Tidak ada yang memedulikan Alanes binti Kamirah selama kekacauan berlangsung di Ragajaya. Namun, kebencian yang mengalir dari darah Kamirah tak bisa dihapus begitu saja. Meski dia tumbuh di istana, mengenakan kain sutra dan belajar dari guru terbaik, Alanes membawa luka dan rindu yang tak pernah bisa dijelaskan. Dia sering menghabiskan waktu sendiri, berjalan di lorong taman istana tempat patung-patung bayi giok yang dahulu dipuja kini berlumut dan retak.
Rakyat mengenalnya hanya sebagai "anak angkat Juhi." Tak banyak yang tahu darah pemberontak mengalir di nadinya.
Dan sebuah keganjilan, yakni anomali dialami oleh anak gadis bermata hijau itu. Kulitnya tetap mulus, tidak keriput. Waktu di Ragajaya tidak membuat tubuhnya lekas ringkih menua.
Gonjang-ganjing besar di Ragajaya membuat istana menjadi lengang karena kebanyakan penghuninya menua sehingga benar-benar istana megah itu lengang. Alanes pun tidak dipedulikan lagi oleh Juhi bin Jihu sejak kemenangannya mel
Pagi ketujuh sejak keberangkatan. Kabut tipis menggulung perlahan di lereng batu pipih, membawa aroma pasir hangat dan embun pertama. Dari kejauhan, empat sosok muncul seperti bayangan di tengah kilau cahaya: Bagan, Boar, Jado, dan Kawu.Anak-anak yang pertama kali melihat mereka berempat. Luma berteriak sambil berlari, “Mereka kembali!” Di belakangnya, orang-orang berhamburan keluar dari tenda, antara harap dan waspada.Namun ada sesuatu yang berbeda: cara mereka berjalan—tenang, seperti orang yang menemukan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata. Di dada Bagan tergenggam erat kembali ukirannya, tapi kini di permukaannya ada coretan baru: simbol matahari bergurat tiga, yang sebelumnya tak ada saat mereka berangkat.Nari menyambut mereka di batas lingkar batu. Dia menatap mata mereka satu per satu. Tak ada pelukan. Tak perlu. Hanya diam yang cukup untuk mengerti.Boar bicara pelan, “Mereka ada. Dan mereka akan datang.”
Malam turun tanpa bisik, tapi tak ada yang tertidur dengan tenang malam itu. Sejak kepergian kelompok pembawa damai, udara di perkemahan terasa seperti kain basah yang membungkus tubuh—dingin tapi juga berat. Api unggun tetap menyala, tapi wajah-wajah di sekitarnya lebih banyak membisu daripada bercerita.Bu Senja duduk memintal benang dari kain lusuh, tapi tangannya gemetar. Bukan karena usia, melainkan karena keraguan yang mulai berakar.“Apa benar yang kulakukan ini demi harapan, atau sekadar menolak kehampaan?”Beliau pernah kehilangan anaknya dalam penyerbuan di Lembah Celing—sebuah kehilangan yang membuatnya menjadi semacam penjaga batin bagi para pengungsi. Namun malam ini, sosoknya tak setegas biasanya. Dia mencuri pandang ke arah Nari, bertanya-tanya dalam hati apakah perempuan muda itu benar-benar tahu apa yang sedang mereka hadapi.Sementara itu, Tani duduk di pojok, menatap kedua anaknya yang tertidur memeluk s
Para pengungsi yang berasal dari Lembah Celing berhasil mendapatkan tempat tinggal yang cukup aman. Mereka tinggal di atas gunung batu pipih yang cukup luas. Untuk mencapai puncak, mereka mendaki melalui lerengnya.Di puncak itu, mereka membuat tenda pengungsian. Mereka membuat sebuah tempat untuk mereka berkumpul saat malam. Api unggun akan menyala untuk mengusir hawa dingin di puncak gunung batu itu dari tubuh mereka.Mereka mencari kesibukannya masing-masing selama bertempat tinggal di sana. Kesibukan mereka sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Bagi yang memiliki keahlian mengukir seperti Bagan, dia akan mencari sisi di lereng gunung itu untuk diukirnya. Hasil seni ukir itu mungkin bagi orang lain tidak bernilai sesuatu, tapi bagi Bagan, seni ukirnya itu mampu mengobati luka hatinya akibat kehilangan keluarganya.Begitu pun Nari, si Pemegang Tongkat Batu. Perempuan itu menjadi pusat ketenangan diliputi anak-anak sembari melalui tongkatnya dia menggambar peta dunia baru di pas
Dia berdiri di balik topeng merah-kusam milik Pemurni, mengintai reruntuhan Gosora dari bayang-bayang menara setengah roboh. Senja tumpah ke padang sunyi dalam semburat kelabu, dan gema baru—yang Suar asli pancarkan—masih menggeliat di langit seperti luka yang belum sembuh.“Cucu sedang bergerak ke arah utara,” lapor seorang Pembisik lain melalui perangkat suara sunyi.“Jangan ganggu yang lain. Aku yang akan menangani ini,” sahut Akhsan cepat.Dia tak tahu kenapa suaranya terdengar gemetar. Apakah karena nama itu?Cucu.Dalam doktrin para Pemurni, nama itu adalah simbol penyimpangan. Dia tidak hanya mendengar gema; ia menjawabnya. Dan jawaban adalah bentuk pembangkangan paling berbahaya.---
Menjelang tengah hari, kedua matahari mendekat satu sama lain, menciptakan bayangan vertikal tajam yang menyayat tanah. Udara menegang.Kemudian terdengar suara itu.Gema dalam. Dalam sekali. Bukan hanya didengar—tapi dirasakan. Seperti sumsum yang dipanggil keluar dari tulang.Cucu dan Rimba membeku. Hara pun terdiam otomatis, bak bayi berhenti menangis. Hanya lidah api di unggun yang tetap meliuk, bagai tak terpengaruh oleh dunia.Seorang lelaki tua yang kebetulan berjalan bersama mereka, berlutut, menempelkan telinga ke tanah.“Sangkala Waktu …, tapi ini beda,” gumamnya. “Nadanya miring. Ada yang rusak.”Rimba berbalik ke arah Cucu. “Kau dengar itu? Seperti ada …, sesuatu lain di bawah sana?”“Bukan cuma gema,” bisik Cucu. “Lebih seperti ..., seseorang memanggil balik.”---“Wahai Pak Tua, Anda mau ke mana?” tanya Hara ketika S
Cucu dan Rimba tiba di lerengnya saat langit mulai beranjak ke jingga pekat. Kedua matahari tampak seperti arang berpijar yang tenggelam perlahan, meninggalkan semburat cemerlang di kaki langit. Jalur menuju Puncak Arah berliku dan sempit, menanjak melalui celah-celah batu dan jembatan gantung dari akar kering yang telah mengeras karena panas.Udara semakin tipis. Namun suara menjadi lebih jernih.“Di atas sana,” kata seorang penduduk muda yang menjadi penunjuk jalan mereka, “tetua kami tinggal di ruang gema. Beliau jarang bicara, kecuali pada mereka yang membawa luka masa lalu.”Rimba dan Cucu saling pandang. Luka mereka tidak hanya dibawa—luka itu menempel di napas, menyatu dengan jejak kaki.Sesampainya di atas, mereka memasuki ruang sempit yang dikelilingi lingkaran batu hitam. Tak ada lampu, ha