LOGIN"Jika kau hanya tahu setengah racikan, maka setengah nyawa pasienmu sudah kau kubur!"
Suara kepala balai medis menggema lantang dari atas panggung kayu menghentak suasana aula luas dengan dinding batu giok dan langit-langit tinggi. Lukisan Bunga Teratai Kesembuhan dan Sembilan Naga Pelindung Kekaisaran menghiasi langit-langit seolah turut mengawasi para peserta ujian. Suasana aula sunyi, namun terasa menegangkan. Ratusan calon tabib berdiri tegak dalam barisan sesuai wilayah masing-masing. Beberapa peserta ada yang berdiri gugup, ada pula yang sampai banjir berkeringat. Di hadapan mereka terdapat meja kayu berjajar rapih. Di atas meja terdapat kuas, tinta hitam beraroma kayu cendana dan gulungan kertas putih dari kulit pohon Zhengmu. Lin Qian berdiri di barisan wilayah utara, tangannya masih menggenggam surat seleksi yang sedikit lecek. Walaupun sempat gugup, mata Lin Qian dengan cepat memancarkan keyakinan. Pengawas Ujian berjalan menyusuri barisan, membagikan gulungan soal sambil menjelaskan tata tertib ujian, "Ujian tahap pertama, yaitu teori dan pengetahuan dasar pengobatan kekaisaran. Waktu satu jam, Tidak ada tambahan waktu. Tidak ada pengulangan. Tidak ada toleransi. Ketahuan menyontek dan bekerja sama, akan langsung dikeluarkan. " Saat satu gulungan soal sampai di meja Lin Qian, ia menerimanya dengan hormat. Kedua tangannya sedikit gemetar karena rasa semangat yang bergumul. Ia membuka gulungan itu perlahan. Matanya langsung tertuju pada barisan rapih kaligrafi berwarna merah. Menelusuri soal-soal ujian, membacanya dengan teliti. "Jelaskan reaksi Yin dari akar Shenlan jika direbus bersama tulang ular emas. Tuliskan tiga kombinasi herbal yang dapat menjadi racun jika dicampurn dengan keliru." Lin Qian membaca soal pada lembaran ujian satu persatu. Lin Qian menarik napas. Tidak ada yang mengejutkan. Dari total tiga puluh pertanyaan, tidak ada yang ia tidak tahu. Ia menutup mata sejenak. Di dalam kepalanya , lembar-lembar halaman buku catatan ayah dan gurunya muncul dengan jelas. Ia hafal seluruh isinya, bahkan goresan tinta yang memudar. "Akar Shenlan bereaksi tenang jika bertemu dengan zat berunsur logam. Tapi tulang ular emas..mengandung energi yin dalam bentuk merayap. Hasilnya? Dingin menusuk limpa, mengganggu sirkulasi Qi bawah." Lin Qian menulis dengan mantap. Tulisannya tidak seindah seniman kaligrafi istana. Tapi padat dan tajam. Tidak ada keraguan di dalamnya. Di sisi lain, beberapa peserta tampak gelissh. Salah satunya menggigit ujung kuas, matanya melirik sekitar. Di belakangnya, seorang pemuda berkeringat membasahi pelipisnya. "haahh... sulit sekali!" peserta di depan Lin Qian mengeluh dan menjatuhkan pelan kuasnya ke atas meja. Lin Qian tetap fokus. Ia berlanjut ke soal berikutnya, tentang racun Heimu pada darah kering. Lin Qian mengingat kembali kejadian ketika seorang anak keracunan Heimu. Memuntahkan cairan hitam kehijauan, bibirnya pecah dan hitam, dan tubuh menggigil. "Bibir menghitam, lidah kering. Darah mengering sebelum keluar. Nafas pasien menjadi pendek, dan suhu tubuh menurun drastis dari bagian leher ke pergelangan tangan." bisik Lin Qian dalam hati sambil menuangkan dalam tulisan. Ia menulis jawabannya dengan lengkap, bahkan menambahkan protokol penanganan darurat jika korban ditemukan dalam waktu dua jam pertama. Soal ketiga lebih sulit. Lin Qian menyusun jawabannya dengan terstruktur. Kombinasi, akibat, dan solusi jika terjadi kesalahan. Waktu berjalan cepat, satu per satu peserta menulis cepat, menebak jawaban atau bahkan mengosongkan sebagian soal. Lin Qian menatap gulungannya sekali lagi lagi. Ia tahu jawabannya tidak sempurna. Tapi itu adalah hasil dari pengalaman yang ia pelajari. "Waktu sudah habis! Kumpulkan gulungan jawaban dengan berbaris!" teriak pengawas ujian mengejutkan beberapa peserta. Para peserta yang sudah mengumpulkan diarahkan menuju taman belakang balai medis. Taman itu tenang, tertata rapih dan bersih. Suara gemericik air dari kolam ikan memberikan ketenangan yang semu. Lin Qian duduk di bawah pohon tua, dagunya bertumpu pada lutut. Ia menutup mata, mengingat kembali ucapan Shifu Xu setiap kali ia merasa ragu. "Ilmun hanya berguna jika kau berani mempertaruhkan namamu untuk menyelamatkan nyawa." Tidak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar dari arah paviliun. Seorang pengurus ujian membawa gulungan besar berlambang naga perak. Semua peserta berdiri. Mata mereka serentak menoleh. Pengurus ujian itu membuka gulungan dan mulai membacakan dengan suara tenang dan kencang, "Berikut adalah nama-nama peserta yang lulus pada ujian tahap pertama." Semua mata menatap ke arahnya dan menahan napas. Ada yang berdoa agar diloloskan. Ada yang pasrah. "Huang Ziyan, wilayah tengah. Dengan nilai tertinggi, 99 poin." nama pertama disebutkan oleh pengurus ujian. sosok pemuda tampan melangkah tenang ke depan. Pakaian hanfu birunya rapi, dan sorot matanya tenang seperti danau musim gugur. "Lin Yuan, wilayah utara. Dengan nilai tertinggi kedua 98 poin." nama yang ditunggu-ditunggu Lin Qian akhirnya disebut. Lin Qian menahan senyum, tapi binar matanya yang kelewat bahagia tidak bisa disembunyikan. Ia berhasil. Ia lolos dari jembatan pertama yang sulit menuju istana. Namun ada satu hal yang mengganggu dirinya, jiwa kompetitifnya. Ia langsung menatap pemuda tampan itu sinis, perbedaan nilai mereka sangat tipis. "Nilai sempurna bukan target utamaku, tapi kalau dia bisa harusnya aku bisa lebih." pikirnya. Belum sempat ia berpikir lebih jauh, pengurus ujian melanjutkan pengumuman, "Peserta yang berhasil lolos diwajibkan untuk mengikuti ujian kedua, yaitu pemeriksaan nadi dan Diagnosa langsung. Waktu persiapan dimulai satu jam dari sekarang."Suasana sore di Balai Medis terasa sunyi. Lentera di dinding bergoyang lembut, menebarkan bayangan hangat di antara tumpukan kitab pengobatan yang terbuka di meja. Aroma obat kering dan tinta tua memenuhi udara, menyatu dengan kesunyian yang begitu rapat hingga derit halus pena pun terdengar jelas.Lin Qian menatap satu halaman yang sudah menguning oleh waktu, tulisan tangan kuno dengan tinta merah pudar. Di pojok bawah, samar-samar tertulis nama yang hampir tak terbaca. Ran Dari Shenlan.Alisnya berkerut. “Ran... nama itu muncul di catatan penyakit Putri Lihua juga.”Ia menelusuri lembar demi lembar, jarinya menyapu permukaan kertas yang rapuh. Di sela barisan huruf tua itu, muncul simbol berbentuk kelopak bunga mekar dengan lingkaran di tengah. Lambang kuno Klan Lin, keluarga tabib dari pegunungan Shenlan yang telah lama dianggap punah.Saat itu, langkah Kaisar terdengar mendekat dari arah pintu. Suara itu khas, tenang namun tegas, seperti seseorang yang selalu membawa beban di seti
Angin malam berembus lembut di taman istana, menggoyangkan cabang pohon plum yang sudah bermekaran. Bunga-bunganya berguguran perlahan, jatuh di atas permukaan kolam seperti salju musim semi. Di tepi paviliun batu, lentera gantung bergoyang pelan, cahayanya menerangi dua sosok yang duduk berhadapan.Lin Qian menatap Kaisar dalam diam. Cerita yang baru saja keluar dari bibir Wang Rui terasa seperti jendela yang baru terbuka ke masa lalu. Masa lalu yang suram dan indah dalam waktu yang sama.“Jadi…” Lin Qian akhirnya berbisik. “Ayahmu mencintai wanita yang bukan permaisuri.”Wang Rui tidak menjawab seketika. Ia menatap air di depannya yang berkilau memantulkan cahaya lentera. “Bukan hanya mencintai,” katanya pelan, “beliau hidup dan mati karena cinta itu.”“Dan Ibu Suri-” Lin Qian berhenti, takut melangkah terlalu jauh.“Adalah bagian dari takdir yang tak bisa ditolak.” potong Wang Rui dengan suara rendah. “Ayahku mencin
Kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Musim dingin dua tahun berikutnya datang dengan kejam. Selir Shen Zhi jatuh sakit, penyakit aneh yang membuat tubuhnya melemah hari demi hari. Para tabib istana sudah berusaha, tapi hasilnya nihil. Suatu malam, saat bulan tampak pucat di langit, Shen Zhi memanggil Mei Lian ke kamarnya. Wajahnya tampak pucat, senyumnya masih hangat. Di samping ranjang, Wang Rui yang masih berusia empat tahun tertidur dengan tenang. “Mei Lian...” bisiknya lirih, “jika suatu hari aku tiada… aku menitipkan anakku padamu.” Mei Lian menahan air mata. “Jangan bicara begitu. Aku akan mencari obatnya. Aku janji.” Shen Zhi menggeleng lemah. “Bukan semua penyakit bisa disembuhkan dengan ramuan, Mei Lian. Kadang dunia ini… hanya menuntut kita menerima.” Ia menatap wajah Wang Rui kecil. “Ajari dia mencintai tanpa menuntut, seperti kau mencintai tanpa meminta kembali.” Tidak lama sejak h
Waktu berjalan seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Mei Lian resmi menjadi Selir Agung. Istana kini penuh dengan kemegahan, namun juga kesepian yang halus, seperti bunga plum yang mekar sendirian di musim dingin.Di luar, lonceng-lonceng istana berdentang lembut menandakan datangnya musim semi. Tapi bagi Mei Lian, tak ada yang berubah. Ia masih tinggal di Paviliun Yaohe, tempat yang dulu dijanjikan Kaisar sebagai perlindungan. Sekarang, paviliun itu menjadi ruang sunyi tempat waktu membusuk.Pagi itu, kabar baru datang dari Dewan Agung, Kaisar Wang Jian akan menikah lagi. Berita itu membawa desas-desus ke seluruh istana. Namun tak seperti pernikahan sebelumnya, kali ini nama calon pengantin disebut dengan hormat dan penuh simpati.Putri Shen Zhi, dari Klan Liang. Seorang wanita yang dikenal berhati lembut dan berpendidikan tinggi. Ia bukan berasal dari keluarga ambisius, tapi dari garis keturunan tab
Kabar pernikahan Kaisar Wang Jian menyebar lebih cepat daripada angin musim semi. Dari ibu kota hingga lembah Shenlan, semua orang bersorak menyambut kabar gembira itu. Semua kecuali satu orang.Di sebuah pondok kecil di pinggir hutan, Mei Lian menggenggam surat kabar yang baru tiba pagi itu. Tinta merah di atas kertas putih begitu kontras, seolah ingin membakar matanya. “Kaisar Wang Jian akan menikah dengan Putri Yue dari klan penasihat istana.”Kalimat itu sederhana, tapi setiap hurufnya seperti menembus dadanya. Di luar, bunga liar bergoyang lembut, namun bagi Mei Lian, musim semi itu terasa beku.Ia menatap ke arah timur, tempat matahari terbit dari arah ibu kota, dan berbisik pelan, “Jadi inilah akhirnya.”Beberapa hari kemudian, rombongan istana datang. Di antara mereka, sosok berpakaian ungu tua berjalan di depan, pengawal pribadi Kaisar. Ia membawa perintah langsung dari takhta.“Selir Mei Lian.” suaranya datar, “Yang Mu
Musim semi tiba lebih awal di tahun itu. Salju mencair di sepanjang lembah utara, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang bermekaran di kaki gunung Shenlan. Namun bagi Wang Jian, perang belum berakhir. Batas antara Kerajaan Bai Ling dan Kekaisaran Timur masih menyala dengan bara dendam yang belum padam.Dalam setiap perjalanan menuju medan perang, Mei Lian selalu ada di sisinya. Bukan sebagai tabib istana, melainkan sebagai penyembuh yang menolak gelar apa pun. Ia duduk di dalam tandu kecil, membawa tas bambu berisi ramuan dan jarum perak. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kehadirannya mampu menenangkan prajurit yang gelisah.Wang Jian sering memperhatikannya diam-diam. Tangannya yang halus ketika membalut luka, suaranya yang lembut saat memerintahkan pasukan untuk tenang, dan matanya, mata yang seolah menyimpan seluruh kesedihan dunia namun tetap memilih untuk menyembuhkan.“Kenapa kau tidak pernah takut?” tanya Wang Jian suatu malam, ketika mereka beristirahat di perkemahan







