“Kenapa aku bilang akan mengganti bonus bulanannya? Oh… mulutku….” batin Lara. Kedua tangannya refleks menepuk bibirnya sendiri, seolah ingin menghapus kalimat yang barusan terucap. Wajahnya seketika menegang, menyesali kebodohan yang baru ia lakukan.Namun, di hadapannya, raut wajah Kris berubah sumringah. Senyum tulus merekah, menyinari wajahnya yang tadinya muram. “Terima kasih, Nyonya. Bulan depan adik saya harus bayar biaya semester di luar negeri. Saya sempat khawatir saat Pak Abian bilang akan memotong seluruh bonus bulanan saya.” Suaranya terdengar penuh kelegaan, seakan beban besar baru saja terangkat dari pundaknya. Semangatnya pun kembali menyala, terlihat jelas dari sorot matanya yang berbinar.Ucapan itu membuat Lara terdiam. Dadanya terasa sesak, seolah ditindih perasaan bersalah. Ia tidak sanggup menarik kembali kata-katanya. 'Kris sudah banyak membantuku. Karena aku juga, dia tertimpa masalah seperti ini. Jika kali ini aku menjilat ludahku sendiri, artinya aku bukan ma
Lara semakin penasaran. Kedua alisnya terangkat tinggi, tatapannya tajam menuntut jawaban. Ada kerutan halus di dahinya yang menandakan rasa ingin tahu bercampur kegelisahan.“Ini… tanda kehidupan baru,” jawab ibu itu, suaranya bergetar samar, seolah kalimat itu bukan sekadar ucapan biasa. Tatapannya terarah penuh pada Lara, dengan sorot mata yang jelas menampakkan keterkejutan.Lara menatap balik, kebingungan. Ia tidak sepenuhnya mengerti. Kedua alisnya kini berkerut rapat, bibirnya sedikit terbuka, seakan hendak bertanya lebih jauh namun tertahan oleh rasa ragu.Tiba-tiba, suara seorang pria memecah keheningan. “Nyonya.” Suara itu terdengar dari kejauhan, tegas namun penuh kehati-hatian.Serentak, Lara dan wanita itu menoleh bersamaan. Dari balik tembok rumah sakit, muncullah sosok Kris. Tubuhnya tegap, wajahnya menyembul sedikit ke luar dengan kepala mengintip. Pandangannya penuh keanehan ketika tertuju pada Lara.Kris mendapati Lara duduk seorang diri di bangku putih panjang yang
Lara menundukkan kepala, matanya sayu. Sorot sendu itu memantulkan kepedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya bergerak pelan, seolah takut suaranya terdengar oleh siapa pun.“Banyak hal yang ingin aku tanyakan tentang kesempatan hidupku yang sekarang. Tapi aku pun tidak tahu harus bertanya pada siapa. Sungguh malang nasibku,” gumamnya lirih, seakan berbicara hanya kepada bayangannya sendiri.Raut wajahnya mengeras sejenak, lalu melembut ketika ingatannya menyeret kembali sosok seorang kakek yang pernah ia temui di dalam bus. Kenangan itu begitu jelas—kakek itu duduk di bangku belakang, memandang keluar jendela dengan mata yang separuh tertutup, lalu menoleh padanya sambil menutup satu matanya dengan telapak tangan."Jika ingin melihat orang yang bernasib sama sepertimu, lakukan ini," begitu katanya, suaranya serak namun penuh misteri.Lara menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tanpa sebab berdegup cepat. Ia merapatkan duduknya, memperbaiki pos
Lara meremas erat selimut yang menutupi kakinya. Amarah di dadanya menggelora, menghanguskan sisa-sisa kesabaran. ‘Aku benar-benar tidak mengerti apa isi otak pria ini. Sebelumnya aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas, tapi masih saja menyebut Mas Prasetya sebagai selingkuhanku…’ batinnya penuh kekesalan.Kris, setelah mempertimbangkan sesuatu dalam pikirannya, akhirnya melangkah mendekat. “Nyonya, saya akan pergi mendampingi Pak Abian menghadiri rapat perusahaan. Dokter bilang tubuh Anda masih terlalu lemah. Saya akan menjemput Anda setelah rapat selesai,” ucapnya dengan nada hormat, membungkukkan badan sedikit sebelum berbalik pergi, mengikuti Abian yang sudah lebih dulu menghilang di balik pintu.Lara tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, hatinya berkecamuk. Ada kebingungan, ada kemarahan, ada kekecewaan yang bercampur jadi satu. Perubahan sikap Abian yang tiba-tiba kembali dingin padanya menusuk seperti es di tengah musim panas. Ia marah karena Abian begitu tertutup soal masala
“Abian!” teriak Lara dengan nada panik. Tubuhnya terlonjak bangun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan napas terengah.‘Mimpi?’ batinnya lega. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang memburu. Tarikan napasnya panjang dan berat, lalu ia embuskan perlahan. Namun, ketika kelopak matanya kembali terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang hanya menatapnya datar — pria yang baru saja ia panggil dalam mimpi itu.Lara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seorang pria berjas putih berdiri di dekat ranjangnya, menatapnya dengan raut heran. Di sisi lain, Kris — dengan perban membalut kepalanya — memandangnya penuh kepanikan.Tiba-tiba, rasa nyeri menusuk hebat di kepalanya. “Akh…” keluhnya lirih. Tangannya terangkat memegangi kepala yang telah dililit perban. Tubuhnya goyah, membuat seorang perawat segera membantunya kembali berbaring.Kris, yang melihat istri atasannya sudah sadar, tergesa mendekat. “Nyonya, syukurlah Anda sudah sadar. Pak Abi
Sejak beberapa kali ketahuan mengirimkan makanan saat jam makan siang untuk Lara, gosip pun mulai beredar di seluruh sudut kantor. Hampir semua karyawan menyimpulkan bahwa Kris menaruh hati pada Lara. Desas-desus itu terus beredar, dibumbui tawa kecil dan lirikan jahil setiap kali keduanya terlihat bersama.Lara, pada awalnya, tidak begitu peduli. Menjadi bahan ejekan rekan-rekan kantor bukanlah hal baru baginya. Namun, kali ini berbeda. Kris—pria yang sebenarnya hanya berniat baik kepadanya—ikut terseret dalam pusaran gosip itu. Membayangkan nama baik Kris tercoreng oleh candaan rekan kerja, membuat Lara sedikit khawatir.Sejak kabar miring itu merebak, Lara mulai menghindar. Setiap kali Kris datang dengan sebungkus makanan, ia selalu punya alasan untuk menolak: entah mengaku sudah makan, pura-pura sibuk, atau bahkan sengaja tidak berada di tempat.Lara menarik napas lega. 'Ternyata begitu? Aku hampir mengira gosip-gosip di perusahaan itu benar' Namun, pikirannya belum tenang sepenuh