Share

Bab 2 - Rumah Keluarga Lin

Author: Chryztal
last update Last Updated: 2025-08-13 12:17:27

"Qian'er, kau yakin ingin meneruskan ini?" tanya Lin Yuan tiba-tiba.

Beberapa hari yang lalu Lin Qian pulang lebih malam dari biasanya, dengan kondisi yang sangat lusuh dan kotor. Ekspresi wajah Lin Qian saat kembali tidak menunjukan dirinya baik-baik saja.

"Mengobati orang demi beberapa butir beras, sementara tubuhmu sendiri semakin kurus." Lin Yuan merasa khawatir dengan keadaan sang adik yang jarang makan tepat waktu.

Lin Yuan memandang adiknya lekat. Adiknya yang cantik sudah tumbuh dewasa seperti Bunga Hanmei di musim dingin, namun selalu mekar pada waktunya. Di balik wajah yang kelelahan dan rambut yang dikepang berantakan, tersembunyi tekad sekeras batu giok.

Lin Qian selalu pulang dengan mata berbinar, seolah setiap tanaman liar yang ia bawa punya rahasia yang ingin dibisikan padanya. Gadis itu sangat mencintai tumbuhan herbal dari pada perhiasan perak dan emas.

Lin Qian menatap langit-langit lalu bergumam, "Kita hanya punya satu warisan yang tersisa dari ayah dan ibu, ilmu pengobatan. Kalau kita sia-siakan, sama saja mengubur nama keluarga kita."

Lin Yuan terdiam, hatinya berkecamuk. Ia tahu benar bahwa adiknya bukan gadis biasa. Sejak kecil, Lin Qian bisa membedakan herbal hanya dari aromanya dan mencampur ramuan lebih cepat dari tabib berpengalaman di kota. Namun dunia ini tidak adil bagi kaum perempuan dan rakyat jelata seperti mereka.

Ingatan Lin Qian sejenak berkelana ke masa lalu, masa saat mereka kehilangan orang tua yang membuat Lin Qian bertekad kuat untuk menjadi tabib. Ia berguru pada seorang pengelana yang menetap beberapa tahun di desa, Shifu Xu Ming.

Shifu Xu Ming berasal dari negeri barat pegunungan Feihua, mantan tabib kekaisaran yang mengundurkan diri. Ia dikenal sebagai tabib penyendiri, pencipta salep legendaris yang dapat menghentikan pendarahan hanya dengan satu kali olesan.

Selama lima tahun Lin Qian menjadi murid satu-satunya Shifu Xu. Ia diajarkan cara mengetahui gejala dari warna lidah, mata, dan membedakan jenis racun hanya dengan mencium uap rebusan.

Shifu Xu pernah berkata, "Tabib sejati menyentuh tubuh tapi menyembuhkan jiwa, ia menyembuhkan karena hatinya menolak membiarkan nyawa hancur sia-sia."

Setelah Lin Qian beranjak dewasa, Shifu Xu pergi meninggalkan surat dan sertifikat kelulusan untuk Lin Qian, sebuah buku catatan kulit rusa, dan segel kayu kecil bergambar anggrek hitam sebagai penanda bahwa Lin Qian sudah layak menjadi tabib.

Lin Qian tiba-tiba terkekeh pelan saat mengingat nasihat konyol Shifu Xu padanya, "Jika suatu saat kau berdiri di tempat tinggi dan dikelilingi darah biru, jangan jadikan kehormatan untuk menindas. Jadikan ilmumu pelita yang terang saat dunia dikuasai bayang-bayang."

"Memangnya dia peramal apa?" Lin Qian tertawa lucu sambil beranjak ke kamarnya.

Hal konyol dan tidak mungkin terjadi dalam hidupnya untuk berdiri di tempat tinggi, begitulah pikir Lin Qian.

Malam itu berlalu dalam keheningan yang diterangi bulan purnama di atas langit desa Lanxi. Tidak ada kata manis, tapi kehangatan tumbuh di antara kedua saudara yang saling menopang di tepi jurang kemiskinan.

Keesokan paginya, Lin Qian kembali bersiap-siap untuk melakukan rutinitas hariannya, yaitu pergi ke hutan Gunung Shenlan. Ia menyiapkan keranjangnya, sambil merapihkan beberapa tanaman herbal yang sudah ia kumpulkan.

"Rumput roh putih, jamur Hongyan, daun bunga perilla ungu, anggrek hitam malam. hmmm, masih kurang banyak." gumam Lin Qian mengecek hasil tanaman yang dikumpulkan.

Lin Qian mencatat tanaman herbal yang belum didapatkan di halaman buku herbal kesayangannya. Buku catatan tebal berisi hasil eksperimen Lin Qian bersama sang Shifu. Lin Qian mencatat dengan hati-hati, tidak ingin ada goresan cacat sedikit pun.

Ia menggambar ulang akar Shenlan dengan bentuk yang lebih tajam, lalu menuliskan catatan kecil di bawahnya. "Efek lebih kuat jika direbus dengan tanah dari lembah lembab saat bulan purnama."

Lin Qian menatap buku itu dengan penuh harap, berdoa agar dirinya bisa meneruskan ilmunya sampai ke tempat tertinggi.

"Mungkin...kita bisa hidup lebih layak suatu hari nanti." Lin Qian memecah keheningan dengan suara lirih, seolah berbicara pada dinding rumahnya.

Lin Yuan yang duduk tidak jauh darinya, menoleh. "Kau selalu mengatakan itu tiap tahun, Qian'er. Tapi hari berganti musim, kita tetap disini"

Lin Qian mendengus, "Lihat saja nanti aku akan menjadi tabib wanita yang dikenal sepanjang sejarah."

Seperti Dewa yang mendengar ucapan Lin Qian, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar. Desa Lanxi digemparkan oleh suara terompet panjang dan derap kuda dari arah selatan. Matahari bahkan belum menyentuh puncak, tapi debu jalan sudah berterbangan saat dua penjaga kekaisaran berpakaian hitam menancapkan gulungan sutra ke papan pengumuman desa.

Anak-anak berlarian, para ibu berkerumun sambil menenteng bakul berisi belanjaan dari pasar, dan para pria menghentikan pekerjaan mereka untuk mendekat ke papan pengumuman.

Lin Qian dan Lin Yuan yang mendengar suara gaduh saling berpandangan sejenak, lalu keluar mengikuti kerumunan. Mereka datang sedikit terlambat, mau tidak mau harus mendorong pelan ibu-ibu dan pedagang yang berkurumun untuk membaca isinya.

Salah satu penjaga berdiri tegak, suaranya menggelegar seperti guntur.

"Perintah kekaisaran! Dengan naiknya Putra Mahkota Wang Rui menjadi Kaisar ke-18 dari Wangjing, maka dibuka Ujian Masuk Balai Medis Kekaisaran! Bagi yang memiliki sertifikat medis, tanpa memandang kasta, boleh mendaftar sebagai calon tabib istana!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 88 - Penyakit Keturunan Lin

    Suasana sore di Balai Medis terasa sunyi. Lentera di dinding bergoyang lembut, menebarkan bayangan hangat di antara tumpukan kitab pengobatan yang terbuka di meja. Aroma obat kering dan tinta tua memenuhi udara, menyatu dengan kesunyian yang begitu rapat hingga derit halus pena pun terdengar jelas.Lin Qian menatap satu halaman yang sudah menguning oleh waktu, tulisan tangan kuno dengan tinta merah pudar. Di pojok bawah, samar-samar tertulis nama yang hampir tak terbaca. Ran Dari Shenlan.Alisnya berkerut. “Ran... nama itu muncul di catatan penyakit Putri Lihua juga.”Ia menelusuri lembar demi lembar, jarinya menyapu permukaan kertas yang rapuh. Di sela barisan huruf tua itu, muncul simbol berbentuk kelopak bunga mekar dengan lingkaran di tengah. Lambang kuno Klan Lin, keluarga tabib dari pegunungan Shenlan yang telah lama dianggap punah.Saat itu, langkah Kaisar terdengar mendekat dari arah pintu. Suara itu khas, tenang namun tegas, seperti seseorang yang selalu membawa beban di seti

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 87 - Cermin Masa Lalu

    Angin malam berembus lembut di taman istana, menggoyangkan cabang pohon plum yang sudah bermekaran. Bunga-bunganya berguguran perlahan, jatuh di atas permukaan kolam seperti salju musim semi. Di tepi paviliun batu, lentera gantung bergoyang pelan, cahayanya menerangi dua sosok yang duduk berhadapan.Lin Qian menatap Kaisar dalam diam. Cerita yang baru saja keluar dari bibir Wang Rui terasa seperti jendela yang baru terbuka ke masa lalu. Masa lalu yang suram dan indah dalam waktu yang sama.“Jadi…” Lin Qian akhirnya berbisik. “Ayahmu mencintai wanita yang bukan permaisuri.”Wang Rui tidak menjawab seketika. Ia menatap air di depannya yang berkilau memantulkan cahaya lentera. “Bukan hanya mencintai,” katanya pelan, “beliau hidup dan mati karena cinta itu.”“Dan Ibu Suri-” Lin Qian berhenti, takut melangkah terlalu jauh.“Adalah bagian dari takdir yang tak bisa ditolak.” potong Wang Rui dengan suara rendah. “Ayahku mencin

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 86 - Musim Dingin Yang Kejam

    Kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Musim dingin dua tahun berikutnya datang dengan kejam. Selir Shen Zhi jatuh sakit, penyakit aneh yang membuat tubuhnya melemah hari demi hari. Para tabib istana sudah berusaha, tapi hasilnya nihil. Suatu malam, saat bulan tampak pucat di langit, Shen Zhi memanggil Mei Lian ke kamarnya. Wajahnya tampak pucat, senyumnya masih hangat. Di samping ranjang, Wang Rui yang masih berusia empat tahun tertidur dengan tenang. “Mei Lian...” bisiknya lirih, “jika suatu hari aku tiada… aku menitipkan anakku padamu.” Mei Lian menahan air mata. “Jangan bicara begitu. Aku akan mencari obatnya. Aku janji.” Shen Zhi menggeleng lemah. “Bukan semua penyakit bisa disembuhkan dengan ramuan, Mei Lian. Kadang dunia ini… hanya menuntut kita menerima.” Ia menatap wajah Wang Rui kecil. “Ajari dia mencintai tanpa menuntut, seperti kau mencintai tanpa meminta kembali.” Tidak lama sejak h

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 85 - Kehidupan Selir Agung

    Waktu berjalan seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Mei Lian resmi menjadi Selir Agung. Istana kini penuh dengan kemegahan, namun juga kesepian yang halus, seperti bunga plum yang mekar sendirian di musim dingin.Di luar, lonceng-lonceng istana berdentang lembut menandakan datangnya musim semi. Tapi bagi Mei Lian, tak ada yang berubah. Ia masih tinggal di Paviliun Yaohe, tempat yang dulu dijanjikan Kaisar sebagai perlindungan. Sekarang, paviliun itu menjadi ruang sunyi tempat waktu membusuk.Pagi itu, kabar baru datang dari Dewan Agung, Kaisar Wang Jian akan menikah lagi. Berita itu membawa desas-desus ke seluruh istana. Namun tak seperti pernikahan sebelumnya, kali ini nama calon pengantin disebut dengan hormat dan penuh simpati.Putri Shen Zhi, dari Klan Liang. Seorang wanita yang dikenal berhati lembut dan berpendidikan tinggi. Ia bukan berasal dari keluarga ambisius, tapi dari garis keturunan tab

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 84 - Paksaan

    Kabar pernikahan Kaisar Wang Jian menyebar lebih cepat daripada angin musim semi. Dari ibu kota hingga lembah Shenlan, semua orang bersorak menyambut kabar gembira itu. Semua kecuali satu orang.Di sebuah pondok kecil di pinggir hutan, Mei Lian menggenggam surat kabar yang baru tiba pagi itu. Tinta merah di atas kertas putih begitu kontras, seolah ingin membakar matanya. “Kaisar Wang Jian akan menikah dengan Putri Yue dari klan penasihat istana.”Kalimat itu sederhana, tapi setiap hurufnya seperti menembus dadanya. Di luar, bunga liar bergoyang lembut, namun bagi Mei Lian, musim semi itu terasa beku.Ia menatap ke arah timur, tempat matahari terbit dari arah ibu kota, dan berbisik pelan, “Jadi inilah akhirnya.”Beberapa hari kemudian, rombongan istana datang. Di antara mereka, sosok berpakaian ungu tua berjalan di depan, pengawal pribadi Kaisar. Ia membawa perintah langsung dari takhta.“Selir Mei Lian.” suaranya datar, “Yang Mu

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 83 - Bunga Yang Belum Mekar

    Musim semi tiba lebih awal di tahun itu. Salju mencair di sepanjang lembah utara, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang bermekaran di kaki gunung Shenlan. Namun bagi Wang Jian, perang belum berakhir. Batas antara Kerajaan Bai Ling dan Kekaisaran Timur masih menyala dengan bara dendam yang belum padam.Dalam setiap perjalanan menuju medan perang, Mei Lian selalu ada di sisinya. Bukan sebagai tabib istana, melainkan sebagai penyembuh yang menolak gelar apa pun. Ia duduk di dalam tandu kecil, membawa tas bambu berisi ramuan dan jarum perak. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kehadirannya mampu menenangkan prajurit yang gelisah.Wang Jian sering memperhatikannya diam-diam. Tangannya yang halus ketika membalut luka, suaranya yang lembut saat memerintahkan pasukan untuk tenang, dan matanya, mata yang seolah menyimpan seluruh kesedihan dunia namun tetap memilih untuk menyembuhkan.“Kenapa kau tidak pernah takut?” tanya Wang Jian suatu malam, ketika mereka beristirahat di perkemahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status