LOGINSenja turun perlahan di atas Balai Medis Kekaisaran. Langit berwarna tembaga pucat, seolah disaput abu tipis, sementara angin dingin menyusup dari sela-sela pilar kayu. Lin Qian berdiri di Paviliun kecil sebrang kolam, kedua tangannya tersembunyi di balik lengan jubah. Tatapannya tertuju pada kolam teratai yang tenang, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan itu.Kata-kata Wang Rui pagi tadi kembali terngiang di benaknya. Nada suaranya tidak memerintah. Tidak menghakimi. Tidak pula bersembunyi di balik gelar Kaisar. Ia meminta maaf sebagai seorang pria, sebagai seseorang yang takut kehilangan. Dan entah kapan, kemarahan Lin Qian yang selama ini mengeras seperti es mulai mencair tanpa suara.Ia memejamkan mata sebentar, mengatur napas. Dirinya sudah tidak semarah itu, ia mengakuinya dalam hati. Lin Qian bahkan sudah memaafkannya.Kesadaran itu justru membuatnya tersenyum pahit. Karena jika ia sudah memaafkan, lalu mengapa dadanya masih terasa sesak setiap kali mengingat wajah Wang
Pagi turun perlahan di istana, diselimuti kabut tipis yang menggantung di antara atap-atap bersusun dan pilar batu giok. Angin musim dingin membawa aroma dupa dari aula doa, bercampur dengan wangi dedaunan basah di taman dalam.Wang Rui berdiri di koridor panjang menuju Balai Medis Kekaisaran, langkahnya terhenti berkali-kali seolah kakinya enggan melangkah lebih jauh. Untuk pertama kalinya sejak naik takhta, ia merasa gentar bukan pada perang atau intrik, melainkan pada satu wanita.Lin Qian berada di dalam, memeriksa ramuan pagi. Punggungnya tegak, rambutnya ditutupin topi seperti biasa. Tidak ada tanda kemarahan, tidak ada kegelisahan yang meledak. Justru ketenangan itulah yang membuat dada Wang Rui terasa semakin sesak. Ia menyadari bahwa jarak di antara mereka bukanlah badai yang mengamuk, melainkan danau beku yang sunyi dan sulit ditembus.Ia melangkah masuk, tirai bambu berderik pelan saat tersibak. Cahaya pagi menyelinap melalui jendela, memantulkan bayangan mereka berdua di
Malam merayap pelan di balik jendela ruang kerja kekaisaran. Lampu-lampu minyak berjejer rapi di atas meja kayu hitam, menerangi tumpukan memorial dan gulungan dokumen yang belum tersentuh.Wang Rui duduk tegak di kursinya, namun pikirannya jauh dari urusan negara. Sejak sore, ia hampir tidak bergerak, hanya sesekali menghela napas panjang, seolah udara di ruangan itu semakin berat setiap jam berlalu.Di hadapannya berdiri Zhou Han, ajudan kepercayaannya yang masih tergolong muda. Pria itu telah melayani Wang Rui sejak sebelum naik takhta, terbiasa melihat berbagai wajah Kaisar. Murka, dingin, penuh perhitungan.Namun wajah Wang Rui malam ini membuatnya diam-diam mengernyit. Kaisar terus-menerus mengecapkan lidahnya, lalu memijit kening dengan dua jari, berhenti sebentar, lalu mengulanginya lagi. Gerakan itu berulang seperti kebiasaan buruk yang tak disadari.Zhou Han menunggu dengan sabar, namun keheningan semakin janggal. Bahkan suara gesekan kain jubah Kaisar terdengar terlalu jela
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di antara atap-atap istana ketika Lin Qian melangkah keluar dari Balai Medis Kekaisaran. Langkahnya tenang, wajahnya datar, seolah tidak ada apa pun yang mengusik batinnya. Namun bagi mata yang terbiasa memperhatikannya, ada sesuatu yang berubah. Tatapan Lin Qian tidak lagi hangat seperti sebelumnya, senyumnya jarang muncul, dan gerak-geriknya terasa lebih berhati-hati, seakan ia selalu menjaga jarak tak kasatmata dari dunia di sekitarnya.Wang Rui memperhatikannya dari kejauhan. Sejak beberapa hari terakhir, Kaisar merasa seperti berdiri di hadapan pintu yang perlahan tertutup. Lin Qian tetap menjalankan tugasnya dengan sempurna, tetap memeriksa kesehatan, tetap berbicara sopan. Tapi semua itu terasa formal, kaku, seperti ada tembok pembatas yang sengaja dibangun. Wang Rui, yang terbiasa membaca medan perang dan wajah para menteri licik, justru kesulitan membaca hati perempuan yang berdiri di hadapannya."Ada apa sebenarnya dengan dirimu, Q
Malam selanjutnyaturun perlahan di langit istana Wangjing, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Lentera-lentera dinyalakan satu per satu, memantulkan cahaya kekuningan di lorong batu yang panjang dan sunyi. Lin Qian melangkah cepat, jubahnya berdesir pelan mengikuti langkahnya. Wajahnya tenang, tetapi dadanya bergemuruh. Penolakan Wang Rui siang tadi masih terasa seperti duri yang menancap di hati.Ia tidak bodoh. Diamnya Kaisar bukan ketenangan, melainkan perlindungan yang dibangun dari ketidakpercayaan. Namun justru itulah yang membuat Lin Qian terluka. Ia tidak ingin dilindungi seperti benda rapuh. Ia ingin dipercaya sebagai seseorang yang berdiri sejajar, bukan di belakang bayang-bayang kekuasaan.Nama Huang Ziyan muncul berulang kali di benaknya. Dari semua orang di istana, Ziyan adalah satu-satunya yang terlihat gelisah selain Wang Rui sejak beberapa hari terakhir. Tatapannya selalu menghindar, sikapnya berubah canggung. Lin Qian yakin, Ziyan memegang potongan k
Sejak beberapa hari lalu, Lin Qian merasakan ada sesuatu yang tidak selaras di dalam istana. Bukan perubahan yang mencolok, melainkan ketegangan halus yang merayap seperti kabut dingin di sela-sela napas. Kaisar Wang Rui masih tersenyum padanya, masih menggenggam tangannya dengan kehangatan yang sama, tetapi di balik tatapan itu ada sesuatu yang tertahan. Seolah ada dinding tipis yang baru saja dibangun di antara mereka. Ia memperhatikan setiap gerak kecil Kaisar. Cara Wang Rui memijat pelipisnya lebih sering. Cara ia terdiam lebih lama saat menatap peta atau dokumen, seakan pikirannya berada di tempat lain. Bahkan ketika Lin Qian menyentuh pergelangan tangannya untuk memeriksa denyut nadi, ia bisa merasakan ketegangan yang tidak berasal dari tubuh, melainkan dari hati yang tertekan. Lin Qian sudah mencoba bertanya saat itu, namun Kaisar terus menghindari pertanyaannya."Sebenarnya apa sih yang sedang kau sembunyikan?" Lin Qian bergumam, suasana hatinya kurang baik.Kekhawatirannya







