembunyi di sekitar paviliun. Empat pelayan penjaga ditempatkan berjauhan untuk memastikan tidak ada yang berani
Angin sore merambat lembut melewati lorong-lorong Istana. Tetapi bagi Huang Ziyan, hembusan itu terasa seperti pisau dingin yang menghujam kulitnya. Langkahnya gelisah, napasnya tidak teratur. Ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti bayangannya sendiri yang terus menggandakan kegelisahan di dadanya.Ia berhenti di bawah pohon plum yang mulai bertunas. “Aku...sudah terlalu jauh."Namun gumaman itu tidak mampu menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.Seorang pelayan istana lewat dan memberi salam singkat. Ziyan mengangguk sekadarnya, berusaha menjaga wibawa meski wajahnya tampak pucat.Setelah pelayan itu berlalu, Ziyan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan ancaman Ibu Suri dan Putri Bai Hua berputar-putar di kepalanya. Setiap kata yang ia dengar dari balik taman pertemuan sebelumnya menggema bagai tamparan keras.Ia menendang kerikil kecil hingga terpental. “Aku tidak bisa hanya duduk diam. Tidak boleh seperti ini, sama saja dengan pengecut.”Sementara itu, di pavi
“Aku tidak akan mengulanginya.” ucap Ibu Suri, suaranya bening seperti bilah pedang yang ditempa dingin. “Menikahi Bai Hua, atau Tabib Lin yang akan menanggung akibatnya.” Ibu Suri tersenyum tipis, seolah ia akan meraih kemenangannya.Kaisar menatapnya tanpa berkedip. “Mengancamku dengan seseorang yang tak berkuasa, sungguh langkah yang menunjukkan keputusasaan, Ibu Suri.”Aula dalam istana tampak redup, diterangi cahaya lentera yang goyah seolah takut menyentuh percakapan itu. Kaisar duduk tegap, tetapi sorot matanya mengandung api yang berputar tanpa henti. Ia tahu ancaman Ibu Suri bukan sekadar gertakan untuk memaksanya tunduk, wanita tua itu tidak pernah berbicara tanpa memastikan kemenangan di telapak tangannya terlebih dahulu.Sementara itu, di hadapannya, Ibu Suri berdiri dengan jubah sutra ungu gelap yang bergerak pelan, seolah ia adalah pusat angin itu sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang menyentuh dasar bumi dan bergaung di langit tinggi.“Ka
“Besok, kau akan ikut bersamaku dalam pertemuan resmi dengan Yang Mulia.”Ucapan Putri Bai Hua jatuh pelan, tetapi mengandung bobot yang langsung mengguncang isi kepala Ziyan. “Aku ingin kau mendukung semua pernyataanku tanpa kecuali.”Taman yang menjadi tempat pertemuan mereka terasa semakin sempit. Angin yang tadinya bergerak lembut sekarang seperti membawa sesuatu yang dingin dan mengancam. Suasana itu menekan, seakan segala sesuatu bersiap bergerak menuju arah yang tidak ia inginkan.Ziyan berdiri tanpa suara, mencoba memproses kalimat yang baru saja ia dengar. Permintaan Bai Hua bukan permintaan ringan. Mendukung semua pernyataannya, berarti ia harus masuk langsung ke jantung permainan berbahaya antara Putri Bai Hua dan Ibu SuriIa mulai melihat pola-pola kecil yang selama ini ia abaikan. Cara Putri Bai Hua tersenyum terlalu manis. Cara Ibu Suri mengirim utusan secara tidak wajar. Cara para dayang mulai bergerak seperti untaian benang yang mengikuti titik pusat.Dalam senyap, Ziy
Taman dekat kolam bunga salju berada dalam kondisi yang nyaris terlalu tenang untuk ukuran jantung Ziyan. Embun sore menempel di rerumputan, sementara angin tipis menggerakkan kelopak bunga salju yang menggantung di batang ramping mereka. Di tengah keteduhan itu, Bai Hua sudah menunggu. Ia duduk di bangku batu dengan sikap yang tampak santai tapi tidak pernah benar-benar santai. Ziyan melangkah mendekat dengan hati yang terasa seperti menahan dua beban sekaligus. Satu adalah ketakutannya pada apa yang mungkin dilakukan Bai Hua, dan satunya lagi adalah penyesalan yang semakin menumpuk karena ia merasa telah mengkhianati seseorang yang sebenarnya ingin ia lindungi. Bai Hua tersenyum kecil, seperti seseorang yang ingin terlihat ramah di tengah agenda yang tidak sepenuhnya ramah. “Aku senang kau datang.” Ziyan berhenti beberapa langkah di depannya, menjaga jarak aman. “Kau bilang ingin berbicara. Jadi, langsung saja.” “Aduh, kau terus saja bersikap kaku seperti ini?” Bai Hua men
Ziyan merasa seperti terjebak dalam siklus tanpa ujung sejak mendengar bahwa namanya masuk dalam rencana Ibu Suri. Ia mencoba menenangkan diri, memastikan pikirannya jernih sebelum mengambil langkah apa pun, tetapi setiap menit yang berlalu justru menambah ketegangan di dadanya. Ada sesuatu yang menggelayuti hatinya, sesuatu yang menuntutnya untuk segera memperingatkan Lin Qian. Namun menemukan Lin Qian ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan.Ia mencoba mencarinya di Balai Medis Kekaisaran. Seorang tabib senior menyambutnya dengan sopan, tetapi jawabannya membuat Ziyan terhenti untuk kesekian kali.“Tabib Lin sedang berada di Paviliun Utama. Kesehatan Yang Mulia sudah pulih, tetapi agenda beliau semakin padat. Tabib Lin diminta untuk mengawasi kondisi beliau menjelang Festival Dongzhi.” Tabib itu menunduk sopan sebelum melanjutkan pekerjaannya.Festival Dongzhi. Mendengarnya saja membuat Ziyan sadar betapa sibuknya istana. Perayaan itu s







